Posted by : Ilham Setiawan Thursday, 20 February 2014

Prolog[edit]

Ini tidak seperti aku telah melupakannya. Aku mungkin masih mengingat tempat ini, dan aku bahkan memimpikan pemandangan ini seperti mimpiku yang sekarang.
Tapi aku hanya tidak dapat mengingat tempat ini di luar mimpiku.
Ini tidak seperti aku telah lupa. Tidak, aku hanya tidak dapat menemukan petunjuk yang dapat mengembalikan ingatan tersebut. Tidak ada kejadian yang mungkin dapat terkait dengan kejadian ini yang cukup untuk mengingatkanku. Jika aku mencoba mungkin aku daat mengingatnya, tapi aku tidak bisa mengingatnya sama sekali. Karena tidak ada apa pun dalam kehidupan sehari-hari ini yang dapat mengingatkanku tetang orang dihadapanku ini.
"Apakah kau punya sebuah permohonan?"
Wajah dari pria(wanita?) yang menanyakan pertanyaan tersebut padaku dengan nada yang tenang berubah terus-menerus ke wajah lainnya. Meskipun ini adalah mimpi yang diciptakan oleh ingatanku, tapi aku tidak dapat mengingat wajahnya. Aku melihat wajahnya, mungkin. Wajahnya menyerupai siapapun, tapi tidak mirip siapapun.
Aku tidak ingat apa jawabanku waktu itu, tapi ketika dia mendengarnya, dia memberikan sebuah benda padaku.
"Ini adalah sebuah 'box' yang dapat mengabulkan permohonan apa pun,"
Aku baru sadar bahwa benda tersebut memang terlihat seperti box ketika dia mengatakannya.
Aku memfokuskan mataku ke arah box itu. Penglihatanku tidak jelek, tapi aku tidak dapat melihat box itu dengan jelas. Tidak ada apa pun di dalam box itu, kenyataan tersebut membuatku merasa aneh. Perasaan itu seperti ketika memegang kotak biskuit tertutup yang berbunyi ketika digoyangkan, tetapi kosong ketika dibuka.
Aku menanyakan sesuatu kepadanya, "Kenapa kau memberikan benda ini padaku?"
"Karena kau sangat menarik! Aku tidak dapat membedakan kalian para manusia karena sedikit sekali perbedaan di antara kalian. Aku tidak bisa membedakan manusia yang ini dengan manusia yang itu. Meski begitu, aku sangat tertarik pada kalian. Bukankah itu ironis?"
Aku tidak mengerti apa maksud perkataannya, tapi aku hanya mengangguk saja.
"Tapi kau berbeda. Kau mungkin berpikir apa yang spesial dari hal tersebut, tapi ini lebih dari cukup untuk membuatku tertarik!"
Aku melihat ke dasar box itu. Meskipun tidak ada apa pun di dalam box itu, aku merasakan perasaan aneh seperti seluruh tubuhku tersedot ke dalamnya. Aku dengan cepat mengalihkan pandanganku.
"'Box' ini akan mengabulkan apa pun permohonanmu. Aku tidak menginginkan apa pun. Aku tidak akan menghentikanmu meskipun harapanmu adalah menghancurkan seluruh umat manusia. Aku hanya tertarik dengan apa yang kalian para manusia inginkan.
Aku menanyakan sesuatu padanya.
"Hehe... tidak, tidak. Ini bukanlah sesuatu yang Hebat. Sejak awal manusia sudah memiliki kemampuan untuk mengabulkan keinginannya hanya dengan memiliki gambaran yang jelas mengenai harapannya. Aku hanya dapat memberikan sedikit dorongan pada kemampuan itu."
Aku menerima box itu.
Tentu saja aku tidak dapat mengingat mimpi ini ketika aku terbangun.
Tetapi aku dapat mengingat degan jelas apa yang kupikirkan tentangnya. dan kesan itu tidak berubah sedikit pun di dalam mimpi. entah mengapa, tidakkah dia itu----
---menjijikkan?



Pertama kali[edit]

"Aku Aya Otonashi. Senang berkenalan denganmu."
Murid pindahan itu berbicara sambil sedikit tersenyum.

Ke-23 kali[edit]

"Aku Aya Otonashi.... salam kenal."
Murid pindahan itu berkata begitu tanpa menunjukan ekspresi dan ketertarikan sedikit pun terhadap kami.

Ke-1050 kali[edit]

"Aya Otonashi"
Ucap murid pindahan itu. Dia terlihat sangat bosan, dia bahkan tidak melihat ke arah kami.

Ke-13,118 kali[edit]

Aku melihat ke arah murid pindahan itu, Aya Otonashi yang namanya belum kuketahui, berdiri di atas podium.
"Aya Otonashi"
Begitulah yang dikatakan murid pindahan itu dengan suara yang sangat kecil kepada teman-teman sekelasnya. Ia tidak peduli apakah kami mendengarnya atau tidak, tetapi anehnya suaranya sangat jelas.
--Yah. Aku sudah tahu namanya, meski aku baru mendengar untuk pertama kalinya.
Seluruh murid menahan napas mereka, bukan karena perkenalannya yang super singkat dan blak-blakan yang bahkan tidak dapat disebut sebagai salam. Tapi mungkin karena dia adalah seorang gadis cantik yang sangat mencolok dibandingkan dengan semua orang yang berada di kelas.
Semuanya menunggu kata-kata selanjutnya yang akan dia ucapkan.
Dia membuka mulutnya.
"Kazuki Hoshino"
"...Huh?"
Entah kenapa dia memanggil namaku. Seluruh murid memandang ke arahku dengan wajah bingung. Jangan memandangku seperti itu, aku sendiri tidak mengerti apa yang terjadi.
"Aku kemari untuk menghancurkanmu."
Dia tiba-tiba menyatakan hal itu .
"Ini adalah yang ke 13,118 kalinya aku 'Pindah Sekolah' ke sini, bahkan aku pun bisa jadi jengkel jika aku mengulanginya sebanyak itu. Jadi, sekarang aku akan menyatakan perang."
Dia tidak melihat ke teman sekelasnya yang kebingungan dan menatap lurus ke arahku.
"Kazuki Hoshino, aku akan membuatmu menyerah, lebih baik kau secepatnya memberikan benda yang paling berharga bagimu. Percuma melawan. Kenapa? Itu gampang. Karena aku---"
Aya Otonashi membentuk sebuah senyuman di bibirnya dan melanjutkan kalimatnya.
"---selalu berada di sisimu, tidak peduli berapa lama pun waktu berlalu."


Ke-10,876 kali[edit]

Hari ini «2 Maret». Seharusnya hari ini adalah «2 Maret».
Kenapa aku memastikan tanggalnya?
...Mungkin karena langitnya masih mendung, meskipun sudah bulan maret. Mungkin begitu. Gara-gara cuaca mendung, aku menjadi sedikit murung, mengingat akhir-akhir ini langit biru selalu bersembunyi di balik awan.
Geez. Kapan ya cuacanya cerah lagi?
Aku sudah berada di kelas sebelum bel berbunyi, sambil memandang ke luar jendela.
Mungkin aku murung begini karena aku merasa tidak enak. Bukannya karena tidak enak badan, tapi, aku hanya... Tidak tenang, aku tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Aku merasa 'Ada sesuatu yang salah'.
...Aneh. Aku tidak bisa menemukan penyebabnya. Kemarin biasa saja, tidak terjadi sesuatu yang aneh. Pagi ini aku sudah sarapan, mendengarkan lagu baru yang dirilis oleh artis favoritku di kereta, dan keberuntunganku biasa saja menurut acara ramalan yang kutonton tanpa sengaja.
Memutuskan untuk tidak memaksakan otakku, aku mengambil sebuah Umaibo dari tasku. Hari ini rasa daging babi. Aku mulai menggigitnya. Tidak peduli berapa banyak aku memakannya, aku tidak pernah bosan dengan rasanya.
"Umaibo lagi--? Kau benar-benar tidak bosan dengan itu, ya kan? Kalau kau makan umaibo setiap saat, tahu tidak kalau warna darahmu bisa berubah menjadi seperti warna umaibo?"
"...Err, Warna apa itu?"
"Entahlah!!"
Gadis yang bercanda denganku ini adalah teman sekelasku yang bernama Kokone Kirino. Dia memiliki rambut panjang berwarna coklat dan diikat Ponytail. Kokone selalu mengganti gaya rambutnya, tapi sepertinya dia agak menyukai gaya yang satu ini. Atau sepertinya begitu, soalnya aku merasa akhir-akhir ini dia tidak mengubah gaya rambutnya.
Kokone seenaknya duduk di kursi di sebelahku dan mulai memakai make-upnya di kotak make-upnya yang berwarna biru dengan alat yang aku, sebagai pria tidak tahu apa alat-alat itu. Kuharap dia bisa berusaha sekeras itu tidak hanya untuk make-up saja, tapi juga untuk belajar dan yang lainnya.
"Kalo dipikir-pikir, kau punya banyak benda yang berwarna biru, ya kan?"
"Yah, karena aku suka warna biru. Oh, iya, Kazu-kun! Apa kau sadar ada yang berbeda denganku hari ini?"
Tiba-tiba Kokone bicara begitu dengan mata yang bersinar-sinar.
Hm...?
Bagaimana aku bisa tahu? Mustahil aku bisa tahu jika kau tiba-tiba bertanya seperti itu.
"Kuberi satu petunjuk! Yang berubah itu daya tarikku!"
"Eh?"
Secara refleks aku melihat ke arah dadanya.
"Whoah, hey! Kenapa kau melirik ke arah dadaku?!"
Yah, itu kan karena kau selalu menyombongkan dadamu yang akhirnya melewati D-cup, jadi kukira...
"Tentu saja daya tarikku adalah mataku! Lagi pula, tidak mungkin dada tumbuh besar secara tiba-tiba! Apa itu yang kau harapkan? Dasar mesum!!"
"...Maaf."
Tidak mungkin aku bisa tahu daya tarik yang kau akui sendiri seperti itu, tapi untuk sekarang lebih baik aku minta maaf.
"...Jadi?"
Kokone memandang mataku dengan penuh harapan. Harus kuakui memang matanya agak besar, aku jadi merasa canggung begitu menyadarinya.
"...Aku pikir wajahmu sama seperti biasanya."
Aku berkata begitu sambil memalingkan mataku dari wajahnya.
"Eh? Apa? Kau bilang wajahku imut seperti biasanya...?"
"Aku nggak bilang begitu."
"Kalau begitu katakan!"
Oah... dia mulai memaksaku.
"Sejujurnya Aku memakai maskara hari ini. Bagaimana? Bagaimana?"
Aku tidak melihat ada perbedaan dari wajahnya dibandingkan kemarin.
"...Ugh, nggak mungkin aku bisa membedakan hal seperti itu."
Aku berkata sejujurnya. Tapi itu malah berefek buruk.
"'Hal seperti itu' kau bilang?"
Dia memukulku.
"Ow..."
"Cih! Membosankan!"
Dia berkata begitu dengan suara yang agak keras... Ahh, dia pasti benar-benar marah. Kokone bergaya seperti gaya meludah ke arahku, lalu dia menghampiri teman sekelas lainnya untuk memamerkan maskaranya.
"Haa..."
Sekarang aku lelah. Kokone memang menyenangkan diajak bercanda, tapi emosinya itu susah dikendalikan.
"Sudah selesai pertengkaran suami-istrinya?"
Hal pertama yang kulihat ketika menengok adalah tiga buah anting di telinga kanan. Hanya ada satu orang di sekolah ini yang memiliki gaya seperti itu.
"Daiya... Itu bukan pertengkaran suami-istri. Bagaimana kau bisa berkata seperti itu?"
Dia, Daiya Oomine, menyeringai mendengar kata-kataku barusan. Yah, dia memang angkuh seperti biasa. Justru akan terlihat aneh jika yang menggunakan aksesoris seperti itu, tidak hanya mengabaikan peraturan sekolah tapi malah memprovokasi sekolah, merendahkan dirinya sendiri.
"Tapi benar kau tidak sadar dengan maskaranya? Aku saja mengetahuinya. Yah, meski aku sama sekali tidak tertarik padanya."
"...Serius?"
Mereka sebenarnya bertetangga dan sepertinya sudah berteman sejak TK. Tidak mungkin kalau dia sama sekali nggak tertarik padanya. Tapi, menyadari sesuatu pada diri orang lain sementara orang sepertiku yang duduk di sebelah Kokone saja tidak, bisa jadi masalah. Soalnya, dia kan Daiya, yang bahkan menurutku tidak pernah melirik ke orang lain.
"...Tapi, kau tahu."
Aku juga merasa kalau Kokone juga memakai maskara yang sama kemarin.
"Oh, aku mengerti, Kazu. Jadi maksud dari ucapanmu yang bilang padanya 'aku tidak tertarik padamu'. Aku sangat setuju denganmu! Aku pasti mengambil sikap yang sama, tapi aku akan lebih berterus terang!"
"Dasar kau ketua kelas jahat!! Aku bisa mendegarmu dengan jelas tahu!!"
Daiya tidak memperdulikan ucapan gadis berkuping tajam itu dan melanjutkan kata-katanya,
"Kazu, ayo ganti topik dari cewek yang sama kelkali tidak ada hubungannya - Kau tahu hari ini kita akan kedatangan murid pindahan ?"
"Murid pindahan?"
Aku memastikan lagi -- Hari ini tanggal «2 Maret». Memangnya ada ya orang yang pindah setelat ini?
"Murid pindahan? Benarkah??"
Sudah kuduga, Kokone pasti mendengar pembicaraan kami dan mengeraskan suaranya untuk bertanya.
"Kiri! Aku tidak bertanya padamu! Jangan asal menyela pembicaraan orang, apalagi dari situ! Oh, tapi jangan dekat-dekat! Wajamu yang ditutupi make-up yang super menyedihkan itu tidak baik buat kondisi mentalku..."
"A-apa!? Bisa-bisanya kau bilang seperti itu, Daiya! Perbaiki sifat ketidakjujuranmu itu! Oh, mungkin kita harus menggantungmu terbalik selama 24 jam supaya darah bisa mengalir ke otakmu supaya bisa berbicara dengan benar."
Aku buru-buru menyela pembicaraan kasar mereka, mengeraskan suaraku sedikit dan kembali ke topik.
"Murid pindahan, kan? Sepertinya aku pernah mendengar sesuatu tentang hal itu,"
Daiya menutup mulutnya, seperti sudah seharusnya dan memelototiku,
"Siapa yang sudah mengatakan hal itu kepadamu?"
Daiya bertanya dengan wajah serius,
"Eh? Kenapa?"
"Jangan jawab pertanyaanku dengan pertanyaan lainnya!"
"Err..Siapa ya? Bukannya itu kau sendiri?"
"Mustahil. Aku sendiri baru dengar saat pergi ke ruang guru karena ada urusan. Tidak ada kesempatan bagiku untuk mengatakannya padamu."
"Benarkah?"
"Gosip seperti ini memang cepat menyebar. Tapi, bahkan si cerewet Kiri belum mengetahuinya."
Benar, melihat reaksinya barusan, bukan cuma dia. Sepertinya tidak ada satupun di kelas 1-6 yang tahu tentang ini.
"Makanya aku menyimpulkan kalau informasi ini dirahasiakan sampai hari kepindahannya, yaitu hari ini. Tapi, bagaimana kau bisa tahu?"
"...Hah?"
Akupun heran.
"Terserahlah. Tapi bukannya ini tidak wajar, Kazu? Kenapa ada orang yang pindah sekarang? Yah, mungkin saja ada suatu masalah sampai mesti pindah sekolah. Contohnya, bagaimana kalau dia adalah seorang putri dewan yang dikeluarkan dari sekolah asalnya? Jika itu benar, wajar jika kepindahannya dirahasiakan."
"Daiya, tidak baik berprasangka seperti itu. Maksudku, mungkin dia sudah dalam posisi yang mencurigakan meski tanpa prasangkamu barusan. Lagi pula, semua murid di sini diam-diam mendengarkan."
Murid-murid lain memang mendengar semua perkataan kami, dan setelah mendengar pernyataanku, mereka tersenyum canggung.
"Ah, masa bodoh!"
Uwaa...
Ketika aku mengeluarkan keluhan terhadap sifat cueknya Daiya, bel tanda masuk kelas berbunyi. Seluruh murid kembali ke bangku masing-masing.
Kokone yang kursinya berada di dekat jendela, membuka jendela lalu menengok lewat jendela tersebut. Rupanya dia ingin cepat-cepat melihat murid pindahan itu.
"Ooh!"
Sepertinya Kokone sudah melihat murid pindahan itu. Setelah berkata 'ooh' dia kembali duduk ke kursinya dengan wajah kaku, padahal sebelumnya wajahnya ceria saat dia masih melihat ke luar jendela.
Aku heran apa yang salah.
Kokone tersenyum dan bergumam 'Ini menakjubkan!'. Mungkin bukan cuma aku saja, bahkan semuanya ingin bertanya kepadanya apa yang sebenarnya terjadi, tapi wali kelas sudah terlanjur memasuki ruang kelas. Bayangan seorang gadis dapat terlihat di balik kaca pintu. Itu pasti si murid pindahan yang dibicarakan itu. Melihat sekeliling ruang kelas, wali kelas kami pasti berpikir semuanya sedang mengira-ngira, seperti apa orang yang berada di balik pintu, dan segera memanggil si murid pindahan tersebut.
Bayangan yang berada di belakang pintu bergerak,
Dan kemudian aku melihatnya
Dalam sekejap--
Aku seperti didorong dari tebing, pemandangannya berubah seketika.
Pertama, aku mendengar suara. Suara dari pemandangan yang mengerikan, satu persatu pemandangan lain menerobos ke dalam pikiranku. Pemandangan itu terus-menerus muncul. Aku merasa seperti pikiranku akan meledak. Deja vu. Deja vu. Ya, Deja vu.
"Aku Aya Otonashi," Aku dengar.
"Aku Aya Otonashi," Aku dengar.
"Aku Aya Otonashi," Cukup! Aku sudah tahu!
Aku menolak kumpulan-kumpulan informasi yang mencoba menginvasi pikiranku. Sudah jelas, tidak mungkin semua informasi ini bisa masuk ke dalam pikiranku. Otakku pasti kelebihan beban. Aku tidak dapat memprosesnya sama sekali.
"Ah..."
Apa,
Sungguh tidak dapat dimengerti, aku ini...?
Aku menyadari bahwa aku memikirkan sesuatu yang tidak dapat kumengerti dan memutuskan untuk berhenti berpikir. Lalu...
...Eh? Apa yang baru saja kupikirkan?
Melupakan hal tersebut, aku menghadap ke depan dan melihat wajahnya lagi. Aku melihat ke arah si murid pindahan, Aya Otonashi, yang namanya belum kuketahui.
"Aya Otonashi."
Si murid pindahan hanya mengatakan kalimat yang sangat singkat. Dengan suara pelan dia tidak peduli apakah kami bisa mengerti kata-katanya barusan.
Aya Otonashi meninggalkan tempat dia berdiri,
Karena perkenalannya sangat singkat, seisi kelas pun menjadi ribut.
Dia tidak peduli sedikit pun terhadap teman sekelasnya yang penasaran dan berjalan ke arahku.
Melihat tepat ke wajahku,
Dia duduk di kursi kosong di sampingku, seperti tempat duduk itu sudah disiapkan untuknya sejak awal.
Otonashi-san mengerutkan dahinya kepadaku ketika aku melihatnya tanpa melakukan sesuatu.
Kupikir aku harus mengatakan sesuatu,
"...Err, senang berkenalan denganmu."
Dahinya yang mengerut tidak berubah sama sekali.
"Hanya itu?"
"Eh...?"
"Kutanya, cuma itu?"
Apakah ada yang lain? Meski kau bilang begitu, aku tidak dapat memikirkan apa pun. Lagi pula, ini kan pertemuan pertama kita.
Tapi suasananya memaksaku mengatakan sesuatu,
"...Err, seragammu. Apa itu seragam asalmu?"
Otonashi-san tidak bereaksi sama sekali terhadap perkataanku barusan dan tetap memandangku dengan tatapan yang menakutkan.
"...Eh??"
Melihat kebingunganku, entah kenapa Otonashi-san menghela napas panjang dan tersenyum. Ya, tersenyum seperti sedang melihat anak kecil yang penakut.
"Aku akan memberi tahu sesuatu yang bagus kepadamu, Hoshino."
...Eh? Aku bahkan belum memberitahu namaku padanya.
Bukan cuma itu. Otonashi-san mengatakan sesuatu padaku yang membuatku duduk terdiam selama 5 detik penuh.
"Kasumi Mogi mengenakan celana dalam warna biru muda hari ini."





Pakaian yang dikenakan Kasumi Mogi saat pelajaran olahraga bukanlah pakaian olahraga, tapi malah seragam sekolahnya.
Hari ini, dia menonton pertandingan sepak bola antar laki-laki dengan mengenakan seragamnya, dan tanpa ekspresi seperti boneka hiasan.
Kaki putihnya yang terlihat keluar dari roknya kelihatan sangat lemah dan rapuh. Terlihat seperti bisa rusak kapanpun.
Dan aku, karena suatu alasan, tidur dengan kepalaku di pangkuannya.
Ah, ya. Aku tidak punya petunjuk sama sekali tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku tidak dapat menikmati sensasi kebahagiaan yang mestinya kurasakan saat ini karena aku sedang mati-matian menahan mimisanku dengan tisu. Kalau aku tidak menahannya, hal ini tidak akan berakhir baik.
Aku mengingat bagaimana kejadian sebelumnya. Saat aku tidak dapat konsentrasi karena perkataan Otonashi-san sebelumnya, sebuah bola mengenai mukaku dan kemudian hidungku mulai mengeluarkan darah. Sesaat kemudian, Mogi-san datang ke arahku dengan cemas dan entah kenapa membiarkanku tidur di pangkuannya.
Kaki Mogi tidak lembut sama sekali, dan sejujurnya, malah membuat kepalaku sedikit sakit.
Aku heran kenapa dia begitu peduli padaku. Aku melihat ke arah Mogi-san, tapi aku tidak dapat memikirkan apa pun saat melihat wajahnya yang tanpa ekspresi itu,
Tapi itu membuatku bahagia.
Sangat, sangat bahagia.
Perkataan Otonashi-san tentang celana dalam.
Tentu saja aku terkejut dengan pernyataannya yang tidak terduga sama sekali. Maksudku, Otonashi-san mengatakan 'Aku akan memberitahu sesuatu yang bagus kepadamu'. Singkatnya, dia menyatakan kalau informasi tentang <<Kasumi Mogi>> adalah <<Sesuatu yang bagus>> untukku.
Aku bahkan belum memberitahu Kokone maupun Daiya tentang perasaanku terhadap Mogi. Jadi, tidak mungkin Otonashi-san yang baru saja kutemui hari ini bisa tahu tentang hal itu. Meski begitu, dia tetap mengatakannya.
"...Mogi-san,"
"Ada apa?"
Mogi-san menjawab dengan pelan. Suaranya seperti seekor burung kecil yang cocok dengan penampilannya yang mungil dan imut.
"Hari ini, um, apa Otonashi-san berbicara sesuatu kepadamu?"
"...Murid pindahan itu? Tidak..."
"Kau tidak punya hubungan khusus dengan dia kan?"
Mogi-san menegaskannya dengan mengangguk,
"Apakah dia melakukan sesuatu yang mencurigakan kepadamu?"
Dia berpikir sejenak dan kemudian menggelengkan kepalanya. Rambutnya yang sedikit bergelombang bergoyang.
"Kenapa kau menanyakan hal ini?"
Dia memiringkan kepalanya dan bertanya.
"Ah, tidak... Kalau memang tidak ada, tidak masalah."
Ketika aku mengalihkan pandanganku ke lapangan olahraga, Otonashi-san berdiri sendirian di tengah lapangan sekolah dengan pose yang tidak bersemangat, seolah tidak menunjukkan ketertarikan terhadap bola maupun para gadis yang mengejar bola. Ketika bola tersebut mengarah kepadanya, dia menendangnya kembali dengan pelan... Er, bukannya dia baru saja menendang ke arah tim lawan?
"Mmhh..."
Mungkin aku terlalu memikirkannya, berpikir bahwa dia menyadari perasaanku terhadap Mogi-san.
Pengaruh dari Otonashi-san memang agak kuat karena penampilan dan sikapnya. Yah, normal saja aku memikirkannya kalau orang seperti dia tiba-tiba berkata seperti itu saat di kelas tadi. Sebuah logika yang semua orang pun dapat mengerti.
Dan lagi -- kenapa aku tidak bisa mempercayai hal tersebut?
Otonashi-san memandang ke arahku,
dia mengarahkan pandangannya ke arahku, hanya ke arahku, tidak memandang ke arah yang lainnya.
Memandang lurus ke arahku. Dia dengan berani menaikkan ujung mulutnya. Meskipun pelajaran belum berakhir, dia berjalan ke arahku,
Tanpa sadar, aku berdiri, meninggalkan posisiku semula, di pangkuan Mogi-san, yang mestinya merupakan sumber kebahagiaanku yang terbesar. Aku merasa ngeri. Ini bukan kiasan, aku benar-benar merasakan kengerian yang luar biasa.
Mogi-san yang terlihat menyadari keberadaan Otonashi-san, menegang karena kegelisahan dan berdiri sepertiku.
Masih dengan senyumannya yang terlihat mengejek, Otonashi-san menunjuk ke arahku... tidak, ke arah Mogi-san,
Saat itu,
angin tiba-tiba berhembus. Angin yang tiba-tiba berhembus. Angin yang tidak mungkin seorang pun dapat mengetahuinya.
Hembusan angin yang tiba-tiba itu pun mengangkat rok Mogi-san.
"Kya...!!"
Mogi-san segera mendorong roknya ke bawah. Tapi hanya bagian depannya saja. Aku berdiri di belakangnya. Segera setelah angin berhenti bertiup, Mogi-san berputar dan melihat ke arahku. Dia memang terlihat tanpa ekspresi seperti biasanya, tapi menurutku pipinya memerah.
Tanpa bersuara dia seperti membentuk kalimat 'Apakah kamu melihatnya?' dengan mulutnya. Tidak, dia mungkin benar-benar berbicara. Tapi aku tidak dapat mendengar suaranya yang pelan. Aku dengan takut menggelengkan kepalaku. Yah, sebenarnya aku melihatnya. Tapi Mogi-san tidak melakukan apa pun, hanya memandang ke bawah.
Sekarang Otonashi-san berdiri tepat di sampingku.
Aku melihat sekilas ekspresinya,
"Ahh---"
Sekarang aku mengerti alasan kenapa aku bergetar seperti itu. Aku tahu arti di balik ekspresinya. Sebuah perasaan yang belum pernah diarahkan kepadaku seumur hidupku,
--permusuhan.
Kenapa? Kenapa perasaan itu diarahkan ke orang sepertiku?
Otonashi-san menaikkan ujung mulutnya dan melotot ke arahku. Saat aku hanya bisa bergetar dan tidak bisa bergerak, dia memegang bahuku, mendekatkan tubuhnya ke arahku, dan membisikkan sesuatu dengan bibirnya yang halus di dekat telingaku,
"Benarkan, biru muda?"
Otonashi-san sudah tahu semuanya, perasaanku terhadap Mogi-san, hembusan angin yang memperlihatkan celana dalam Mogi-san kepadaku, dia tahu semuanya.
Pernyataan barusan bukanlah sebuah lelucon. Itu adalah sebuah ancaman untuk menegaskan bahwa dia mengetahuiku dengan sempurna, mengetahui cara berpikirku, dan dia dapat mengendalikanku.
"Hoshino, seharusnya kau sudah mengingatnya sekarang, kan?"
Otonashi-san memperhatikanku ketika aku terdiam. Kami tetap seperti ini selama beberapa saat, tetapi tidak lama kemudian, dia menghela napasnya dan memandang ke arah bawah.
"Jadi ini sia-sia saja, padahal aku sudah susah-susah melakukan sejauh ini...Malah kulihat kau satu level lebih bodoh hari ini."
Dia menggerutu.
"Jika kau lupa, ingat ini baik-baik. Namaku «Maria»."
...<<Maria>>? Tidak, err... bukannya dia «Aya Otonashi»?
"...A-apa itu nama samaranmu atau sejenisnya?"
"Diam."
Dia melotot ke arahku, bahkan tanpa menutupi kekesalannya.
"Baiklah, kau yang seperti ini sih tidak menantang sama sekali, kalau begini aku akan bertindak sesuka hatiku."
Otonashi-san berkata seperti itu dan membalikkan badannya.
"Ah, tunggu..."
Tanpa sadar aku mencoba menghentikannya. Dia berbalik ke arahku, terlihat kesal.
Aku tidak begitu yakin, tapi melihat sikap Otonashi-san, mungkin--
"Apakah kita pernah bertemu di masa lalu?"
Mendengar perkataanku, Otonashi-san menyeringai.
"Ya, kita adalah kekasih di kehidupan sebelumnya. Oh, Hathaway-ku yang tercinta, betapa malangnya keadaanmu yang sekarang! Kau tidak sebodoh itu dulu ketika kau memujiku, sang putri dari negara musuh."
"...Um, apa?"
Aku tidak dapat berkata apa pun. Otonashi-san terlihat puas melihatku seperti itu dan untuk pertama kalinya, dia menunjukkan senyuman yang terlihat seperti senyumannya yang asli.
"Aku cuma bercanda."





Keesokan harinya,
Aku melihat mayat Aya Otonashi.


Ke-8946 kali[edit]

Ketika mendengar kata-kataku, Mogi-san berpikir sejenak dengan mata yang terlihat sedih. Lalu dia mengucapkan sesuatu, dia terlihat gelisah. Kata-kata yang diucapkannya adalah:

"Tolong tunggu hingga besok."

Ke-2,601 kali[edit]

"Aku Aya Otonashi."
Murid pindahan itu hanya menggumamkan hal tersebut.



"Oh my god! Itu luar biasa!"
Haruaki Usui, yang duduk di sebelahku mengatakan hal tersebut dengan suara yang agak keras, meski kelas masih berlangsung, dan menepuk punggungku dengan penuh semangat.
Haruaki? Kau tahu, itu sakit sekali. Dan juga dilihat oleh murid-murid yang lain itu memalukan...
Pandangan Haruaki sudah kembali ke arah si murid pindahan, Aya Otonashi.
"Pandangan kami bertemu! Ini sungguh hebat!"
"Yah, wajar saja, saat dia melihat sekeliling, mungkin saja pandangannya kebetulan bertemu dengan pandanganmu."
"Hoshii, ini TAKDIR!"
Tunggu, apa? Takdir?
"Akh, lagi pula, dia itu terlalu cantik! Dia pasti dianggap sebagai karya seni jika dia berada di pasaran perdagangan seluruh dunia... dan kemudian dia akan diakui sebagai harta negara. Oh, sial, sudah terlambat, hatiku sudah dicuri olehnya... Aku akan menyatakan perasaanku padanya!"
Cepat sekali!!
Bel pun berbunyi. Setelah kami berdiri dan memberi salam kepada guru, Haruaki langsung pergi ke arah Otonashi-san.
"Aya Otonashi-san! Aku jatuh cinta pada pandangan pertama denganmu. Aku suka padamu!"
Uwaa, dia benar-benar melakukannya...
Aku tidak dapat mendengar jawaban Otonashi-san. Tapi wajah Haruaki sudah memperlihatkannya, dengan kata lain dia gagal. Ah... tidak. Mestinya tidak usah melihat ke wajahnya. Itu sudah pasti.
Haruaki kembali ke depan mejaku,
"Mustahil, aku... ditolak?"
Dia pikir akan berhasil?Menakutkan karena dia terlihat begitu sangat serius...
"Itu wajar, 'kan? menyatakan perasan padanya seperti itu, justru malah mengganggu dia!"
"Hm, betul juga. Oke, aku bakal menyatakan padanya lagi! Tapi kali ini tidak secara tiba-tiba! Yeah, perasaanku ini pasti dapat tersampaikan kepadanya suatu saat nanti!"
Di satu sisi, aku pikir cara berpikirnya yang positif membuatku iri. Tapi di sisi lainnya lebih baik aku tidak memikirkannya.
"Having fun, guys? Untukku, tadi itu pertunjukan yang lumayan bagus. Ngomong-ngomong, para gadis memandang kalian dengan tatapan menghina, lho."
Daiya bergabung ke percakapan kami dengan kalimat itu.
"Eh!? Bukannya cuma Haruaki saja?"
"Oh, tidak, kau juga. Aku kira, para gadis menganggapmu sejenis dengannya."
"Oh, sejenis denganku? Itu adalah pujian! Bukan begitu, Hoshii?"
A-apa pun selain itu...
"Selain itu, Daiyan, bahkan kau pun sebenarnya ingin melakukan sesuatu buat menarik perhatiannya, 'kan?"
Haruaki menyenggol Daiya dengan sikutnya. Alasan kenapa dia tidak takut melakukan hal itu mungkin karena mereka adalah teman sejak kecil. Atau mungkin, hanya karena dia tidak memikirkan akibatnya.
Daiya menghela napas dan langsung menjawab,
"Tidak sama sekali."
"Mustahil, Daiyan! Lalu, siapa yang bisa menggerakkan hatimu!?"
"Tidak ada hubungannya kalaupun jantungku berdetak lebih cepat karena penampilan Otonashi-san. Aku mungkin mengakui kecantikannya tapi aku tetap tidak akan melakukan apapun untuk menarik perhatiannya."
"Hah?"
"Haruaki, kau tidak mengerti sama sekali, ya, 'kan? Ya, tentu saja perasaan ini tidak akan dimengerti oleh monyet sepertimu yang hidup hanya dengan mengandalkan nalurinya dan menembak setiap gadis yang memiliki wajah cantik."
"Apa!? Lagi pula, apa hubungannya antara naluri dengan penampilan!?"
"Karena penampilan seseorang berpengaruh terhadap keberhasilannya, hal itu naluriah untuk merasa tertarik kepada orang yang memiliki wajah yang bagus."
"Oh..","Oh.." Haruaki dan aku mengehela napas karena kagum pada saat yang bersamaan. Daiya memperlihatkan wajah takjub karena terkejut bahwa kami belum mengetahui hal semacam itu.
"Aku tahu, Daiyan! Kau bilang kalau kecantikannya di luar jangkauan yang bahkan kau sendiri tidak bisa melakukan apapun untuk menarik perhatiannya, ya, 'kan?! Sungguh, kekalahan yang tak terhindarkan! Benar, 'kan? Seperti seekor rubah yang membuat dirinya berpikir kalau 'anggur itu busuk' ketika ada anggur tidak terjangkau olehnya. Ini disebut rasionalisasi. Tidak keren! Itu sama sekali tidak keren, Daiyan!"
"Seberapa banyak perkataanku yang tidak kau dengar, hah?... yah, sebagian dari pernyataanmu memang tidak jelek, tapi untuk sebagian lainnya, kubunuh kau."
"Oho, jadi kau benar-benar tidak bisa melakukan apa pun untuk mencuri hatinya,"
Akhirnya Daiya memukul Haruaki tepat di wajahnya yang sedang terlihat senang. Uwaa, apa yang gunanya dia tahan emosinya selama ini kalau dia memukul Haruaki seperti itu...
"Ini tidak seperti 'Aku nggak bisa melakukan apapun untuk menarik perhatiannya' tapi lebih seperti 'Dia tidak melakukan apapun untuk menarik perhatianku'!"
"Sombong sekali...hey, Hoshii, bukannya orang ini terlalu sombong cuma karena penampilannya?"
Haruaki berkata seperti itu tanpa ada sedikit pun rasa menyesal.
"Dia sih tidak melakukan apa pun untuk menarik perhatianku bukan karena aku di luar jangkauannya! Memang mungkin saja hal itu terjadi, tapi itu tidak berlaku padanya."
"Uwaa, berani sekali dia berkata hal yang seperti itu!"
"Dia tidak menganggapku di luar jangkauannya. Bukan, bahkan dia tidak membuat klasifikasi seperti itu. Sejak awal, dia memang tidak tertarik pada kita. Dia bahkan tidak memandang kita sama sekali. Sama halnya melihat serangga hanya sebagai seekor serangga, dia juga menganggap seseorang hanya sebagai seseorang. Hanya itu. Dia tidak peduli akan perbedaan seperti antara wajah tampanku dan wajah jelek Haruaki. Seperti kita tidak membedakan jenis kelamin kecoa. Bagaimana kau bisa menarik perhatian gadis seperti itu?"
Bahkan Haruaki pun terdiam karena pernyataan tentang Otonashi-san yang dikatakan oleh Daiya.
"...Daiya."
Akupun mulai bicara
"Sepertinya kau sangat tertarik kepada Otonashi-san."
Daiya tidak dapat berkata apa pun. Ah, itu adalah reaksi yang sangat langka. Apa aku salah? Dia pasti benar-benar memperhatikan Otonashi-san sampai dia bisa melakukan analisis seperti itu.
"...Cih, aku nggak tertarik!"
"Hee, mukamu memerah."
"Hey, Kazu, kalau kau terus berkata seperti itu, kan aku tambah daftar trauma-mu."
Daiya terlihat agak marah... Sepertinya dia sadar kalau dia tidak akan bisa akrab dengan Otonashi-san.
"Meski dengan intuisi super bodoh kalian yang seperti serangga, kalian akan segera sadar dengan keabnormalannya."
Itu terdengar seperti alasan yang dibuat-buat,
tapi itu bukan.
Kau tahu, apa yang dia katakan sangat tepat.



Segera setelah perkenalan, Otonashi-san tiba-tiba mengangkat tangannya. Tanpa menunggu izin dari Hokubo-sensei, dia berdiri dan mulai berbicara.
"Aku ingin kalian semua melakukan sesuatu sekarang."
Tidak peduli dengan seisi kelas yang kebingungan, dia meneruskan kalimatnya,
"Ini hanya memerlukan waktu 5 menit. Tentu kalian dapat melakukannya, bukan?"
Meskipun tidak ada yang menjawab, dia maju ke depan kelas dan meminta agar Hokubo-sensei keluar dari kelas, seperti dia sudah biasa melakukan hal itu dan berdiri di depan kelas. Meski hal yang dilakukan dia itu tidak wajar, ini terasa seperti sesuatu yang sudah biasa bagiku. Melihat reaksi yang lainnya, sepertinya mereka berpikir sama.
Ruang kelas menjadi sunyi.
Berdiri di depan kelas, Otonashi-san membuka mulutnya sambil memandang lurus ke depan,
"Aku ingin kalian menuliskan sesuatu untukku."
Otonashi-san membagikan sesuatu kepada murid yang berada di barisan depan. Murid yang menerimanya mengambil selembar dan menyerahkan sisanya ke murid di belakang seperti membagikan soal ulangan. Yang kudapat cuma kertas sepanjang 10 sentimeter.
"Jika sudah selesai, kembalikan kertasnya padaku."
"Apa maksudnya dengan «melakukan sesuatu» itu?"
Ketika Kokone bertanya seperti mewakili kelas, Otonashi-san menjawab dengan entengnya,
"Namaku."
Ruang kelas yang tadinya sunyi menjadi berisik. Wajar saja, akupun tidak mengerti. Namanya? Semuanya sudah pasti tahu, karena tadi pagi dia memperkenalkan diri sebagai 'Aya Otonashi'.
"Sungguh bodoh!"
Orang yang bisa mengatakan hal tersebut di saat seperti ini cuma satu,
Daiya Oomine.
Seketika itu juga teman-teman sekelasku menahan napas mereka. Karena mereka tahu bahwa bermusuhan dengan Daiya adalah hal yang luar biasa buruk.
"Namamu Aya Otonashi, kan? Kenapa kau ingin kami menuliskannya? Apa sampai segitunya kau mau agar kami semua dapat mengingat namamu secepatnya!?"
Otonashi-san tetap santai meskipun diprotes seperti itu.
"Aku akan tulis «Aya Otonashi». Aku sudah memberitahumu, jadi, aku tidak perlu menulisnya lagi, 'kan?"
"Ya, aku tidak peduli."
Daiya tidak mengira kalau dia akan diberi jawaban sesingkat itu dan dia pun pergi tanpa mengatakan apapun.
"Cih!"
Daiya merobek kertas itu sekeras mungkin dan langsung meninggalkan kelas.
"Ada apa? Kenapa kalian tidak segera menulis?"
Tidak ada yang mulai menulis. Tentu saja, kami terkejut terhadap sikap Otonashi. Dia membuat Daiya terdiam. Sebagai teman sekelas Daiya, kami tahu seberapa luar biasanya kejadian barusan tadi.
Tidak ada yang dapat melakukan apa pun selama beberapa waktu. Tapi, setelah seseorang terdengar mulai menulis sesuatu, semuanya pun mengikutinya.
Mungkin tidak ada satu pun yang tahu maksud Otonashi-san, tapi pada akhirnya hanya satu hal yang dapat kami tulis.
Nama «Aya Otonashi».
Orang pertama yang menyerahkan adalah Haruaki. Melihat hal itu, beberapa murid yang lain mengikutinya. Ekspresi Otonashi-san tidak berubah ketika dia menerima kertas dari Haruaki.
Itu mungkin...jawaban yang salah.
"Haruaki."
Aku memanggil Haruaki setelah dia berbicara kepada Mogi-san.
"Ada apa, Hoshii?"
"Apa yang kau tulis?"
"Ha? Aku cuma bisa tulis «Aya Otonashi» kan? Meskipun aku hampir lupa menulis huruf terakhir."
Entah kenapa Haruaki berkata seperti itu dengan wajah muram.
"...Yah, kupikir juga cuma itu..."
"Jangan pikirin yang macam-macam, tulis ajalah!"
"Tapi apa kau benar-benar berpikir dia melakukan semua itu untuk membuat kita menulis nama ini ?"
Kalau itu tujuannya, aku tidak dapat memikirkan alasan kenapa dia melakukan ini.
Haruaki dengan cepat menjawab pertanyaanku,
"Tentu saja tidak."
"Eh? Bukannya kau tulis «Aya Otonashi», 'kan?"
"Ya...dengar. Daiya itu terlalu pintar sampai perbuatannya tadi itu tidak lucu, 'kan? Perilaku buruknya memang tidak lucu."
Karena Haruaki tiba-tiba mengganti pembicaraan, aku menjadi bingung.
"Daiya bilang kalau dia hanya akan menulis «Aya Otonashi» bukan? Jadi dia tidak akan memikirkan nama lain untuk ditulis selain nama itu. Tentu aku juga berpikiran sama. Apa yang ingin aku katakan adalah, 'kau tidak bisa menuliskan apapun jika kita tidak dapat memikirkan apapun'."
"Jika kau tidak bisa memikirkan sesuatu... kau tidak akan menulisnya..."
"Tepat! Dengan kata lain, semua ini tidak ditujukan untuk kita!"
Aku merasa kalau perkataan Haruaki tepat mengenai sasaran. Dia mungkin benar tentang ini.
Dengan kata lain, Otonashi-san tidak peduli kepada sebagian besar teman sekelasnya dan melakukan hal ini hanya untuk orang yang bisa memikirkan sesuatu.
Ya, aku mengerti kenapa barusan Haruaki murung. Maksudku, dia memang jatuh cinta pada pandangan pertama pada Otonashi-san. Memang dia terlihat bercanda, tapi aku belum pernah melihatnya menyatakan cinta pada orang lain. Yah, dengan kata lain, sebenarnya dia itu serius.
Otonashi-san tidak peduli pada keberadaan Haruaki dan yang lainnya...Seperti yang dikatakan Daiya.
"Haruaki, aku terkejut dengan semua yang kau katakan tadi."
"Bagian 'aku terkejut'-nya nggak perlu kau tambahkan!"
Ketika aku menyembunyikan perasaan malu dengan mengatakan sesuatu yang tidak sopan itu dengan tersenyum, Haruaki bereaksi dengan tersenyum pahit.
"Sampai nanti, aku bisa dibunuh seniorku kalau tidak segera pergi sekarang. Aku tidak bercanda!"
"Oh, silakan saja."
Anggota klub baseball yang biasa-biasa saja itu terlihat agak menuntut.
Aku melihat kearah kertasku yang masih kosong. Aku ingin menuliskan <<Aya Otonashi>> tapi pada akhirnya aku tidak bisa menulisnya.
Aku melihat ke arah Otonashi-san, ekspresinya tidak berubah sedikit pun ketika melihat kertas-kertas yang sudah dikembalikan kepadanya. Menurutku, semuanya tertulis <<Aya Otonashi>>.
---Seseorang yang tidak bisa memikirkan apapun tidak akan bisa menuliskan apa pun.
"----"
Jadi, apa yang harus aku lakukan?
Entah kenapa nama aneh seperti «Maria» terlintas di pikiranku.
Tidak. Aku sadar ada yang salah denganku. Dari berbagai nama kenapa cuma <<Maria>>? Aku bahkan tidak tahu dari mana nama ini berasal. Jika aku memberikan nama ini padanya, dia pasti akan berteriak kepadaku dengan kalimat misalnya «Apa kau bercanda?»
Tapi, apa mungkin jawaban inilah yang dia inginkan...?
Setelah berpikir keras, akhirnya aku mulai menulis di atas kertas sepanjang 10 sentimeter itu.
«Maria»
Aku berdiri dan menuju ke arah Otonashi-san. Sudah tidak ada antrian lagi. Sepertinya aku yang terakhir. Dengan gugup aku memberikan kertasku padanya. Otonashi-san menerimanya tanpa berkata apa pun.
Lalu, dia melihat ke huruf-huruf yang tertulis di sana.
Ekspresinya berubah. Drastis.
"...Eh?"
Otonashi-san yang bergeming sama sekali saat dia menghadapi guru dan Daiya, membuka matanya lebar-lebar.
"Fufufu..."
Tiba-tiba dia tertawa.
"Hoshino,"
"Oh, kau ingat namaku."
Dalam sekejap aku menyesali keputusanku. Sebab, ketika dia berhenti tertawa, Otonashi-san melotot ke arahku seperti dia sedang melihat musuh bebuyutannya.
"...Kau! Apa kau bercanda denganku!?"
Dia terlihat berusaha menahan amarahnya karena dia berbicara dengan suara yang pelan. Aku memang sudah memperkirakan bagian 'bercanda'-nya, tapi nada suaranya mengejutkanku.
Dia menarik kerahku dengan sekuat tenaga.
"Waah! M-maafkan aku! I-Itu tidak seperti aku bercanda denganmu..."
"Jadi, kau mau bilang kalau kau bisa saja menulis jawaban seperti itu tanpa bercanda?"
"Err, well, Kau... mungkin benar. Aku mungkin saja bercanda."
Pertanyaannya tadi bisa saja dibilang serangan akhir.
Tanpa melepaskanku, dia menarikku speanjang jalan ke belakang bangunan sekolah



"Hoshino, apa kau mempermainkanku?"
Otonashi-san menekanku ke tembok bangunan sekolah dan melotot ke arahku.
"Aku memang tidak pintar dalam membuat rencana, aku sadar akan hal itu. Ini adalah rencana gila yang sama saja seperti mengatakan «Jika kau pelakunya, serahkan saja dirimu». Tidak, kau bahkan tidak bisa menyebutnya rencana. Meski begitu... Kenapa kau mengambil umpannya? Ini sudah kedua kalinya aku melakukan hal ini. Yang pertama malah tidak kaupedulikan sama sekali!"
Dia melepaskan tangannya dari kerahku, tapi pandangannya cukup untuk membuatku terdiam.
Otonashi-san melihat ke arahku sambil mengigit bibirnya dan menghela napasnya.
"...Tidak, aku kesal karena aku akhirnya mendapat petunjuk dengan cara yang sangat mustahil seperti ini. Tapi, tanpa ragu aku bisa bilang kalau situasinya makin membaik. Jadi aku mestinya senang."
"...Ya, aku pikir begitu. Kau harusnya senang! Hahaha--"
Otonashi-san melotot ke arah senyumanku yang kupaksakan. Mungkin sebaiknya aku tetap diam.
"...Aku tidak mengerti. Sebenarnya kukira kau menyerah terhadap usaha kerasku... Tapi apa-apaan dengan wajah cuek seperti itu!"
Daripada dibilang cuek, aku tidak mengerti sama sekali tentang apa yang kaubicarakan.
"Kau terus mengabaikanku selama 2600 kali. Berapa lama pun pengulangan tidak terbatas ini berlanjut, aku tidak akan pernah menyerah. Meski begitu, aku sudah lelah. Seharusnya kau pun merasakan kelelahan sepertiku, tapi bagaimana bisa kau terus bersabar sampai sekarang?"
Apa yang harus aku katakan... Bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang sedang kaubicarakan.
Sepertinya dia menyadari keherananku terhadap perkataannya dan melihatku dengan curiga.
"...Apa mungkin kau tidak sadar?"
"Sadar? Sadar apa?"
"...Baiklah. Akting atau bukan, penjelasanku tadi tidak akan menyebabkan kerugian apa pun. Hm, yah... Biar simpel, aku sudah 'pindah sekolah' 2.601 kali."
Aku cuma bisa terdiam.
"Jika kau hanya berakting, maka kau benar-benar hebat. Tapi, sepertinya kau hanya memang «tidak tahu» apapun melihat wajahmu yang bingung itu. Apapun itu, aku akan menjelaskan padamu apa yang aku tahu. Hari ini tanggal 2 maret kan?"
Aku mengangguk.
"Lebih gampang jika aku bilang kalau aku sudah mengulangi 2 Maret ini sebanyak 2.601 kali, meski tidak sepenuhnya benar. Karena itu aku memakai kata 'Pindah Sekolah' meskipun itu juga kurang tepat."
"Haa.."
"Aku sudah dikirim kembali ke 2 Maret pukul 06:27 pagi sebanyak 2.601 kali."
"..."
"'Dikirim kembali' merupakan kata yang paling tepat menurutku. Tapi sebenarnya itu tidak tepat. Jadi aku menggunakan kata 'Pindah Sekolah' di sini, karena itu lebih mendekati kenyataan yang saat ini sedang terjadi--"
Otonashi-san melihatku kebingungan dan menggaruk kepalanya.
"Aargh! Dasar, betapa bodohnya kau! Jika ada sesuatu yang menurutmu tidak mengenakkan setelah pukul 06:27 akan kaunyatakan «kosong», ya, 'kan?"
Dengan kesal dia berteriak seperti itu. Oh, tidak, tidak... Tidak mungkin ada orang yang bisa mengerti sesuatu yang dikatakan tiba-tiba seperti itu, 'kan?
"...Aku tidak begitu mengerti, tapi pastinya, kau mengulangi waktu yang sama terus-menerus, 'kan?"
Saat itu juga aku mengatakannya,
"Ah--"
Apa? Perasaan apa ini?
Aku menekan dadaku di bagian yang terasa sesak. Perasaan yang tidak enak mulai menyerangku. Perasaan tidak tenang... tidak. Kata 'tidak tenang' tidaklah cocok. Ini adalah sensasi yang mengerikan. Misalnya seperti saat kota yang kautinggali tertukar dengan kota lain yang tak seorang pun menyadarinya kecuali kau sendiri.
Ini tidak seperti ingatanku sudah kembali. Aku belum mengingat apapun.
Tapi entah kenapa aku merasa ini «pernah terjadi».
Otonashi-san menyatakan kebenaran.
Kebenaran kosong.
"Apa kau akhirnya mengerti?"
"...T-tunggu sebentar,"
Dia mengalami 2 Maret sebanyak 2.601 kali. Hal itu memang masih membingungkanku, tetapi semua perkataan Otonashi-san seakan-akan menyatakan kalau:
"...Aku penyebabnya?"
Otonashi-san menjawabnya seketika.
"Ya."
"K-kenapa aku melakukannya?"
"Mana mungkin aku tahu alasanmu."
"Aku tidak melakukannya!"
"Bagaimana kau bisa menyatakan kalimat barusan jika kau sendiri tidak sadar?"
Kenapa aku? Begitu aku ingin mengatakan hal itu, aku menyadarinya. Hanya ada satu hal yang membuat dia begitu mencurigaiku.
Itu---karena aku menulis «Maria» di kertas.
"Seperti kau yang tidak sadar, orang-orang di sekitarmu yang terbawa-bawa ke dalam kejadian ini, juga tidak dapat mengingat kejadian-kejadian yang dinyatakan «kosong». Dengan kata lain, selain aku, hanya pelakunya saja yang bisa menulis «Maria» yang sudah kusebutkan di pengulangan sebelumnya."
Tapi aku mengingat nama ini. Kuakui memang tidak terbayangkan kalau nama «Maria» dapat terbayang dalam pikiranku tanpa alasan yang jelas.
"Aku tidak tahu apakah itu efektif atau tidak, tapi aku selalu melakukan tindakan yang dapat meninggalkan kesan terhadap siapapun. Aku hanya tinggal menunggu si pelaku yang juga memiliki ingatan kejadian di waktu yang dianggap «kosong» ini untuk berbuat kesalahan. Yah, tapi aku memang tidak mengharapkan ini akan berhasil."
"...Sejak kapan kau mencurigaiku? Maksudku, kau sengaja memberitahuku nama «Maria» di waktu sebelumnya, kan?"
"Aku tidak secara khusus mencurigai orang yang terlihat baik-baik seperti kau."
"Jadi...?"
"Hmm, tentu saja aku melakukannya ke semua orang, satu per satu, dan memberitahu mereka nama ini, karena dari sejak awal waktuku memang tak terbatas."
Waktunya tak terbatas.
Waktu yang telah Otonashi-san habiskan. Jangka waktu yang begitu lama. Aku bahkan tidak bisa mengatakannya sebagai sebuah metafora lagi.
Aku mengerti waktunya tidak terbatas, jadi itulah alasan kenapa dia sampai memikirkan rencana yang gila seperti menyuruh seluruh murid di kelas menulis namanya. Hanya dengan sedikit harapan supaya seseorang akan menulis nama «Maria». Bahkan jika dia tidak memiliki harapan sama sekali, semua rencananya pasti sudah habis terpakai bahkan sebelum sampai di pengulangan ke-2.601. Jadi, mungkin ini hanya salah satu cara untuk menghabiskan waktu hingga ada rencana baru yang muncul. Yeah, menurutku hal itulah yang paling rasional daripada diam dan tidak melakukan apapun sama sekali, meskipun itu hanya bertujuan untuk menenangkan pikiran saja. Lagi pula, waktunya memang tidak terbatas.
Itulah alasan kenapa Otonashi-san begitu marah ketika aku dengan mudahnya terkena trik ini. Seperti dalam game RPG ketika kau tidak bisa mengalahkan musuh dalam suatu 'quest' dan terus berlatih untuk mencapai level yang lebih tinggi, yang pada kenyataannya dapat dikalahkan dengan mudah dengan suatu 'item' tertentu. Tentu wajar jika kau merasa sia-sia dengan seluruh pengorbanan yang kau lakukan selama itu, bukan? Mungkin kau sudah mencapai tujuanmu, tapi kau juga ingin agar seluruh kerja kerasmu juga dihargai.
"Yah, ayo hentikan pembicaraan kita di sini. Lagi pula ini belum berakhir,"
Benarkah?"
"Tentu saja! Memangnya ini sudah terlihat berakhir bagimu? Apakah mimpi buruk bersambung ini, 'Rejecting Classroom' ini sudah terlihat berakhir bagimu?"
'Rejecting Classroom'? Sepertinya itu adalah sebutannya untuk kejadian yang berulang ini.
Apa pun itu, ada satu hal yang membuatku penasaran.
"Aku mengerti, kau mencurigaiku karena aku menulis «Maria». Tapi, kenapa kau tidak terpengaruh efek dari 'Rejecting Classroom' ini?"
"Bukan begitu. Aku juga bisa terpengaruh. Jika aku menyerah, aku akan segera terpengaruh oleh 'Rejecting Classroom' ini. Aku akan terus hidup tanpa tujuan di pengulangan tak terbatas ini. Semua orang di kelas akan mengalami hari yang kau tolak ini untuk selamanya."
"Kau bisa terpengaruh hanya kalau menyerah?"
"Pikirkan saja, adakah orang lain yang mungkin menyadarinya? Bahkan jika kau, dalang dari semua ini tidak sadar akan keberadaan 'Rejecting Classroom' ini?"
...Benar juga. Dia sudah mengulanginya sebanyak 2.601 kali.
"Ini akan lebih mudah kalau aku tidak mengingatnya. Tapi itu tidak akan pernah terjadi."
"Tidak akan?"
"Ya, tidak akan. Tidak mungkin aku menyerah begitu saja meskipun aku harus mengulanginya 2.000 kali, 20.000 kali, atau bahkan 2 juta kali sekalipun, aku akan melampaui pengulangan ini dan mencapai tujuanku!"
2.000 kali. Kalau dipikir-pikir, kita sering menggunakan angka 2.000 di kehidupan sehari-hari. Tapi kalau kita harus melewatinya satu-per satu,... contohnya setahun ada 365 hari, 5 tahun ada 1.825 hari dan itu belum cukup.
Waktu yang begitu lama dan Otonashi-san sudah melampauinya.
"Hoshino. Apa kau tidak sadar dengan alasanmu membuat 'Rejecting Classroom' ini?"
"Eh?..Iya."
"Fufufu... jika kau berpura-pura bodoh hanya untuk menghindari pertanyaan semacam ini, pasti ada maksudnya. Jika itu memang benar, aktingmu benar-benar hebat."
"Aku tidak berakting!"
"Kalau begitu, aku akan menanyakan sesuatu--"
Otonashi-san sedikit tersenyum,
"Hoshino, kau pernah bertemu dengan 'dia', 'kan?"
...Siapa?
...Aku tidak bertanya pada diriku sendiri. Apa pun alasannya. Siapa yang kutemui? Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mengingatnya.
Tapi aku mengerti,
aku sudah bertemu dengan '****'
Kapan? Di mana? Tentu saja Aku tidak mungkin tahu akan hal seperti itu. Hal itu bukan merupakan bagian dari ingatanku. Meski begitu, Aku bisa merasakan kalau kami memang pernah bertemu.
Aku mencoba mengingatnya. Tetapi ingatan itu tertahan dari mataku seperti sebuah pintu gerbang yang tertutup dengan kecepatan tinggi. Peringatan! Anda tidak boleh masuk. Hanya boleh untuk orang yang berkepentingan saja.
"Fufu, jadi kau sudah bertemu dengannya."
Dia terlihat senang. Sekarang Otonashi-san menjadi yakin. Dan Aku sendiri merasakan hal yang sama dengannya.
Aku, Kazuki Hoshino, adalah penyebab semua kejadian ini.
"Seharusnya dia sudah menyerahkan benda itu padamu. 'Box' yang mengabulkan sebuah 'permohonan'."
Tiba-tiba saja dia menggunakan kata 'box'. Berdasarkan apa yang dia katakan sebelumnya, sepertinya 'box' itu adalah alat yang membuat 'Rejecting Classroom' ini.
"Ah, Aku belum memberitahumu apa tujuanku."
Masih terlihat senang, Otonashi-san memberitahuku.
"Tujuanku adalah--untuk mendapatkan 'box'itu."
Lalu ekspresinya menghilang. Otonashi-san yang yakin kalau aku punya 'box' itu memelototiku dengan mata yang dingin lalu memerintahku.
"Sekarang serahkan 'box'-nya."
Aku pasti punya 'box' itu. Hal itu tidak salah kan? Tapi apa boleh aku menyerahkan 'box' yang mengabulkan 'permohonan' apa pun itu padanya begitu saja?
Maksudku, Otonashi-san telah mengulangi 2.601 pengulangan hanya untuk mendapatkan 'box'. Jadi dia pasti punya sebuah 'permohonan' yang nilainya setara dengan usahanya itu. Dia ingin mengabulkan 'permohonan'-nya sendiri; meski itu berarti menganggap sepele 'permohonan'-ku, dan mencurinya. Ini seperti...
...seperti--sebuah kegigihan yang hampir abnormal.
Benar, ini abnormal. Aya Otonashi itu abnormal.
"...Aku tidak tahu bagaimana caranya." Aku tidak bohong. Tapi itu juga salah satu caraku untuk menunjukkan perlawananku.
"Aku mengerti. Jadi kau akan menyerahkannya padaku di saat kau mengingatnya, 'kan?"
"Yah..."
"Lupa bagaimana cara mengeluarkannya itu hal yang biasa. Tapi kau hanya lupa saja; kau masih tetap tahu caranya. Seperti cara mengendarai sepeda; kau tidak bisa mengajarkannya pada orang lain, tapi kau mengetahui caranya melalui perasaanmu. Kau hanya kebingungan karena tidak bisa mengubahnya ke dalam kata-kata."
"...apakah tidak ada cara untuk menghentikan 'Rejecting Classroom' tanpa mengeluarkan 'box'-nya?"
Otonashi-san melemparkan pandangan dingin ke arahku.
"Jadi kau tidak berniat menyerahkannya padaku. Apa itu yang mau kau bilang?"
"Bu-bukan begitu..."
Melihatku panik, Otonashi-san menghela napasnya.
"Coba lihat. Kupikir 'Rejecting Classroom'nya akan berakhir jika kita menghancurkan 'box'-nya bersama dengan si 'pemilik'."
"Menghancurkan 'box'-nya bersama dengan si 'pemilik'...?"
'Pemilik' mungkin adalah sebutan untuk si pelaku yang memegang 'box'-nya, dengan kata lain, aku. Menghancurkan 'box'-nya bersama denganku? Singkatnya--
Otonashi-san menahan emosinya dan berkata dengan dinginnya.
"'Rejecting Classroom' akan berakhir jika kau mati."



Apa alasan itu cukup untuk membuat sebuah «*****»?
Apa kau ingin bilang kalau kau berencana untuk melakukan ini padaku juga, jika perlu? Kalau begitu, cepatlah lakukan, itu akan lebih mudah bagiku untuk menahannya.
3 Maret. Pagi. Hujan. Di perempatan jalan dengan pemandangan yang sangat mengerikan.
Aku melempar payungku dan melihat ke arah «*****». Benda lainnya tidak terlalu masuk ke dalam pandanganku. Truk yang menabrak ketembok maupun Otonashi-san yang hanya berdiri di sana, Aku tidak begitu memperhatikannya. Cairan merah terus mengalir tanpa henti, hingga tidak bisa terhapus oleh air hujan.
Sebuah ma***, kehilangan setengah kepalanya, dan ot**nya muncrat keluar. **yat. Mayat. Mayat. MAyat. MayatMayatMAYAT. maYAT. MayatmayatMAYAT. Mayat. Mayat. Mayat! «Mayat» Haruaki.
"---ah"
Benda di depan mataku membuatku muntah ketika aku menyadarinya. Aku melihat ke arah Aya Otonashi. Tanpa ekspresi dia melihat ke arahku.
"......Haruaki,"
Tapi jangan khawatir, Haruaki!
Kau tahu, semua ini akan menghilang seperti tidak pernah terjadi.
Ini akan dinyatakan «Kosong». Mudah sekali...
...Oh? Mungkinkah...
Mungkinkah ini merupakan alasanku mengharapkan "Rejecting Classroom"...? Karena aku menolak situasi seperti ini?

Ke-2602 kali[edit]

“Aku Aya Otonashi.”
“—ah” Tepat pada saat itu, sebuah bayangan merah berkelibat dalam pikiranku. Itu adalah bayangan yang terkubur jauh di dalam ingatanku, meski melihatnya sekejap sedetik yang lalu.
Dan seolah otakku terhubung dengan seutas benang pada bayangan itu, sisa ingatanku mengenai 2601 kali ‘Pindah Sekolah’ juga terseret ke alam sadarku.
Sepertinya aku perlu memuji diriku yang tidak berteriak karenanya.
“Mh? Ada apa Hoshii? Kau terlihat sakit, apa kau baik-baik saja?”
Haruaki, ‘’yang duduk disampingku’’, mengkhawatirkanku.
Haruaki, yang seharusnya sudah tertabrak truk, tersenyum padaku.
Perasaan tidak nyaman yang tidak bisa dihindari. Mua. Aliran besar informasi sepenuhnya menelanku, seolah aku adalah mangsa dan dimakan sampai habis. Pikiranku tidak bisa mengikuti informasi yang berlebihan ini dan membuatku tertekan.
Ingatanku akan pengulangan terakhir baru saja terhubung dengan ingatanku sekarang.
Hubungan yang sangat cemerlang dan jelas—
“Tapi hey, Aya-chan benar-benar terlalu manis. Aku akan menembaknya.”
—karena mayat Haruaki
Dan sekarang sekali lagi dia jatuh cinta pada pandangan pertama, meski Aya membuatnya sangat menderita.
Aku menatap Otonashi-san dan mata kami bertemu. Dia memberiku tatapan tajam. Dengan seringai berani, dia menatapku.
...apa membuatnya menjadi mayat dimaksudkan untuk memaksaku memberikannya ‘kotak’ ku?
Kalau begitu, rencananya terlalu efektif. Mengancamku dengan menujukkan mayat padaku, dapat berarti “Aku akan membunuhmu”...Dan dengan menggunakan mayat temanku, dia juga memojokkanku dengan perasaan bersalah. Aku menyadari kalau dalam teori hal ini bukan salahku; semuanya adalah perbuatan Otonashi-san. Tapi melihat mayat sungguhan, teori itu hancur dan insting mengambil alih – semangatku mudah sekali dihancurkan.
Kalau aku bisa, aku akan memberinya ‘kotak’ itu secepatnya. Tapi untungnya, aku tidak tahu caranya.
...untungnya? Itu tidak benar. Maksudku, karena serangan ini sangat efektif, Otonashi-san pasti melanjutkannya.
Sampai dia menghancurkan semangatku.
Otonashi-san turun dari podium dan berjalan mendekatiku.
Dia berdiri tepat di sampingku.
Melihat ke depan tampa menoleh ke arahku, dia bergumam:
“Sepertinya kau ingat.”

Kalau terus begini aku akan hancur.
Aku pura-pura tidak tahu dan kabur dari Otonashi-san, meski aku tahu itu tidak ada gunanya.
Bagaimanapun aku harus membuat suatu rencana untuk mengatasinya sambil menghidarinya.
Karenanya—
“Apakah sudah semuanya, Kazu?”
—Aku bertanya pada orang paling cerdas yang aku ketahui, Daiya Oomine.
Daiya bersandar pada dinding koridor dan terlihat jelas tidak senang—mungkin karena penjelasanku menghabiskan seluruh waktu istirahat antara jam pertama dan kedua.
“Jadi? Apa yang kau inginkan dariku setelah memberitahuku ide novel ini?”
Aku terang-terangan menceritakan semuanya, termasuk hal yang kuketahui dari Otonashi-san, tanpa melewatkan satu detail pun. Meskipun begitu, seperti yang kau lihat—aku tidak mungkin berharap seorang realis seperti Daiya mempercayai dongengku, jadi aku merubahnya menjadi skenario novel.
“Aku ingin tahu apa yang harus dilakukan <<Protagonis>> cerita ini.”
“Kalau kita melihat secara luas akan pilihan-pilihannya, dia mungkin seharusnya menentang si <<Murid Pindahan>>.”
Tentu saja, akulah si <<Protagonis>> dan Otonashi-san adalah si <<Murid Pindahan>> dalam skenario ini.
Karena aku mengambil ceritanya seperti itu, Daiya menyadari kalau si <<Murid Pindahan>> adalah <<Aya Otonashi>>. Tapi dia cuma tersenyum masam dan berkata,”Jadi dia modelnya.” Dia terlihat percaya kalau diskusi kami sepenuhnya hipotesis.
“Tapi...Aku tidak berfikir si <<Protagonis>> dan bersaing dengan si <<Murid Pindahan>>.”
“Kurasa juga begitu pada saat ini.”
Musuhnya adalah Aya Otonashi. Seseorang yang bahkan mau ‘pindah’ 2602 kali dan bahkan membuat mayat untuk dapat memperoleh ‘kotak’. Aku tidak berfikir aku dapat mengalahkannya.
“Tapi mungkin kok bagi si <<Protagonis>> untuk mendapatkan kekuatan di akhir yang dapat mengimbangi si <,Murid Pindahan>>,” Daiya berkata tanpa ragu.
“Eh—?”
Tentu saja aku berkonsultasi dengan Daiya untuk dapat menemukan solusi. Tapi aku melakukannya dengan perkiraan kecil, seperti mencoba menemukan sebuah jarum dalam jerami. Sejujurnya, aku tidak mengira kalau dia akan memberiku saran.
“Apa maksudnya reaksimu itu? Baiklah, sekarang katakan padaku, apa yang membuat si <<Murid Pindahan>> lebih unggul dari <<Protaonis>>?”
“Eh? Kurasa—“
“Aah, tidak, sebaiknya kau tidak usah menjawabnya. Kau pasti akan membuatku jengkel dengan jawaban yang benar-benar bodoh.”
...Aku boleh marah kan?
“Perbedaan antara si <<Protagonis>> dan si <<Murid Pindahan>> adalah pada perbedaan informasi. Si <<Murid Pindahan>> bisa menggunakan perbedaan ini untuk memanipulasi si <<Protagonis>> seperti boneka. Begitu sederahana. Yang dilakukannya hanya mengatur aliran informasi dan hanya memberi si <<Protagonis>> info yang menguntungkan baginya saja.”
Itu...benar. Otonashi-san bisa mempermainkanku sesuka hatinya segera setelah aku lupa apa yang terjadi.
“Di sisi lain, kalau dia memperpendek jarak antara tingkat informasi yang mereka miliki—alasan utama mengapa dia tidak dapat melawannya—dia akan punya kesempatan. Jadi dia hanya perlu menghilangkan rintangan itu.”
“...tapi itu tidak mungkin!”
Daiya menyeringai pada respon gumamanku.
“Bukankah kau bilang kalau si <<Protagonis>> bisa mengingat mengenai pengulangan sebelumnya.”
“Ya.”
“Jadi di pengulangan berikutnya, kalau dia mengambil ingatannya dari pengulangan saat ini, karena dirinya saat ini dapat megingat pengulangan sebelumnya, dia akan selalu bia mengingat pengulangan sebelumnya. Benar kan?”
“......yah, kurasa begitu.”
“Jadi kalau dia bisa mengambil ingatan sebelum pengulangan, dia juga bisa mengambil ingatan dua kali sebelum pengulangan. Djika dia bisa mengambil ingatan sebelum dua kali pengulangan, dia juga bisa mengambil ingatan tiga kali sebelumnya.”
“...jadi—? Si <<Murid Pindahan>> juga bisa mengumpulkan informasi saat itu. Jaraknya tidak mungkin tertutup. Otonashi-sa—si <<Murid Pindahan>> sudah memiliki ingatan lebih dari 2601 kali kan? Apa yang akan berubah bagi si <<Protagonis>> meski dia mengambil ingatan dua, tiga kali—“
“Ulangi proses itu 100000 kali.”
“...eh?”
“Tidak ada cara untuk perbedaan 2601 kali yang sudah berlalu. Jadi kita cukup mebuat yang 2601 kali itu tidak berarti. Perbedaan informasi antara 102601 kali dan 100000 kali kira-kira hanya 2% kalau kita menggunakan matematika. Kau tidak bisa lagi menganggapnya sebagai jarak. Kalau si <<Protagonis>> mengulang proses tersebut sebanyak itu, dia akan mendapat cara untuk melawan <<Murid Pindahan>>. Kemudian dia harus menggunakan informasi yang dia dapatkan dan kelelahan si <<Murid Pindahan>> untuk memperlemahnya, membuatnya frustasi dan melupakan pengulangan sebelumnya.”
“Aku—“
Aku harus melakukan hal seperti itu?
“......tapi sebenarnya dia tidak tahu bagaimana dia mempertahankan ingatannya.”
Benar. Aku bisa mengembalikan ingatanku saat ini, tapi itu cuma kebetulan.
“Kau bilang kalau keterkejutan si <<Protagonis>> karena melihat mayat membuatnya ingat kan?”
“Itu yang kupikirkan...kurasa.”
Aku tidak bisa memikirkan alasan lain dan instingku mengatakan kalau itu benar.
Aku bisa mempertahankan ingatanku karena aku kebetulan melihat mayat Haruaki.
“Kalau begitu sederhana saja,” Daiya tanpa ragu berkata.
“Si <<Protagonis>> hanya perlu membuat mayat.”
“—Apa!”
Tentu saja hal itu membuatku kehilangan kata-kata.
“Per-perbuatan semacam itu—“
“Yah, dengar. Aku rasa tentu saja tidak logis untuk membunuh seseorang. <<Protagonis>> yang tidak punya etika semacam itu pasti membuat pembaca muak. Bahasa lebih umumnya, si <<Protagonis>> harus mempersiapkan sesuatu yang memberikan kesan sekuat melihat mayat.”
“...itu pasti...bekerja.”
“Dengan kata lain si <<Protagonis>> hanya perlu lebih keras mengejar ‘kotak’ daripada si <<Murid Pindahan>>.”
Bell berbunyi. Daiya menganggap percakapan kami selesai dan berbalik.
“Aku akan kembali ke kelas. Kau juga sebaiknya segera kembali, Kazu!”
“Yeah...”
Tapi aku tidak merasa ingin kembali kekelas sekarang juga dan justru berdiam di tempat. Daiya pergi menjauh tanpa memperdulikanku.
Aku mendesah.
“...pasti ada cara bagiku untuk mempertahankan ingatanku. Tapi—“
—bertahan selama 100000 kali? Mungkin secara teori bisa dilakukan tapi tidak mungkin bagiku untuk melakukannya. Tidak mungkin seorang manusia bisa melakukannya. Itu seperti seorang penemu memintaku mengemudikan sebuah mobil dengan kecepatan tertinggi 20.000km/jam. Meski mobil tersebut bisa mencapai kecepatan itu, tubuhku tidak akan bisa menahan beban dan akhirnya hancur. Pikiranku, bukan, pikiran manusia tidak mungkin bisa menahan 100000 kali pengulangan akan satu hari.
Kalau Otonashi-san benar-benar bisa menahannya, dia adalah kasus spesial. Tolong jangan samakan aku dengan monster seperti dia.
Tapi apakah ini satu-satunya cara melawan Otonashi-san? Apa aku benar-benar harus melawannya? Bukankah lebih bagus kalau kami berdua mengibarkan bendera putih?
Aku mendesah sekali lagi karena aku bahkan tidak bisa memutuskan pada hal sepele semacam itu.
Saat aku melihat ke atas, memutuskan untuk kembali ke kelas untuk sekarang...
“—ah”
Haruaki muncul dari belakang salah satu pilar, membuatku secara refleks meninggikan suaraku.
“......Haruaki.”
Apa dia mendengar percakapan kami? Tidak, wajahnya terlihat terlalu serius. Kami hanya membicarakan mengenai ‘cerita fiksi’. Secara teori sih.
Dia mulai mencari alasan. “Sejujurnya, karena aku ini temanmu, aku cemburu saat kau bersenang-senang dengan orang lain dan meninggalkanku sendiri, jadi kurasa baki-baik saja bagiku untuk bersembunyi dan menguping. Itu artinya dimaafkan dan dilupakan.”
Meskipun nadanya bercanda, ekspresinya tetap serius sampai akhir.
“Baiklah kalau begitu, Hoshii—“
Haruaki menggaruk kepalanya dan bertanya.

“—mau mencoba membunuhku?”
Nafasku terhenti.
Aku tidak tahu alasanya mengatakan kata-kata yang mengejutkan itu.
Haruaki mengamati keterkejutanku selama beberapa saat. Aku bahkan tidak dapat berkedip. Dia tiba-tiba tersenyum dengan puas dan, rupanya tidak tahan lagi, tertawa dengan keras.
“Ah, jangan bilang!—Jahat, Haruaki! Jangan menggodaku!”
“Ahaha! Tidak, tidak, aku tidak menyangka reaksimu akan seserius itu...!! Hebat sekali! Hoshii, kau sangat lucu! Tentu saja aku cuma bercanda, cuma bercanda!”
Yah, masuk akal. Tidak ada satupun yang akan percaya kalau hal seperti itu benar-benar terjadi.
“Benar...Lelucon..tentu saja itu cuma sebuah lelucon.”
“Tentu saja. Sudah pasti itu cuma lelucon—sesuatu seperti membiarkanku dibunuh.”
Terasa ada yang aneh di pernyataannya yang terakhir.
“—Haruaki?”
“—Jadi? Bagaimana aku bisa membantumu?”
Membantu? Apa yang dibicarakannya?
Haruaki kembali menjadi serius dan bersungguh-sungguh saat dia kembali berbicara.
“Yah, bagaimanapun karena ingatanku akan hilang di dunia berikutnya, kurasa yang bisa kulakukan sekarang terbatas.”
Aah, aku mengerti—
Haruaki percaya pada ‘Rejecting Classroom’.
Dia percaya pada cerita yang bagi orang lain hanya akan dianggap cerita karangan.
“......Haruaki.”
“Ada yang salah, Hoshii?”
“Err..tadi itu cuma skenario fiksi buatanku, kau tahu kan?”
Haruaki tertawa dan mengatakan dengan sikap sejujurnya:
“Itu bohong kan?”
“Ap—“
Aku bahkan tidak tahu harus bertanya dari mana tentang bagaimana dia mengetahuinya.
Maksudku, bahkan aku pun tidak akan bisa mempercayai cerita omong kosong seperti itu meski seseorang memohon padaku untuk mempercayainya.
“Wahaha! Apa kau terkesan dengan dalamnya pertemananku? Ia bahkan sanggup membuatku menerima cerita menggelikan seperti itu tanpa ragu-ragu!”
“Yeah.”
Haruaki sepertinya terkejut saat aku menggangguk sebagai jawaban.
“Ti-tidak...jangan menjawabnya datar begitu! Kau membuatku malu!”
Dia dengan malu menggaruk-garuk hidungnya.
“Cuma supaya kau tahu saja, Daiya juga percaya kalau hal ini benar-benar terjadi lho.”
“Eh?...tidak, aku fikir tidak begitu. Maksudku, kita membicarakan tentang Daiya yang sepenuhnya realis, ingat?”
Akan tetapi, sekarang sesudah Haruaki mengatakannya, Daiya mungkin sudah bersikap agak aneh. Karena, dia memilih tempat untuk pembicaraan kami dan mengorbankan waktu istirahatnya. Kalau dia benar-benar berfikir kalau ini cuma skenario dari sebuah novel, dia pasti sudah mengusirku dengan komentar seperti “Membosankan. Jangan ditulis.”
“Baiklah, kurasa dia tidak mempercayainya 100%, tapi percayalah padaku – dia tahu kalau kebenarannya tidaklah jauh berbeda!”
Kalau dipikir-pikir, komentar Daiya sedikit meleset kalau dia bermaksud mengkritik sebuah novel. Dia dengan jelas memilih jawaban sebenarnya diingkan karakter si <<Protagonis>>.
“Sejak awal ada kekurangan dalam ceritamu, Hoshii. Aya-chan, yang jelas-jelas menggambarkan <<Murid Pindahan>>, baru tiba hari ini kan? Kau berbicara dengan Daiya saat istirahat sesudah jam pertama. Kau tidak punya cukup waktu untuk membuat semua ini!”
“Ah—“
Itu memang benar.
“Aku rasa kau mengatakan yang sebenarnya, dan kau tidak berkhayal.”
“...kenapa?”
“Ceritanya terlalu sempurna untuk menjadi khayalanmu kan? Tidak mungkin kau punya imaginasi semacam itu, Hoshii.”
“Tega...”
“Yah, kalaupun kau memang lebih cerdas dan bisa mengarang hal seperti itu dalam waktu singkat; aku masih akan tetap mempercayaimu.”
“...kenapa?”
“Karena kita teman kan?”
Uwa, apa yang dia katakan...
Maksudku, bagaimana aku harus...berusaha tidak malu dan menjawab jika dia terus bicara padaku seperti ini?

Haruaki mengernyitkan dahinya dan memasukkan kentang goreng ke dalam mulutnya,
“Jadi begitu. Jadi Aya-chan...bukan, Aya Otonashi mungkin telah membunuhku...”
Kami akhirnya pergi ke McDonald, karena saran Haruaki. Bedua, kami adalah murid sekolah yang masih mengenakan seragam, membolos dengan berpura-pura sakit, berkeliaran di McDonald di siang bolong. Mau tidak mau aku menyadari pandangan menghakimi dari orang-orang di sekitar kami dan membuatku ingin kabur.
“Aku ingin tahu apa Otonashi-san akan risih kalau dia berada di McDonald dengan masih memakai seragam sekolah saat jam pelajaran.”
“Yah, kurasa bagi Aya Otonashi, dia tidak akan peduli.”
Haruaki sekarang tahu kalau dia mungkin telah dibunuh oleh gadis yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama, jadi dia mengucapkan namanya dengan nada permusuhan.
“Dengan kata lain, dia sudah beradaptasi dengan situasi ini sesudah melalui lebih dari 2000 kali pengulangan.”
Otonashi-san telah menjadi terbiasa dengan semuanya dianggap menjadi <<void>> setelah setiap pengulangan. Dia pasti sudah tidak akan merasa terganggu dengan hal-hal kecil yang terjadi dalam ‘Rejecting Classroom’.
Otonashi-san sudah beradaptasi dengan situasi yang tidak normal ini. Apa kau masih bisa bilang kalau kepribadiannya masih nomal, Otonashi-san yang mencoba membunuhku ini?
“Apa ini dimaksudkan sebagai usaha melarikan diri?”
Jantungku berhenti berdetak. Tiba-tiba mendengar suara orang yang sedang aku pikirkan... aku tidak bisa berbalik menghadapi si pembicara yang ada di belakangku. Aku seolah di semen di tempat.
Bagaimana dia menemukan kami? Aku bahkan tidak memberitahu Daiya.
Otonashi-san berjalan memutar dan berhenti di depanku. Aku masih tidak bisa mengangkat kepalaku.
“Biarkan aku memberitahumu sesuatu, Hoshino,” dia berkata dengan seringai di wajahnya. “Ini adalah 2 Maret yang ke 2602. Aku menghabiskan waktu itu bersama teman sekelas yang tidak pernah berubah sedikitpun karena mereka tidak memiliki ingatan dan tidak sadar akan adanya lompatan waktu.”
Dia meletakkan tangannya di meja secara perlahan. Hal itu saja cukup membuat tubuhku menjadi kaku.
“Biasanya, orang berubah, begitu pula kepercayaan mereka. Karena itu sulit sekali memprediksi tindakan mereka. Akan tetapi, sangat mudah memprediksi tindakan-tindakan kalian karena kalian semua terperangkap dalam kebuntuan dan tidak dapat berubah. Bahkan lebih mudah lagi karena ini tanggal 2 Maret yang sama. Aku bahkan memahami alur pembicaraan kalian. Hoshino, aku bisa memprediksi lingkup aksi yang akan diambil seorang murid SMA pasif sepertimu.
Aku sedang merasakan pengalaman langsung mengenai <<perbedaan informasi>> yang Daiya katakan. Aku samar-samar befikir kalau yang dimaksudnya adalah informasi mengenai ‘Rejecting Classroom’ atau ‘kotak’. Tapi bukan hanya itu. Informasi yang paling peting adalah mengenai <<Kazuki Hoshino>>—diriku sendiri. Dan informasi yang perlu aku dapatkan berhubungan dengan <<Aya Otonashi>>. Itulah apa yang Daiya maksud sejak awal. Itulah kenapa dia berkata kalau jarak informasi kami akan memendek setelah lebih banyak pengulangan.
“Kau mengerti? Kau tidak akan bisa kabur dariku, Hoshino. Kau sepenuhnya ada dalam jangkauanku. Aku bisa dengan mudah menghancurkanu. Tapi kalau aku melakukannya, aku juga akan menghancurkan benda berharga yang ada padamu. Itulah satu-satunya alasan kau masih tetap hidup. Mengerti? Jadi kau sebaiknya tidak membuatku marah.”
Otonashi-san mencengkeram tanganku.
“Jangan berisik dan ikuti aku. Lalu patuhi aku dengan tenang.”
Dia tidak menggenggam tanganku dengan keras. Kalau aku mencoba, aku pasti bisa melepaskan diri. Tapi...apa aku bisa melakukannya?...tidak mungkin. Aku sudah diambil alih oleh Aya Otonashi. Aku sadar kalau aku menyedihkan. Tapi aku cuma tidak bisa...menentangnya. Aku tidak tahu bagaimana.
Dan meskipun begitu—meskipun aku tidak punya alasan untuk menentangnya—tanganku terlepas dari gengaman Otonashi-san.
“Apa yang kau lakukan,” Otonashi-san berkata. Aku tidak bisa melepaskan diri. Jadi kata-kata permusuhannya itu tidak di arahkan padaku.
“Kau bertanya apa yang aku lakukan?...ha!”
Kata-katanya ditujukan pada Haruki, yang melepaskan tangan kami.
“Aku tidak akan menyerahkan Hoshii kepadamu! Tidakkah kau mengerti hal segampang itu? Apa kau bodoh?”
Kata-kata Haruaki kekanak-kanakan, tapi mukanya berubah tegang. Itu cuma gertakan. Dia biasanya tidak bersikap seperti itu pada orang lain.
Tentu saja, Otonashi-san tidak jatuh dalam pancingannya.
“Bukan itu yang aku tanyakan. Usui, sepertinya kaulah yang tidak menggunakan otakmu. Perbuatanmu sia-sia. Tidak ada artinya. Sepertinya kau memilih untuk menyelamatkan Hoshino, tapi itu cuma impian lemah sementara yang akan segera menghilang. Di waktu yang akan datang, kau akan kehilangan tekad ini dan berlari kembali ke arahku sekali lagi, menyatakan cinta padaku dan bukan bertarung melawanku.”
Haruaki sepenuhnya bimbang mendengar kata-kata ini. Dia tahu kalau Otonashi-san benar. Kalau dunia terulang kembali, Haruaki akan melupakan percakapan kami saar pengulangan ini. Tidak peduli seberapa besar dia memusuhinya sekarang, dia akan jatuh cinta pada pandangan pertama lagi, dan akan menembaknya lagi. Haruaki benar-benar menghadapi jalan buntu.
Tapi meski dia dihadapkan pada kebenaran yang kejam dan tidak mungkin dihindari, Haruaki mengepalkan tangannya.
“Tidak, kaulah yang masih tidak menggunakan otakmu, Otonashi! Aku mungkin akan kembali menjadi <<diri yang tidak menyadari>> setiap kali! Aku rasa kau tidak akan bisa mempertahankan ingatanku dan aku tidak sepandai Daiya. Tapi kau tahu tidak? Aku punya kepercayaan pada diriku sendiri.”
“Aku tidak mengerti. Apa yang ingin kau katakan sebenarnya?”
“Katakan Otonashi. Aku benar-benar berada di satu tempat dan tidak akan berubah kan?”
“Ya, itulah kenapa kau tidak berdaya.”
“Ha! Justru sebaliknya, Otonashi! Kalau aku tidak akan berubah, aku bisa menjamin diriku yang ada pengulangan berikutnya. Lagipula, mereka adalah orang yang sama dengan aku yang sekarang. Aku bisa memprediksi perilaku mereka secara pasti! Diri-diri itu akan mempercayai Hoshii setiap kali dia menjelaskan situasinya, dan mereka juga akan membantunya setiap saat. Tidak ada dunia dimana aku akan meninggalkan temanku Hoshii. Dengar dan ingatlah baik-baik, Otonashi—“
Dia menunjuk pada Otonashi-san.
“—Kalau kau membuat Kazuki Hoshino menjadi musuhmu, kau juga akan menjadi musuh seseorang yang abadi!”
Sejujurnya, gayanya sama sekali tidak tegas. Dia berada dalam tekanan, dia cuma menggertak dan bahkan tangannya gemetaran. Dia jelas-jelas terlihat gelisah. Kata-kata keren sama sekali tidak cocok baginya, bahkan tidak lucu – terutama karena dia biasanya melucu di hadapan semuanya.
Tapi kata-katanya menghangatkan hatiku.
Maksudku, tidak ada keraguan sedikitpun dalam kata-katanya. Tidak ada pula nada dramatis berlebihan yang biasa dia gunakan. Haruaki bicara dengan sikap apa adanya.
“—— “
Tentu saja Otonashi-san tidak terkejut sama sekali dengan sikapnya itu. Tapi dia juga tidak langsung menolaknya. Dia menutup mulutnya selama beberapa saat, tidak senang.
“...Kau membuatku terdengar seperti orang jahat. Tidakkah kau sadar kalau Kaxuki Hoshino-lah yang menyeretmu kedalam ‘Rejecting Clasroom’ ini?”
Kata-kata Otonashi-san tepat dan tajam. Haruaki terkena dampaknya setiap kali, tetapi tetap saja—
“Aku tidak akan meragukan temanku hanya karena itu!”
Haruaki tidak merubah pemikirannya. Dia menolak berpaling dari Otonashi-san meski dia ketakutan.
Ini tidak bagus. Maksudku, lawannya adalah Aya Otonashi! Dia bukan orang yang akan menderita saat Haruaki menyatakan dia sebagai musuh abadinya. Haruaki lah yang akan menderita. Gadis yang akan dicintainya terus setiap kali akan bersikap memusuhinya tanpa alasan yang jelas. Sejak saat ini, Haruaki akan menderita di setiap pengulangan.
Sebaliknya, dia pasti tidak akan merasa tertekan karena perlawanan Haruaki.
Akan tetapi:
“Aku sudah tidak berminat.”
Otonashi-san lah yang berpaling lebih dulu dan berbalik.
“Lagipula semua perbuatanmu akan menjadi tidak berarti di pengulangan berikutnya dimulai.”
Dia mengatakan hal itu lalu pergi.
Kalau orang lain selain Otonashi-san mengatakan hal semacam itu, mungkin akan kedengaran seperti anggur asam. Tapi berasal darinya, sama sekali tidak terdengar seperti itu. Sejak awal, bagaimana mungkin Otonashi-san kalah darinya saat dia bahkan tidak peduli pada Haruaki?
Karenanya, dia hanya mengatakanapa yang dipikirkannya. Dia memutuskan kalau akan lebih mudah menghadapiku di situasi yang lebih menguntungkan di masa depan.
Terus—kenapa?
Tidak, itu cuma imaginasiku saja. Tebakan yang keliru. Sebuah kesalahpahaman. Tapi meski begitu, benar, jujur, cuma sesaat—
Bukankah dia terlihat sedikit—murung?
“Katakan..Hoshii,”
Haruaki masih menatap ke pintu otomatis yang barusan dilalui Otonashi-san.
“Apa kau berfikir aku akan dibunuh?”
Tidak mungkin...begitulah sebenarnya aku ingin menjawab. Tapi aku menyadari apa yang terjadi sebelumnya bisa terjadi lagi, jadi aku tetap diam.

Sesuai dugaan, hujan turun pada 3 Maret pengulangan ke 2602 kali. Aku pergi ke sekolah sedikit lebih awal dari sebelumnya dan menghindari tempat dimana kecelakaan terjadi, meski aku harus berjalan memutar. Aku melakukannya untuk menghidari serangan Otonasho-san...atau, sejujurnya, aku cuma tidak ingin melihat pemandangan itu lagi.
Daiya sudah datang saat aku sampai di ruang kelas. Dia mendekatiku saat dia melihtku.
“Ada apa, Daiya?’
Untuk suatu alasan Daiya tidak langsung menjawab. Dia menatap ke dalam mataku. Dia sangat hebat dalam menyembunyikan perasaannya seperti biasa, tapi aku masih bisa merasakan kalau ada sesuatu yang aneh sedah terjadi.
“......tentang novel yang kita bicarakan kemarin.”
Daiya membuat batas untuk berbicara secara biasa. Dia menunjuk pada <<novel>>, tapi sebenarnya dia membicarakan tentang <<keadaanku sekarang>>.
“Ada sesuatu yang menggangguku. Kenapa si <<Murid Pindahan>> tidak kehilangan ingatan seperti si <<Protagonis>>?”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaanya, karena aku bahkan tidak tahu kenapa dia mebicarakan mengenai hal ini.
“Meski si <<Protagonis>>—yang membuat ‘Rejecting Classroom”—kehilangan ingatannya. Jadi meski kita meganggap kalau si <<Murid Pindahan>> memiliki suatu kekuatan spesial, bukankah terlalu praktis baginya bisa mempertahankan ingatannya secara otomatis dari setiap pengulangan? Aku rasa akan lebih baik kalau si <<Protagonis>> dan <<Murid Pindahan>> bisa mempertahankan ingatan mereka dengan cara yang sama.”
“...kurasa kau benar.”
Aku setuju tanpa terlalu memikirkan mengenai maksud dibalik dari apa yang dia katakan. Mungkin aku masih tidak bisa memahami kata-katanya karena dia masih membingkai hal ini sebagai bagian dari <<novel>>.
“Si <<Protagonis bisa mempertahankan ingatannya karena dia melihat mayat kan?”
“...Aku rasa begitu.”
“Mayat itu adalah hasil dari tabrakan dengan truk kan? Tidak mungkin <<Murid Pindahan>> yang melalui satu hari yang sama selama 2601 kali, tidak tahu mengenai truk ini kan? Kalau si <<Murid Pindahan>> terlibat dalam kecelakaan, berarti hal itu memang disengaja. Itulah kenapa kau berkata kalau <<teman dari Protagonis>> <<dibunuh>>.”
Aku mengangguk.
“Tapi ada yang menggangguku dari skenario ini.”
“Kenapa? Apa aku salah?”
“Tidak, tidak sama sekali. Hal itu pastilah cara efektif untuk menyerang si <<Protagonis>>...tapi hanya jika kita menganggap kalau dia bisa mempertahankan ingatannya. Tidak ada arti dari serangan yang sukses kalau si <<Protagonis>> langsung melupakannya.”
“Aku tidak mengerti apa yang kau coba katakan...”
“Tujuan dari <<Murid Pindahan>> adalah untuk mencuri ‘kotak’ dari si <<Protagonis>> benar?”
“Ya.”
“Cobalah berfikir dari cara pandang <<Murid Pindahan>>. Si <<Murid Pindahan>> akhirnya menemukan orang yang dicarinya—si <<Protagonis>>. Meski si <<Murid Pindahan>> bisa saja terus diam, dia terang-terangan menjelaskan situasinya pada si <<Protagonis>>. Seorang musuh yang tidak tahu apa-apa dengan seorang musuh yang sudah di serang dan karenanya waspada—mana yang lebih mudah menjadi target untuk dicuri ‘kotak’nya? Tentu saja musuh yang tidak tahu apa-apa. Jadi kenapa menurutmu si <<Murid Pindahan>> menjelaskan situasinya pada si <<Protagonis>>?”
“Err..karena si <<Murid Pindahan>> berfikir si <<Protagonis>> akan lupa?”
“Benar. Dia mengganggapnya tidak masalah. Dia menjelaskan semuanya mungkin cuma cara iseng untuk menghibur dirinya sendiri; kau bisa pula menyebutnya sebagai kelalaian.”
“Tapi kecelakaan itu hanya bisa terjadi karena kesengajaan kan? Jadi itu pasti serangan padaku...”
“Aku rasa itu memang disengaja. Tapi cobalah berfikir seperti ini: si <<Murid Pindahan>> tidak menduga si <<Protagonis>> akan melihat mayat itu.”
Dengan kata lain, tujuan dari kecelakaan itu bukan untuk menyerangku?
Aku memikirkan kata-katanya lagi.
“Ah—“
Aku dengan cepat melihat ke sekitar ruang kelas. Si <<Murid Pindahan>> — Aya Otonashi — tidak ada di sini. Dia pasti berada di tempat terjadinya kecelakaan.
“Tidak mungkin...Itu sama sekali tidak normal!”
“Tentu saja. Tidak mungkin seseorang yang beradaptasi dengan pengulangan 2602 kali bisa tetap berfikiran sehat.”
Aya Otonashi membunuh seseorang.
Dia melakukannya bukan untuk menyerangku, tapi untuk mempertahankan ingatannya sendiri.
Aku ingat. Aku tidak ingin mengingatnya, tapi aku ingat. Kecelakaan ini tidak terjadi pertama kali saat pengulangan ke 2601 kali. Dia mungkin telah menyebabkannya terjadi setiap kali selama 2600 pengulangan yang lain.
Jadi dia akan terus membunuh orang untuk ‘pindah’?
Akankah aku dipaksa diam memperhatikan dia membunuh?
Akankah Haruaki dibunuh lagi kali ini?
“—Haruaki!’
“Mh? Ada apa Hoshii?”
Haruaki baru saja memasuki ruang kelas dan berdiri di samping pintu.
Apa maksudnya ini? Haruaki bukan targetnya?...benar, tidak harus dia yang jadi mayat kan?
“Yah, cukup dengan novelmu, Kazu...langsung ke hal utamanya,” Daiya meneruskan sambil mengabaikan Haruaki.
“Sepertinya ada kecelakaan beberapa waktu yang lalu.”
Daiya menarik nafas dan berkata,”Aya Otonashi ditabrak oleh sebuah truk.”
Apa—?

Aah, aku mengerti.
Bahkan meski dia targetnya, dia tidak peduli.

Ke-4,609 kali[edit]

"Haruaki tertabrak truk."

Ke-5,232 kali[edit]

"Kasumi Mogi tertabrak truk."

Ke-27,753 kali[edit]

Sepak bola saat jam olahraga.
Karena mimisan, aku tidur di pangkuan Mogi-san.
Kemudian aku mulai memikirkan tentang perasaannya yang membolehkanku tidur di pangkuannya. Apa mungkin dia mencoba, meski sedikit, untuk menarik perhatianku?
Aku tidak mempunyai ide apa pun; ekspresinya tetap saja datar ketika aku memandangnya.
“…Mogi-san”
“Ada apa?”
“Apa yang sedang kaupikirkan sekarang?”
“Eh?”
Mogi-san memiringkan kepalanya. Tetapi jawabannya sepertinya tidak akan keluar. Satu-satunya reaksi atas pertanyaan yang kuajukan adalah wajah yang kebingungan.
Hal itu membuatku berpikir. Kalau merasakan perasaan pasangan saja sangat sulit, apa cinta bisa berjalan mulus?
Kenapa aku bisa jatuh cinta dengan gadis yang sulit?
Lagi pula — sejak kapan aku jatuh cinta?
Aku mencoba mengingat.
“…………Huh?”
“…Ada apa?”
Mogi-san bertanya saat aku tiba-tiba mengeluarkan suara.
“T-tidak… Tidak ada!”
Wajahku mungkin tidak mengatakan ‘tidak ada’. Mogi-san tahu hal itu. Tapi karena dia tidak punya kemampuan bersosialisasi untuk menanyaiku tentang hal itu, dia tetap diam tanpa melakukan apa pun.
Aku berdiri tanpa memberitahu Mogi-san.
“Ah, um…sepertinya mimisanku sudah berhenti.”
“…Mh.”
Pembicaraan kami terhenti dengan kata-kata datar.
Kenapa aku rela meninggalkan situasi yang nyaman ini? Kenyamanan ini mungkin tidak datang dua kali.
Tapi—itu tidak mungkin.
Kaulihat, berapa kali pun kucoba—aku tetap tidak bisa mengingatnya.
Aku tidak bisa mengingatnya. Aku tidak bisa mengingatnya. Aku tidak bisa mengingatnya!…Aku tidak bisa mengingat kapan aku jatuh cinta padanya!
Kenapa aku jatuh cinta? Apa pemicunya? Atau aku memang tertarik dengan dia tanpa kusadari, bahkan tanpa ada kejadian spesial apa pun?
Aku seharusnya tahu; tidak mungkin aku melupakannya, tapi… aku tidak bisa mengingatnya, berapa kali pun kucoba.
Itu bukanlah cinta pada pandangan pertama. Kecuali karena fakta bahwa kami sekelas, kami hampir tidak punya hubungan apa-apa.
Tetap saja, kenapa ya? Atau kau mau bilang kalau ini adalah cinta yang tiba-tiba—
“—Tidak mungkin…”
Meski sulit untuk dipercaya, cuma itu alasan yang bisa kupikirkan. benar-benar cinta yang tiba-tiba.
“Ada apa? Apa kau baik-baik saja?…Perlukah kita pergi ke ruang UKS?”
Mogi-san memberi saran dengan suara kalemnya. Aku tentu saja senang dia mengkhawatirkanku. Hanya bahagia. Perasaan ini tidaklah bohong.
“…Aku baik-baik saja. Aku cuma sedang memikirkan sesuatu.”
Aku berulang kali bertanya pada diriku apakah ini bukanlah suatu kesalahan. Tapi semakin aku menimbangnya, semakin terlihat kebenarannya bagiku.
Aku belum tertarik pada Mogi-san.
Sampai kapan? Benar—
—Aku belum tertarik padanya sampai kemarin.
“—Ah, begitu rupanya.”
Aku memandang si murid pindahan yang sedang berdiri di tengah-tengah lapangan — Aya Otonashi.
Sejak kapan ada kejadian yang membuatku tertarik dengan Mogi-san? —ah, itu mudah. Bukan kemarin. Tapi hari ini aku sudah jatuh cinta. Jadi kapan?
Hal itu cuma bisa terjadi—antara kemarin dan hari ini.
Hanya selama lebih dari 20.000 kali pengulangan yang terjadi karena ‘Rejecting Classroom’.
Ah, aku ingat. Cuma pecahan saja, tetapi aku mungkin mengingatnya lebih dari biasanya. Tetap saja, itu cuma pecahan saja, jadi ingatanku banyak yang terlupakan.
Aku sudah melupakan hal yang paling penting untukku — bagaimana aku bisa jatuh cinta dengan Mogi-san. Dan pastinya aku tidak akan mendapatkannya kembali. Aku tidak bisa membaginya dengan Mogi-san. Cinta sebelah tangan yang tidak bisa kuapa-apakan, tak peduli lamanya waktu berjalan; hanya perasaanku yang akan semakin kuat.
Tidak, mungkin lebih dari itu. Cinta ini mungkin menghilang segera setelah ‘Rejecting Classroom’ berakhir. Maksudku, cinta ini seharusnya tidak pernah ada tanpa adanya ‘Rejecting Classroom’.
Ini aneh. Sesuatu seperti ini sangatlah aneh. Tidak ada keraguan dalam cinta ini.
Tapi tetap saja apakah cinta ini adalah kepura-puraan yang seharusnya tidak ada?
Angin yang tiba-tiba berhembus sebelum pelajaran berakhir. Hal itu mengangkat rok Mogi-san. Kenapa ya? Tapi aku sedikit merasa kalau aku sudah mengetahui celana dalam berwarna biru muda itu.
Tidak, Aku memang tahu itu.
Fakta bahwa Mogi-san mengenakan celana dalam biru muda hari ini.
Dan fakta bahwa Aya Otonashi mengorbankan Kasumi Mogi lebih dari siapapun untuk mengambil kembali ingatannya.

Karena itu aku memutuskan.
Untuk mempertahankan ‘Rejecting Classroom’ ini.



Kali ini Aya Otonashi tidak mendatangiku.
Tidak, kupikir sama saja dengan waktu sebelumnya. Aku hanya mengingatnya sedikit, tapi sudah seperti ini sampai sekarang.
Selama jam makan siang, Aya Otonashi sendirian, mengunyah rotinya dengan bosan.
Kali ini akulah yang mendatanginya.
Hanya melakukannya saja, tubuhku menegang dan detak jantungku meningkat. Penolakan Otonashi-san terhadap yang lain sudah membuat dinding besar, cukup untuk menambahkan tekanan sendirian.
“…Otonashi-san.”
Aku mempersiapkan diriku dan memanggil namanya. Tetapi, Otonashi-san bahkan tidak menoleh. Tapi seharusnya tidak mungkin dia tidak mendengarnya dari jarak seperti ini, jadi aku terus melanjutkan perkataanku tanpa peduli.
“Aku punya sesuatu untuk dibicarakan.”
“Aku tidak mau.”
Dia menolakku tanpa menggerakkan mata.
“Otonashi-san.”
Tidak ada reaksi. Dia terus mengunyah rotinya dengan setengah hati.
Dia sepertinya berencana tidak mempedulikan apa pun yang aku katakan. Kalau begitu aku cukup membuat dia tidak bisa mengabaikanku.
Hal itu langsung terlintas di dalam pikiranku ketika aku memikirkannya.
“…Maria.”
Kunyahannya terhenti.
“Ada yang ingin kubicarakan.”
Meski begitu dia bahkan tidak melirik ke arahku. Dia juga tidak mengatakan apa pun.
Ruang kelas benar-benar sunyi. Teman-teman sekelasku hanya melihat kami sambil menahan napas mereka.
Dan akhirnya Otonashi-san sudah kehilangan kesabaran dan menghela.
“Aku tidak pernah menyangka kau akan mengatakan nama itu. Sepertinya kau sudah mengingat banyak hal kali ini.”
“Yeah, karena itu—”
“Karena itu, tidak ada yang bisa dibicarakan denganmu.”
Sekali lagi dia mulai mengunyah rotinya tanpa peduli.
“Kenapa!?”
Pandangan teman-teman sekelasku fokus pada diriku ketika aku dengan refleks mulai berteriak.
“Kenapa?! Apa aku ini bukanlah seseorang yang mesti kau lakukan sesuatu padanya?! Jadi kenapa kau bahkan tidak mau mencoba mendengarkanku!?”
“Kenapa, kau tanya?”
Otonashi-san memicingkan matanya.
“Kau benar-benar tidak tahu? Ha! Benar. Kau selalu bodoh, beraksi seperti ini. Kau tidak memikirkan dirimu sendiri. Kenapa aku harus bersama dengan orang seperti itu?”
“…Well, kadang-kadang aku sendiri tidak tahu apa yang sudah kulakukan.”
“Kadang-kadang? Payah. Apa yang berbeda dengan keadaanmu saat ini, huh? Kau sama saja, ya, 'kan?”
“Bagaimana kau bisa menyatakan hal itu? Mungkin aku akan memberimu bantuan. Kalau begitu—”
“Tidak peduli.”
Otonashi-san mengeluarkan kata-kata itu tanpa menungguku selesai berbicara.
Aku baru akan memprotesnya secara refleks. Tetapi protesku terhapus oleh kata-kata Otonashi-san berikutnya.
“Karena kau tidak membuat proposal ini hanya dua atau tiga kali saja.”
“Eh—?”
Aku sangat terkejut sehingga wajahku mungkin terlihat lucu. Sedikit membuka mulutnya, Otonashi-san menaruh rotinya yang sudah termakan setengah dan berbicara:
“Baiklah. Kali ini penuh dengan hal yang sia-sia. Ini bukan cuma kedua atau ketiga kalinya aku menjelaskannya, tapi akan aku katakan.”
Otonashi-san berdiri dan mulai berjalan menjauh.
Aku tidak punya pilihan selain mengikutinya.



Seperti biasa dia mengajakku menuju ke belakang gedung sekolah. Dan Otonashi-san seperti biasa menyandarkan diri di dinding.
“Saat ini aku akan mengatakannya sekarang. Aku tidak akan berdialog denganmu. Kau hanya akan mendengarkan kata-kataku seperti seorang idiot.”
“…Aku bisa memutuskannya sendiri.”
Aku mengatakannya supaya sedikit menentang, tetapi Otonashi-san hanya melemparkan tatapan dinginnya ke arahku.
“Hoshino, apa kau tahu sudah berapa kali saat ini? Tidak, kau tidak tahu. Kali ini adalah pengulangan ke 27.753 kali.”
Angka itu terlalu fantastis.
“…Apa kau selalu menghitungnya dengan detil?”
“Yeah, karena tidak mungkin aku bisa mengetahui hal ini kalau aku berhenti menghitung bahkan kalau hanya sekali saja. Kalau aku lupa, aku akan kehilangan pandangan pendirianku. Karena itu aku menghitung.”
Tentu saja, hal itu sedikit menenangkan kalau seseorang tahu berapa banyak langkah yang sudah dilakukan menuju tujuan akhir yang tidak diketahui.
“Aku sudah mengulangnya sampai saat ini. Aku sudah mencoba hampir semua cara untuk mendekatimu. Aku sedang berada dalam situasi ketika aku bahkan tidak lagi memikirkan cara yang tidak pernah kucoba sebelumnya.”
“Karena itukah kau berpikir tidak ada gunanya berbicara denganku?”
“Yeah.”
“Karena itu kau bahkan tidak mencoba mendesakku menyerahkan ‘box’ kepadamu?”
“Aku sudah menyerah pada hal itu sejak dulu sekali.”
“Kenapa? Entah di mana saat pengulangan berlangsung, di sana seharusnya ada aku yang bekerja sama.”
“Yeah, tentu saja. Ada saat-saat kau memperlakukanku dengan permusuhan, dan ada juga saat kau bekerja sama denganku. Tapi kau tahu? Hal itu tidak berarti lagi. Kau tidak menyerahkan ‘box’ dengan dua cara tersebut.”
Aku tidak menyerahkan ‘box’ bahkan saat aku bekerja sama?…Tapi yah, itu logis. Kalau Otonashi-san sudah mendapatkan ‘box’, maka yang «sekarang» ini di dalam ‘Rejecting Classroom’ tidak akan ada.
“Hanya mengonfirmasi: kau yakin kalau aku mempunyai ‘box’, benar?”
“Aku sudah berkali-kali meragukannya. Tetapi kesimpulannya tetap sama. Kazuki Hoshino adalah, tak diragukan lagi, si ‘pemilik’.”
“Kenapa kau berpikir seperti itu?”
“Di sana tidak terlalu banyak tersangka seperti yang kaupikirkan. Penjelasannya terlalu panjang jadi aku akan mempersingkatnya. Tidak mungkin untuk beberapa orang mengelabuiku selama 27.753 kali. Karena itu, cuma kau yang mungkin adalah si ‘pemilik’. Terlebih lagi, ada bukti tidak langsung yang tak terbantahkan yang tidak berhubungan dengan ‘Rejecting Classroom’, 'kan?
Dia benar, aku sudah bertemu dengan penyalur ‘box’—“*”.
“Meski begitu, kau tidak melepaskan ‘box’ sama sekali. Tentu saja, kau tidak bisa. Aku sudah menandaimu sebagai si ‘pemilik’ lebih dari 20.000 kali.”
“Jadi, kau sudah menyerah?”
Si Otonashi-san yang tak kenal lelah untuk mendapatkan ‘box’, ini?
“Aku belum menyerah. Aku hanya tidak bisa mendapatkan box-nya. Mari berasumsi kau sedang mencari uang 100 yen yang seharusnya ada di dalam dompetmu, tetapi kau tidak bisa mencarinya meski kau sudah berkali-kali membalikkan isi dompetmu. Mencari setiap sudut dompet itu mudah. Tetap saja, kau tidak menemukannya. Kalau begitu kau harus berasumsi kalau uang 100 yen tersebut tidak ada lagi. Karena itu, dalam pengulangan 27.753 kali ini aku sudah menyimpulkan kalau «aku tidak bisa mendapatkan ‘box’ dari Kazuki Hoshino».”
Otonashi-san merengut kepadaku untuk sesaat dan berbalik arah.
“Baiklah, pertunjukan sampingannya sudah selesai. Masih mau mengatakan sesuatu?”
“…Yeah! Karena itulah alasan utama aku ingin berbicara padamu.”
Aku harus mengatakannya.
Aku sudah memutuskan. Aku sudah memutuskan untuk mempertahankan ‘Rejecting Classroom’.
Otonashi-san, yang sudah berkali-kali membunuh Mogi-san, aku membuatnya sebagai—
“Aku membuat Otonashi-san, bukan, Aya Otonashi—”
“—musuh?”
“—huh?!”
Apa yang ingin kukatakan dengan determinasi memihak ke kegelapan, Otonashi-san langsung menebaknya. Dan dia masih tidak tertarik dan tidak melihat ke arahku.
Saat dia melihat kalau aku kehilangan kata-kata dan terkejut dari hatiku yang paling dalam, Otonashi-san menghela napasnya. Dia berbalik ke arahku.
“Hoshino, apa kau masih tidak mengerti? Kaupikir sudah berapa kali aku menghabiskan waktu bersama orang idiot sepertimu? Ini hanyalah pola lainnya yang sudah aku sering ulangi sampai aku bosan dengan hal itu. Tidak mungkin aku tidak akan mengetahuinya, ya kan?”
“A-apa—”
Aku sudah membuat sebuah determinasi yang sedemikian kuat berkali-kali?
Kenapa menjadi sia-sia selama ini?
“Sekali-kali, aku akan memberitahumu hal ini. Meski harga dirimu membentuk determinasi untuk menjadikanku seorang musuh dan kemudian mencoba mengingat kembali ingatanmu setiap kali; akhirnya, kau pun akan memusuhiku lagi. Sangat yakin.”
“I-itu tidak—”
Lagi pula itu berarti kalau aku sudah memastikan dia membunuh Mogi-san; yang sudah kuputuskan untuk menghapus perasaanku untuk Mogi-san.
“Kau tidak bisa mempercayaiku? Mau kutunjukkan alasan kalau aku sudah berkali-kali mendengarnya darimu?”
Aku menggigit bibirku.
Otonashi-san memutuskan kalau pembicaraannya sudah selesai dan berbalik arah.
“Harga dirimu bisa bertahan lebih dari 20.000 kali pengulangan tanpa masalah. Aku akan mengakui hal itu tentangmu.”
Aku menaikkan wajahku secara tiba-tiba.
Dia bilang dia sudah «mengakui» aku sekarang, ya,'kan? Sudah, 'kan?
“Tunggu sebentar.”
Ada yang sangat ingin kutanyakan.
Otonashi-san hanya menolehkan kepalanya ke arahku.
“Kau sudah berhenti mencoba untuk mengambil ‘box’ dariku, 'kan?”
“Yeah. Bukankah aku sudah mengatakannya?”
“Lalu… apa yang akan kau lakukan mulai sekarang?”
Tidak ada perubahan pada ekspresi Otonashi-san. Dia tetap menatap lurus ke arahku tanpa merubah arah matanya.
Akulah yang tidak sengaja menghindari pandangannya pada tatapannya yang sangat terus terang ini.
“Ah—”
Dalam sekejap… Otonashi-san pergi tanpa mengatakan apa pun.
Tanpa menjawab pertanyaanku.



Otonashi-san tidak kembali ke ruang kelas setelah itu - mungkin dia pulang ke rumah.
Pelajaran kelima, Matematika. Aku tidak bisa langsung mengerti rumusnya, meski aku mungkin sudah mendengarnya triliunan kali, dan malah melihat ke arah Mogi-san sepanjang waktu.
Apa aku benar-benar akan meninggalkan Mogi-san? Apa Aku benar-benar akan menghancurkan perasaan dia semauku?
Tidak. Itu tidak mungkin. Tidak peduli apa yang pernah dipikirkan oleh aku yang sebelumnya.
Aku yang saat ini tidak mau menyerah pada Mogi-san. Hanya itu yang kupedulikan.
Pelajaran kelima berakhir.
Setelah itu, aku langsung menuju ke tempat Mogi-san. Dia menyadariku dan memandang balik dengan mata yang besar. Tubuhku menegang seperti batu hanya karena hal itu. Jantungku kehilangan ritme biasanya.
Hanya melihat ke arahnya. Itu menunjukkan betapa pentingnya sesuatu yang akan kukatakan kepadanya kali ini.
Sebuah aksi yang tidak mungkin kulakukan pada kehidupan sehari-hariku yang biasa.
Tapi mau bagaimana lagi, alku tidak bisa memikirkan cara lain untuk mengambil kembali ingatanku.
Aku tidak bisa memikirkan cara lain selain menembak Mogi-san.
“…Mogi-san”
Kupikir Aku membuat wajah yang aneh sekarang. Mogi-san berpikir sambil melihat ke arahku dan menggelengkan kepalanya.
“Err, ada yang ingin aku—”

«Tunggu sampai besok.»

“—Ah”
Sebuah gambar melintas di pikiranku. Sebuah suara mulai dimainkan seenaknya. Sensasi yang jelas dan terang, terasa menyakitkan seperti sebuah kaca menusuk mata, telinga, dan otakku.
Dadaku berdetak kencang seperti dipukul palu.
T-Tidak—
Aku tidak mau mengingatnya. Meski aku tidak mau mengingatnya. Meskipun aku ingin memutuskannya karena tidak terjadi dalam waktu yang tak terhitung, hal itu tetap tidak menghilang. Meski aku bisa melupakan ingatan penting lainnya, hanya kejadian inilah yang tidak bisa kulupakan.
Yeah, itu benar—
Dulu — aku sudah menembak Mogi-san.
“…Ada apa?”
“……Maaf, tidak ada apa-apa.”
Aku menjaga jarak antara aku dan Mogi-san. Dia menaikkan alisnya karena curiga, tetapi tidak bisa menanyakan padaku.
Aku kembali ke tempat dudukku dan menyandarkan tubuh atasku di atas meja.
“……Begitu rupanya.”
Kalau kupikir tentang hal itu, tentu saja. Lagi pula, aku sudah datang untuk mengulang hari ini lebih dari 20.000 kali.
Aku menyatakan cintaku pada Mogi-san. Tetapi aku lupa. Jadi aku menembaknya lagi. Dan lupa lagi. Untuk melawan ‘Rejecting Classroom’, aku sudah membuat pernyataan cinta yang bahkan tidak ingin kulakukan, lagi dan lagi dan lagi, dan melupakannya seperti itu.
Dan setiap kalinya aku mendapatkan jawaban yang paling ingin tidak kudengar.
Jawabannya selalu sama. Sudah ditentukan kalau jawabannya selalu sama. Well, tidak mungkin hal itu akan berubah. Mogi-san tidak bisa mengingat memorinya dan jawaban dia tidak akan berubah.
Jawaban itu—
“Tunggu sampai besok.”
Benar-benar kejam. Tahu nggak sih—besok tidak akan pernah datang.
Mendapat determinasi yang tiada taranya, mengangkat keberanian yang sebelumnya tidak akan ada, meregangkan urat syaraf sampai batas — tetap saja, kata-kata tulusku menghilang sepenuhnya seperti tidak pernah terjadi. Lalu, seperti saat ini, aku harus bertemu dengannya, yang ingatannya sudah menghilang dalam waktu tak terhitung, lagi.
…Begitu. Mereka tidak menjadi ketiadaan.
Tidak ada apa pun kalau dipikir.
Sejak awal tidak ada apa pun di dunia ini. Tidak ada nilai apa pun yang bisa ditemukan di dunia tempat segala sesuatu terjadi menjadi hampa. Keindahan, keburukan, benda berharga, benda kotor, dicintai, dan dibenci di sini tidak ada nilainya.
Karena itulah semua ini tidak ada. Hanya kehampaan.
Kehampaan dari ‘Rejecting Classroom’ yang sulit dimengerti.
Aku merasa pusing. Aku dipaksa bernapas di lingkungan seperti ini. Saat muncul keinginan untuk menghilangkan udara di dalam paru-paruku, aku tidak bisa melakukannya karena aku tidak akan bisa melanjutkan kehidupanku di sini. Au tidak bisa hidup tanpa bernapas. Tetapi kalau aku terus menghirup kehampaan, maka tubuhku pun akan menjadi hampa. Aku akan berlubang seperti sebuah spons.
Atau—apakah sudah terlambat bagiku sejak lama, dan kini aku sudah hampa?
“Ada apa, Kazu-kun? Apa kau merasa sakit?”
Saat kudengar suara yang kukenal, aku menaikkan wajahku dengan lambat saat terbaring di meja. Kokone berdiri di depanku, sambil mengernyitkan dahinya.
“Hal ini mengingatkanku, kau mimisan saat jam olahraga, 'kan? Mungkin itu juga berasal dari juga, kau tahu? Kalau kau merasa tidak enak badan, perlukah kita pergi ke ruang UKS?”
“Nggak perlu mengkhawatirkannya, Kiri. Gue yakin sebenarnya penyakitnya berasal dari pangkuan tempat dia tidur daripada mimisannya,” kata Daiya, yang berdiri di dekatku tanpa kusadari.
“Pangkuan…?…Ah! Begitu! Jadi begitu rupanya! Apaaaa, cuma sakit cinta…”
Lalu dia menyeringai dan menepuk bahuku untuk menyemangatiku.
“Ka-u! Kau kau! Bukankah ini agak sedikit aneh, kalau kau yang melakukannya? Tolong jangan melakukan sesuatu yang dewasa seperti ciiiinta.”
“Tergoda oleh rayuan biasa seperti itu — menggelikan.”
“T-tidak! Aku selalu mencintai—”
Aku berhenti di tengah-tengah. Ada beberapa kesalahan dalam perkataanku tadi. Untuk satu hal, aku juga mengakui perasaanku kepada Mogi-san, tapi pertama-tama—
“Ha? Lo nggak punya perasaan apa-apa untuk Mogi sampai kemarin, kan?”
—hal itu bukanlah yang sebenarnya.
Sebenarnya aku jatuh cinta padanya hari ini. Paling tidak dari sudut pandang Daiya dan yang lainnya, hal itu adalah kebangkitan tiba-tiba dariku. Karena itu tidak ada yang tahu perasaanku padanya, meski sudah terlihat jelas dari perilakuku.
“Hey hey, Daiya, sepertinya laki-laki ini baru saja mengakui cinta bertepuk sebelah tangannya pada Kasumi. Uhihi.”
Kokone menyeringai dan menyikut Daiya.
“Yeah. Saat-saat yang terbaik mungkin akan membuat gue senang sedikit lebih lama.”
“Uhehe… cinta orang lain memang menyenangkan! Mh, mh. Tenang saja. Onee-chan bakal membantumu! Aku akan memberimu saran dan membantumu! Kalau kau ditolak, aku bahkan akan menghiburmu! Tetapi kalau kau berhasil, aku akan membunuhmu, karena aku bakalan kesal.”
“Nggak usah takut. Kalau mereka berdua mulai pacaran, gue bakal ngambil ceweknya dari dia.”
“Uwaa, itu terdengar lucu! Ketidakberuntungan seseorang dan cinta segitiga yang kompleks! Luar biasa!”
Mereka berdua benar-benar keterlaluan, tidak mempedulikan kondisiku yang sedang turun.
Well, tapi untungnya XX tidak ada di sini. Kalu dia ada, maka dia akan menggunakan kesempatan ini dan membuat pembicaraan yang akhirnya akan—
“—Huh?”
“Mhh? Ada apa, Kazu-kun?”
“Tidak, hanya… aku berpikir di mana dia. Apa dia bolos yah hari ini?”
“Siapa yang lo bicarakan?”
Daiya bertanya dengan wajah curiga. Ini aneh. Kupikir Daiya akan tahu siapa yang kumaksudkan saat aku bicara demikian.
“Kau tidak tahu? Tentu saja dia kan——”
——err, siapa ya?
Huh? Tunggu sebentar! Aku…aku sendiri baru saja akan mengatakan nama seseorang. Jadi kenapa aku tidak hanya lupa namanya, tapi juga wajahnya?
“…Kazu-kun? Ada apa? Siapa sih yang lo maksud?”
Aku merasa sakit seperti sudah menelan sesuatu setengah cair seperti lendir yang membuatku ingin menggaruk perutku. Tapi aku beruntung, masih bisa merasakan hal menjijikkan itu. Kalau aku menelannya dan membuangnya, maka XX akan menghilang.
“H-Hey…Kazu-kun!”
Tidak masalah. Aku bisa mengingatnya. Aku bisa mengingatnya karena hal memuakkan tadi.
“—Haruaki”
Nama dari sahabat baikku. Teman berharga yang sudah berjanji menjadi sekutuku selamanya.
…Meski hanya sedikit, tetapi aku berharap. Berharap hanya aku yang melupakan Haruaki karena suatu alasan. Tetapi aku memang orang yang idiot. Harapan itu—
“Oi, Kazu. Siapa sih si ‘Haruaki’ itu?”
—tidak akan pernah terkabul.
Aku menggertakkan gigiku terhadap situasi yang menyebalkan seperti ini. Daiya dan Kokone mengernyitkan dahi pada perilakuku yang tidak biasa.
Mereka berdua sudah lupa. Meski mereka sudah saling kenal lebih lama, sebagai teman sejak kecil.
Fakta bahwa «Haruaki» tidak lagi ada di sini menusukku tanpa ampun, dan—
“Aku akan pulang ke rumah.”
—hal itu adalah luka yang fatal bagiku.
Aku berdiri, mengambil tasku, membalikkan punggungku kepada mereka dan berjalan meninggalkan ruang kelas.
Aku tidak bisa bertahan di sini lebih lama lagi.
Kenapa Haruaki tidak ada di sini?
Aku tahu kenapa. Aku tahu akan hal itu. Haruaki sudah di-‘rejected’.
Oleh siapa? Itulah yang pasti. Dia sudah diputuskan agar di-‘rejected’ oleh si «Tokoh utama» yang menyebabkan ‘Rejecting Classroom’ ini.
Aku salah persepsi rupanya. Kupikir ‘Rejecting Classroom’ akan melanjutkan aliran kehidupan sehari-hari ini selamanya. Bodoh sekali. Tidak mungkin hal seperti itu akan terjadi. Kehidupan sehari-hari disebut kehidupan sehari-hari karena mengalir terus-menerus. Kalau kau menghentikan arus sungai, maka lumpur akan menumpuk dan mewarnainya menjadi hitam. Sepeti itulah. Sedimen sudah menumpuk juga di sini.
Aah, tentu saja. Kupikir aku sudah menyadari fakta itu berkali-kali. Tidak peduli berapa kali aku mengulangnya, aku selalu kembali menemukan fakta itu. Dan kemudian aku berhenti memusuhi Aya Otonashi.
Aya Otonashi akan menghancurkan ‘Rejecting Classroom’.
Dan meskipun aku sekarang tahu, kenapa aku malah menghentikannya?
Bel berbunyi. Mungkin hampir semua teman sekelasku sudah kembali ke kursinya masing-masing.
Jadi sebelum meninggalkan ruang kelas aku berbalik arah.
Kursi yang kosong. Kursi yang kosong lagi. Kursi yang kosong lagi. dan lagi di sebelah sana. Aah…Aku sudah menebaknya, tetapi tidak ada satupun yang meragukan keanehan jumlah kursi yang kosong.



Aku mungkin sudah menyadarinya. Tetapi aku tidak memikirkannya itu karena aku tidak mau mengakuinya.
Aya Otonashi sudah yakin dengan kesimpulan kalau mengambil ‘box’ dariku adalah mustahil.
Lagi pula, mudah untuk menghentikan ‘Rejecting Classroom’ segera setelah kau menemukan tersangkanya. Hal itu dilakukan agar dia mendapatkan ‘box’ yang sudah diulanginya 20.000 kali.
Jadi…apa yang harus dia lakukan?
Bukankah itu sudah jelas?

Perutku melayang-layang saat aku tertabrak oleh truk. Itu benar-benar terlihat komikal untukku melihat kaki kananku berada di tempat yang jauh dariku. Entah kenapa, aku tertawa.
“Jadi selesai di sini…”
Aku «terbunuh». Aku membiarkan diriku terbunuh.
“27.753 kali pengulangan yang tidak berguna. Jadi kali ini usahaku berakhir dengan sia-sia? Aku harus… aku harus mengakui kalau aku pun sudah lelah sekarang.”
Lebih tepatnya, aku belum mati. Tapi terbaring di kubangan darahku, aku tahu. Aku akan mati. Tidak ada bantuan apa pun untukku. Dan jelas sekali aku sudah terbunuh olehnya.
“Ugh…! Aku sudah menghabiskan banyak waktu dan apa yang kudapatkan hanyalah ini. Aku tidak pernah membenci ketidakmampuanku lebih dari ini…!”
Dia bergumam dengan rasa menyesal.
“…Lupakan saja. Karena aku tidak bisa mendapatkan ‘box’ di sini, aku cukup mencari yang lainnya.”
Mata Aya Otonashi tidak lagi menuduhku. Tidak, tentunya mata itu tidak pernah menuduhku.
Dari awal sampai akhir Aya Otonashi hanya melihat ‘box’ yang berada padaku.
Apakah ini akan yang dikatakan «ketidakadaan»? Tidak, tidak akan. Kalau ‘box’ bernama ‘The Rejecting Classroom’ ada di dalam tubuhku, maka hal itu akan remuk bersama kematianku. Dan seperti dagingku tertabrak truk, ‘box’ ini sudah dihancurkan.
Hal itu tidak akan terulang kembali.
Aah, benar-benar ironis. Kalau ini adalah satu-satunya cara mengakhiri ‘Rejecting Classroom’, maka kematianlah satu-satunya yang sudah dipastikan sejak awal. Well, sebenarnya ini kosong. Dunia ini adalah—dunia setelah kematianku.
Tetapi dengan ini, pertarungan kami sudah berakhir.
Itu hanyalah pertarungan tidak seimbang tanpa kejutan, tetapi akhirnya harus berakhir di sini.

Yeah…itulah yang kauyakini. Benar, 'kan, Otonashi-san?

Kau sangat kasihan. Aku merasakannya dari lubuk hatiku yang paling dalam, Otonashi-san!
Kupikir karena kau salah mengira aku selama ini. Kalau tidak, kau tidak akan membuat suatu kesalahpahaman seperti ini.
Karena itu waktu yang terbuang ini terus terjadi.
Dengar, Otonashi-san. Seharusnya ini lebih mudah kalau kau sudah memikirkan tentang hal itu. Tidak mungkin kalau orang biasa sepertiku bisa menjadi «Tokoh utama».
Aku ingin memberitahunya, tapi itu sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Aku bahkan tidak bisa menggerakkan mulutku.
Kesadaranku memudar. Aku mati.
Lalu—tidak ada yang berakhir.

Selingan[edit]

Aku berada di dalam pemandangan yang tidak bisa kuingat di luar mimpiku.
Aku telah menerima 'box' darinya.
"Tenanglah! Biasanya ada resiko dari benda-benda seperti itu, tapi untuk yang ini tidak ada. Kau tidak akan kehilangan apa pun yang berharga bagimu, jiwamu juga tidak akan menghilang. Apa kau tahu, yang memberikan efek negatif dari benda-benda seperti itu bukanlah karakteristik khusus dari bendanya, tapi sifat asli manusia yang menggunakannya. Jika kau menggunakannya dengan benar, permohonanmu akan terkabul tanpa risiko apa pun."
Jika kau menggunakannya dengan benar--
Tapi apa kondisi itu benar-benar semudah itu untuk dipenuhi? Aku tidak tahu. Aku tidak tahu, tapi meski ada risiko seperti itu, ini masih merupakan kondisi yang sangat menggiurkan. Seperti tiket lotre yang pasti menang. Memang ada kemungkinan hidup seseorang akan hancur dengan uang yang sangat banyak. Tapi biasanya kau tidak akan memikirkan resiko seperti itu, ya, 'kan?
Jadi tolong katakan padaku bagaimana bisa ada orang yang tidak mau menerima 'box' ini.
"---Apa maksudnya ini?"
Karena di sini ada satu orang yang mengembalikannya.
"Apa kau segan? Atau kau tidak percaya kata-kataku? Atau--apakah kau takut padaku?"
Tentu saja semuanya berlaku bagiku.
Tapi bukan itu alasanku. Aku hanya tidak butuh benda seperti itu.
Soalnya, keinginanku adalah agar kehidupan sehari-hariku ini terus berlanjut. Aku telah mendapatkannya tanpa menggunakan 'box' itu.
Seperti seseorang yang punya kekayaan satu triliun yen tidak terlalu mengejar-ngejar uang satu juta yen. Tentu saja aku sadar akan betapa berharganya benda itu. Tapi tetap saja, aku tidak perlu menerima benda seperti itu dari seorang manusia yang misterius.

Benar. Aku memang menolak 'box'-nya.
Jadi--
Meski aku menginginkan pengulangan ini untuk terjadi supaya kehidupan sehari-hariku dapat terus berlanjut, tidak mungkin akulah pelakunya.


Ke-27,753 kali (2)[edit]

*rasp* *rasp* *rasp* *rasp*---

Suara apa ini? Suaranya sangat pelan sampai-sampai aku hampir tidak bisa menyadarinya jika aku tidak berkonsentrasi. Tapi itu bukanlah suara yang akan terlewatkan olehku karena suara itu tidak lain berasal dari dalam tubuhku sendiri.

*rasp* *rasp* *rasp* *rasp*—

Ada suara 'rasp' pelan yang terdengar dari dalam tubuhku. Di mana? Yah, suara itu berasal dari dalam tubuhku. Jadi itu pasti suara tubuhku yang sedang terkikis.

*rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp*---

Meski suara itu sangat kecil, suara itu terdengar keras di telingaku, sehingga secara refleks aku berusaha menutup telingaku, tetapi hal itu justru membuat suara tadi makin jelas terdengar. Ah, tentu saja. Kalau Aku menutup telingaku, Aku akan mendengar suara yang berasal dari tubuhku dengan jelas. Jadi aku tidak boleh menutup telingaku. Aku tidak akan pernah bisa lari dari suara tubuhku yang sedang terkikis.

Sakit sekali. Seperti yang sudah kuduga, tubuh yang sedang terkikis itu sakit rasanya. Rasanya seperti jantungmu sedang membengkak. Rasa sakit yang terus terasa, apa ini perasaan bersalah? Aku yakin kalau itu adalah perasaan yang pertama kali sudah kuhilangkan. Tapi sepertinya masih tersisa sedikit perasaan itu di dalam tubuhku.

*rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp* *rasp*---

Aku terkikis.

Jantungku.

Tubuhku.

Ah, kalau begini terus, bagian dalam tubuhku akan kehilangan bentuknya dan bercerai-berai bagaikan serpihan-serpihan kayu. Mmhh, tidak. Ini, sudah terlambat. Aku sudah menjadi pecahan kecil.

Di pengulangan yang lebih dari 20.000 kali ini, aku berhenti menjadi diriku sendiri. Aku sadar akan hal itu. Aku tidak bisa menahan kebosanan ini dan kehilangan hatiku. Bahkan aku tidak bisa lagi berbicara dengan normal.

Dunia ini menolakku.

Tentu saja. Sejak awal ini memang bukan tempatku. Aku hanya memaksakan diriku ke dalam dunia ini. Semua orang di kelas ini menolakku.

Aku tahu bagaimana cara mengakhiri semua ini.

Tapi aku tidak akan melakukannya.

Itu karena—keinginanku belum terpenuhi.

...Hah? Tapi, tubuhku sudah hancur seperti ini. Bagaimana bisa aku mengingat keinginanku? Masih mungkinkah Aku? Tidak. Keinginanku sudah hancur bersama hatiku. Buktinya---

—aku tidak bisa lagi mengingat permohonanku sendiri.

"—Ahaha,"

Tanpa sengaja aku tertawa. Ya, aku tidak bisa lagi mengingatnya. Ahaha, aku tidak bisa mengingatnya. Apa keinginanku? Ayolah, biarkan aku mengingatnya! Ahaha, berhenti bercanda denganku! Kenapa Aku bisa menahan siksaan mahaberat berupa pengulangan terus-menerus ini? Aku hanya bisa tertawa. Meski aku hanya bisa tertawa... ah, aku sendiri sudah lupa bagaimana cara tertawa itu sendiri. Jadi, aku hanya bisa tertawa tanpa ekspresi sama sekali.

Jadi—aku bisa menghentikannnya sekarang.

Kesimpulan yang sangat sederhana. Aku sendiri heran kenapa aku tidak bisa berkesimpulan seperti itu sebelumnya.

Aku hanya perlu membunuhnya sekarang. Benar, aku hanya perlu membunuhnya. Aku hanya perlu membunuh Kazuki Hoshino. Lagi pula dialah awal dari semua penderitaan ini. Jika aku bisa tenang dengan melakukan hal itu, maka aku hanya perlu membunuhnya secepat mungkin.

Tapi entah mengapa aku tahu.

«Kebetulan»-ku yang pernah kusebut «permohonan» ini tidak akan menjadi berakhir begitu saja.


Ke-27,754 kali[edit]

Tubuhku dengan cepat menjadi dingin dan terasa kosong. Meskipun itu berarti aku sudah tiada, aku membuka mataku seperti biasa. Tidak bisa menahan rasa dingin yang menjalar di tubuhku. aku memeluk diriku sendiri di kasur dan bergetar.
Aku terbunuh.
Di salah satu '2 Maret'.
Benar, meski aku terbunuh, 'Rejecting Classroom' tetap tidak akan berhenti. Menyadari hal itu, aku merasa kalau aku ini benar-benar terasa kosong. Hampa. Rasa dingin ini sepertinya tidak akan hilang untuk waktu yang lama.
Aku tidak tahan terlalu lama berada di kamarku dan segera pergi ke sekolah tanpa sarapan terlebih dahulu.
Cuaca mendung di luar rumah sudah tidak asing lagi. Besok pasti hujan. Kapan ya, terakhir kali aku melihat matahari bersinar?
Tidak ada seorang pun di kelas. Yah, hal itu wajar karena aku datang satu jam lebih cepat dari biasanya.
Tiba-tiba muncul pertanyaan di kepalaku. Kenapa aku bersikeras datang ke sekolah? Aku sudah sering menyadari kejadian 'Rejecting Classroom' ini seperti sekarang. Bukankah aku bisa bolos dari sekolah untuk menolak pengulangan ini?
Tidak...! Aku harus pergi! Ya, bagiku, jika aku sehat, maka aku akan pergi ke sekolah. Bagiku, itulah kehidupan sehari-hariku. Aku bahkan tidak pernah memimpikan untuk mengubah kebiasaanku itu. Kegiatan itulah yang tidak akan kuubah apa pun yang terjadi. Mempertahankan kehidupan sehari-hariku adalah satu-satunya tujuanku.
Ah, mungkin itulah alasan kenapa Aku masih di sini. Aku tidak mengerti logika di balik semua ini, tapi itulah yang aku rasakan.
Meski aku berakhir sendirian di kelas ini.
"——"
Aku berjalan menuju ke tengah ruang kelas dan menaiki meja seseorang tanpa melepas sepatuku. Sebenarnya dalam pikiranku aku ingin meminta maaf, tapi ketika aku mencoba mengingat-ingat siapa pemilik meja ini, aku tidak dapat mengingat baik nama maupun wajahnya. Meskipun demikian, tetap saja aku merasa bersalah.
Aku melihat sekeliling. Ini tidak seperti aku mengharapkan sesuatu akan berubah dengan menaiki meja, tapi benar-benar tidak ada seorang pun di kelas yang suram ini.
Tidak ada seorang pun di kelas,
Tidak ada seorang pun di kelas.
"Mmhh, dingin..."
Aku memeluk diriku dengan erat.
Terdengar suara pintu yang terbuka. Orang yang terlihat di depan pintu itu melihatku berdiri di atas meja dan menggerutu.
"...Lagi ngapain elo di atas situ, Kazu?"
Daiya melihatku dengan pandangan yang tidak mengenakkan.
Menyadari hal itu menghilangkan rasa tegang di wajahku.
"Aah... Gue lega."
Aku bergumam begitu dan turun dari meja. Sambil terus melihatku, Daiya terus menggerutu.
"Tahu nggak elo? Melihat elo membuat gue tenang, Daiya."
"...Baguslah kalau begitu."
"Karena elo memang benar-benar Daiya."
"...Hey, Kazu. Untuk pertama kalinya setelah lama nggak merasakannya, gue jadi merasa ketakutan."
Tapi Daiya, apa elo tahu? Meskipun elo itu Daiya yang asli, dunia ini tetap saja palsu. Gue nggak bisa membagi apa pun sama elo. Daiya yang berikutnya nggak akan ingat gue yang sekarang. Ini seperti cuma gue saja yang berada di luar TV. Jadi apa gue benar-benar bisa bilang kalau elo memang berada di sini?
Itulah kenapa tidak ada seorang pun di sini.
—Seorang pun?
"Ah—"
Tidak, itu tidak benar.
Ada satu lagi orang selain aku.
Ada satu lagi orang yang bisa mengingat kejadian ini. Dia tidak akan bisa pergi dari sini selama aku masih mempertahankan ingatanku.
Aah, aku mengerti. Selama ini hanya kami yang memang berada di sini. Tidak bisa keluar dan bahkan tidak mencoba keluar dari ruangan kecil yang hanya sebesar ruang kelas ini, kami selalu berdampingan. Tapi aku tidak menyadarinya karena dia selalu menganggapku sebagai musuhnya.
Aku duduk di kursiku.
Dia duduk di kursi sebelahku.
...Aku harus percaya. Hanya dengan membayangkan dia duduk di sana, aku menjadi sedikit tenang, meskipun dialah orang yang membunuhku.



Apakah karena ini?
Karena? Apa itu karena? Aku tidak mengerti arti dari semua ini. Aku tidak mengerti perasaanku sendiri. Tapi suhu tubuhku terus menurun. Cepat, tidak, lebih parah. Tubuhku sudah sangat dinginnya sampai mencapai titik beku. Tubuhku sakit dan menjadi kaku sepenuhnya.
"Aku Aya Otonashi. Senang berkenalan dengan kalian semua.."
Si «murid pindahan» berlaku seperti murid pindahan sungguhan dan tersenyum sambil tersipu malu.
"....A-apa-apaan ini?"
Aku tidak mengerti arti dari semua ini.
Tidak, sebenarnya aku mengerti.

« —Ini seperti aku tidak terpengaruh. Sungguh, hal itu juga bisa berpengaruh padaku. Kalau aku menyerah dan menolak untuk mengingatnya, aku juga akan terjebak oleh 'Rejecting Classroom' ini. Aku bisa terus hidup tanpa makna di pengulangan yang tidak terbatas ini. Hampir semudah menumpahkan air ke atas kepala seseorang—»

—kata-kata yang pernah terdengar saat itu muncul kembali di dalam kepalaku.
Aku melihatnya berdiri di depan kelas. Melihat wajahnya aku yakin kalau itu adalah dia, tetapi aku tidak bisa mempercayainya,
Dia--Aya Otonashi?
Mustahil. Karena Otonashi-san tidak mungkin menyerah.
Ya, bahkan meski dia mengetahui kalau orang yang dicurigainya selama lebih dari 20.000 kali 'Pindah Sekolah' bukanlah pelakunya dan apa yang dia lakukan selama ini sia-sia; tidak mungkin dia menyerah. Tidak mungkin! Tidak mungkin dia akan menyerah!
Itu—tidak seperti dia.
Jumlah teman sekelas kami sudah berkurang hingga setengahnya karena mereka sudah 'ditolak'. Meski begitu, mereka tetap bertanya tentang dia. Dia menjawab semua pertanyaan mereka dengan ringkas dan sederhana, tetapi sopan. Dia tidak lagi cuek seperti sebelumnya.
Hampir seperti murid pindahan sungguhan.
Kejadian ini tidak mungkin terjadi. Jadi, ini pasti palsu. Ini pasti sebuah kebohongan. Ya, pasti bohong. Semuanya bohong. Kalau begitu... Apakah Aya Otonashi juga sebuah kebohongan?
—Tidak akan,
—Tidak akan,
"Tidak akan kubiarkan!"
Meski semua orang membiarkannya, Aku tidak akan membiarkannya!
Aku tidak akan membiarkan Aya Otonashi menjadi palsu.
"...Ada apa, Hoshino?"
Kokubo-sensei bertanya padaku. Baru saat itu aku sadar kalau aku tiba-tiba berdiri.
Aku melirik ke arah Mogi-san. Seluruh pandangan di kelas tertuju kepadaku, begitu juga pandangannya. Tapi seperti yang kuduga, aku tidak bisa menebak apa yang dipikirkannya di balik wajahnya yang tanpa ekspresi itu.
Dia pasti tidak akan menjawabnya jika aku bertanya apa yang dia pikirkan tentang apa yang sedang kulakukan sekarang. Kami telah menghabiskan waktu yang sungguh panjang di dalam ruang kelas ini. Meski begitu, hubungan kami sama sekali tidak berubah.
Hari esok harus datang agar hubungan kami berubah.
Ya, Mogi-san tidak ada di sini.
Tidak ada seorang pun di sini.
Itulah kenapa, ini semua sudah cukup.
Aku mengabaikan semua teman sekelasku yang nantinya juga akan melupakan kelakuanku hari ini.
Aku hanya melihat ke arah Otonashi-san. Aku berjalan ke depan kelas di mana dia berdiri.
Apa yang kulakukan sama anehnya seperti saat aku menyatakan cintaku kepada Mogi-san.
Aku berdiri di depan Otonashi-san.
Otonashi-san tidak menunjukkan sedikit pun rasa terkejut dan terus melihat ke arahku. Aku menjadi sangat kesal karena melihat ekspresi wajahnya yang seperti baru pertama kali melihat wajahku.
"Hey, ada apa, Hoshino?"
Suara Kokubo-sensei terdengar tenang, tapi aku merasakan adanya kegelisahan di dalam suaranya. Teman sekelasku juga bertanya hal yang sama.
Aku mengabaikan mereka semua dan berlutut di depan Otonashi-san. Aku menghadapkan kepalaku ke bawah dan menjulurkan tanganku padanya,
"Apa yang kamu lakukan?"
Otonashi-san bertanya padaku dengan nada sopan yang tidak pernah dipakai di depanku sebelumnya.
"Saya datang untuk bertemu dengan Anda,"
Kalau dia begitu, aku juga akan melakukannya.
"...Apa yang kamu katakan?"
"Saya kemari untuk bertemu dengan Anda, Tuan Putri Maria. Saya, Hathaway, orang yang telah bersumpah untuk melindungi Anda, meskipun itu berarti bahwa saya akan mengkhianati semua orang dan membuat mereka jadi musuh saya."
Suara dari orang-orang di sekelilingku menghilang seketika. Ya, benar. Demi mendapatkan kembali Otonashi-san, langkah pertama adalah dengan membuatnya berpikir kalau orang-orang ini tidaklah nyata. Situasi sekarang sangat mudah dipahami.
Tanpa mengangkat wajahku, aku menunggu Aya Otonashi untuk mengambil tanganku. Aku terus menunggunya untuk menaruh tangannya di atas tanganku seperti sedang memintanya untuk berdansa denganku.
Tapi itu tidak berhasil.
Otonashi-san tidak meraih tanganku.
Aku malah mendengar suara sesuatu terjatuh, dan aku terbaring di lantai.
"...Kau menjijikkan."
Karena kepalaku sejak tadi menghadap ke bawah, aku tidak tahu apa yang dia lakukan. Tapi saat aku sedang terbaring, kudongakkan kepalaku ke atas, dan akhirnya aku menyadari apa yang tadi ia lakukan. Dia menendangku dengan lututnya di bagian kanan wajahku.
Aah, ya. Tentu saja dia akan melakukan hal itu. Kenapa aku begitu naifnya berpikir kalau dia akan mungulurkan tangannya?
"—Heh,"
Tak diragukan lagi, dia memang <<Aya Otonashi>> yang asli. Dia tidak mungkin sebaik itu hingga mau mengulurkan tangannya.
"Ha, hahaha..."
Sepertinya dia tidak tahan lagi dan tertawa terbahak-bahak. Mungkin selama 20.000 kali pengulangan ini aku belum pernah melihatnya seperti itu.
Aku masih terbaring di lantai dan kepalaku sakit. Tapi wajahku melemas karena lega.
"Kau benar-benar membuatku menunggu lama, Hathaway-ku yang tercinta. Aku terkejut karena kau berani membuat gadis lemah sepertiku yang bahkan hanya kuat mengangkat sendok ini menunggu. Aku tidak pernah mengira kau akan membiarkanku sendirian di medan perang sebanyak 27.753 kali!"
Otonashi-san membungkuk dan mengulurkan tangannya ke arahku.
Dia menarik tanganku dengan paksa.
Ya, begitu.
Itulah bagaimana Aya Otonashi biasanya bertindak.
"...Tapi karena itu, kau jadi lebih kuat, Tuan Putri."
Terkejut, Otonashi-san membuka matanya lebar-lebar. Kemudian dia tersenyum.
"Sebaliknya, kau jadi lebih baik dalam menggunakan kata-katamu, Hathaway."
Setelah berbicara, Otonashi-san menarikku keluar dari kelas tanpa sekali pun melepas pergelangan tanganku.
Tidak mempedulikan pelajaran. Tidak mempedulikan guru. Tidak mempedulikan murid lainnya. Tidak mempedulikan apa pun. Kami meninggalkan ruang kelas, tanpa mempedulikan apa pun yang telah kutinggalkan.



Setelah menarikku keluar dari ruang kelas, Otonashi-san menyuruhku untuk duduk di jok belakang motor yang lumayan besar dan menyuruhku untuk mengenakan helm.
Aku merasa ketakutan karena kecepatan yang tidak pernah kurasakan selama ini.
Aku bertanya dengan suara yang agak gemetar apakah dia punya SIM atau tidak. Pinggangnya cukup ramping (Yah, orang-orang juga bisa mengetahui kalau dia langsing hanya dengan sekali lihat, tapi entah kenapa tanpa sadar aku merasa kalau dia itu dapat diandalkan). Dia dengan gampangnya menjawab pertanyaanku tadi dengan, "Tidak mungkin aku punya, 'kan?"
"Aku punya terlalu banyak waktu luang di dalam 'Rejecting Classroom' ini, jadi kupelajari saja kemampuan mengemudi. Tidakkah kau pikir aku menggunakan waktuku dengan bijaksana?"
Aku harus mengakui kalau kemampuan mengemudinya cukup baik.
Ketika aku bertanya apakah dia juga menguasai kemampuan lainnya, dia menjawab dengan, "Tentu saja". Aku memang sudah mengira kalau dia juga bisa mengemudikan mobil, tetapi selain itu ternyata dia juga menguasai beladiri, olahraga, bahasa, macam-macam alat musik, dan lain-lain. Singkatnya, dia sudah mencoba hampir semua yang dia mampu selama 'Rejecting Classroom' ini. Tapi, Otonashi-san yang mungkin saja mendapat nilai sempurna di tes masuk Universitas Nasional mengatakan, "Yah, aku sudah menguasai hampir semua hal tersebut sebelum aku 'pindah sekolah' ke sini."
Kemampuannya mungkin sudah tinggi sejak awal, tetapi itu justru menunjukkan lamanya waktu yang dia habiskan dalam 27.754 kali pengulangan ini. Aku tidak bisa menghitung dengan tepat, tetapi jika angka tersebut dimasukkan ke dalam hari, dia sudah menghabiskan waktu sebanyak 76 tahun. Hampir setara dengan waktu seumur hidup yang bisa dilalui seorang manusia. Saat aku memikirkan hal itu, aku jadi berpikir kalau itu memang waktu yang sangat panjang.
"Hey, Otonashi-san. Kau seumuran denganku, bukan?"
Mungkin karena berpikiran seperti itu, aku jadi penasaran dengan umur aslinya.
"...Tidak, aku tidak seumuran denganmu."
"Eh? Jadi, berapa umurmu?"
"Itu tidak penting, 'kan?
Otonashi-san menjawabnya dengan nada yang agak tersinggung. Apakah itu berarti sesuatu yang tidak ingin dia jawab? ...Yah, Kudengar memang tidak sopan untuk menanyakan umur seorang wanita... Dengan kata lain, apa mungkin dia sudah berada di umur di mana hal tersebut berlaku untuknya?
Kalau dipikir-pikir, tidak mungkin ada murid yang sedewasa dia yang masih sekelas denganku. Dia pasti hanya memilih teman sekelas denganku karena dia pikir akan mudah masuk ke dalam 'Rejecting Clasroom' jika berada di posisi yang sama denganku. Mungkin dia sudah ada di umur di mana dia pasti akan dianggap sedang ber-cosplay bila memakai baju sekolah.
"Hoshino, jika kau berpikir tentang sesuatu yang kurang ajar, akan kulempar kau."
Meski dia tidak melihatku karena sedang mengemudi, dia masih bisa menebak pikiranku. Instingnya benar-benar tajam.
"Ngomong-ngomong, kau belajar mengendarai motor saat kau sudah berada di dalam 'Rejecting Classroom' ini, kan? Kalau begitu, motor ini bukan punyamu, dong? Motor ini punya siapa? Ayahmu?"
Aku tidak tahu sama sekali tentang motor, tapi motor ini tidak terlihat seperti motor yang dibuat untuk dipakai seorang wanita.
"Tau deh"
"…Eh?"
"Tidakkah kau pikir kalau menaruh kendaraan di luar rumah dengan kunci masih tergantung itu sembrono?"
Yah, itu memang benar. Tapi, tunggu, apa itu?! Jadi itu berarti...
"Selain itu, kunci rantainya juga murahan dan mudah untuk dipotong dengan alat tertentu. Selalu saja seperti itu saat aku 'Pindah Sekolah'. Yah, itu wajar saja."
Lebih baik aku tidak bertanya lebih lanjut. Aku lebih baik tidak tahu semua ini. Ya, itu lebih baik.
"Tapi, misalnya kau kehilangan ingatanmu, maka kemampuan mengemudi dan kemampuan lainnya serta pengetahuan yang kau dapatkan dengan susah payah akan menghilang juga, 'kan?"
Itu akan sangat merugikan.
"..."
Otonashi-san tidak menjawabku.
"Otonashi-san?"
Dia tetap tidak menjawab, jangan-jangan—
"Apa kau juga berpikir kalau itu akan merugikanmu?"
Apa mungkin kalau niatnya mempelajari semua kemampuan dan pengetahuan itu bukan hanya untuk menghabiskan waktu semata? Bahkan orang seperti Otonashi-san pun pasti akan menyesal jika dia kehilangan hal yang telah dia dapatkan dengan susah payah. Jadi dia pasti tidak mau kehilangan semua itu, kupikir.
Demi menciptakan rasa <<menyesal>> itu, dia mempelajari semua hal.
Itu mengingatkanku—
Meskipun sedikit terlambat, Aku mulai berpikir.
—Kenapa Otonashi-san bersikap seperti dia sudah kehilangan ingatannya?
Pada akhirnya, dia membawaku ke sebuah hotel yang sepertinya paling mahal di daerah ini. Meskipun bukan hotel yang terlalu mahal, tentu saja harganya tidak terjangkau oleh uang jajan anak SMA biasa. Otonashi-san check-in dengan mudahnya seperti dia sudah sangat terbiasa melakukannya, menolak tawaran bellboy yang akan mengantarkan kami ke kamar yang dia pesan dan mulai berjalan dengan mantapnya, seperti dia sudah tahu kamar mana yang akan diberikan padanya.
Ketika kami sampai di kamar, Otonashi-san langsung duduk di sofa.
Aku duduk di kamar sambil berusaha menahan kegelisahan karena berada di dalam hotel kelas atas... Mestinya ini bisa saja menjadi situasi menegangkan karena aku sendiri sedang bersama seorang gadis di dalam kamar hotel. Tapi, mengingat Otonashi-san yang menjadi gadisnya, secara mengejutkan aku tidak merasakan ketegangan itu, karena bersama dengannya terasa begitu tidak nyata.
"Kau benar-benar kaya, yah, Otonashi-san. Yah, kau memang terlihat sperti itu."
"Mau kaya atau tidak, tidak ada hubungannya dengan ini. Ketika sudah saatnya aku 'dipindah' lagi, uangnya juga pasti akan kembali."
"..Ah, benar juga. Jadi, itu berarti, Aku bisa membeli semua umaibo yang ada di minimarket. Hebat!"
"Itu tidak penting. Kita di sini bukan untuk membicarakan hal seperti itu, ya, 'kan?"
"Be-benar. Jadi apa yang mau kaubicarakan?"
"Langkah-langkah yang akan kita lakukan mulai sekarang. Soalnya aku sudah kehilangan semua petunjuk karena kau bukanlah pelakunya."
"Maaf."
"Jangan menyindirku..."
Tapi aku memang tidak menyindir, kok.
"Tapi, kalau begitu bukankah lebih baik kalau kita mencari pelaku yang sebenarnya? Aku tahu hal ini tidaklah mudah, tapi bukankah ini merupakan suatu kemajuan karena sudah berkurang satu orang lagi dari daftar pelakunya?"
"...Hoshino. Apa kau sadar kalau aku sudah mengalami 27.754 kali 'pindah sekolah'?"
"Maksudmu?"
"Aku sudah mengatakan padamu sebelumnya, bukan? Seberapapun aku mencurigaimu, aku tetap mencurigai orang lain. Aku juga mencoba untuk menyelidiki tersangka lainnya dan juga berpikir kalau aku belum mengetahui pelakunya... Tentu saja aku sembrono karena telah mengira kaulah pelakunya."
"Jadi, kau tidak menemukan orang lain yang mungkin menjadi pelakunya selain aku?"
"Ya. Mengingat kalau ini sudah yang ke-27.754 kalinya, berarti selama ini si pemilik 'box'-nya adalah tipe orang yang tidak akan menyerah."
"Err, bukankah itu berarti dia menyadarimu karena kau bertindak terlalu terbuka?"
"Bahkan jika dia berhati-hati di hadapanku, itu tetap mustahil. Kita ini sedang membicarakan jangka waktu seumur hidup manusia. Atau, apakah kau mau bilang kalau si 'pemilik' punya tekad dan kemampuan untuk menyembunyikan sifat aslinya begitu lama? Yah, tapi itu memang benar kalau dia tidak bisa kutemukan selama ini. Sial... si 'pemilik' pastinya adalah seseorang yang masuk ke kelas ini. Tapi kenapa, aku belum bisa menemukannya?"
"...Tunggu sebentar. Apa maksudmu dengan mengatakan kalau si 'pemilik' adalah orang yang memasuki kelas ini? Jadi, si 'pemilik' adalah teman sekelasku?"
Aku jadi ingat kalau Otonashi-san pernah mengatakan kalau tersangkanya tidak banyak.
"Tidak, guru dan murid dari kelas lain yang datang ke kelas 1-6 setiap kali juga kemungkinan merupakan tersangka. Jarak dari 'Rejecting Classroom' ini, sesuai dengan namanya, hanya meliputi ruang kelas 1-6 pada tanggal 2 sampai 3 Maret saja yang terlibat dalam kejadian ini."
...? Tapi, aku pernah meninggalkan kelas dan melihat banyak orang lain di luar.
"Wajahmu mengatakan kalau kau tidak mengerti. Hoshino, apa kau percaya kalau waktu bisa diulang kembali?"
"Eh..?"
Apa maksud kata-katanya? Jika aku bilang 'tidak' maka tidak mungkin kalau semua ini bisa terjadi 'kan?
"...Tapi, bukankah 'box'-nyalah yang membuat hal itu mungkin?"
"Memang, itu mungkin dengan menggunakan 'box'-nya. Tapi yang kutanya adalah pendapatmu. Apakah kau bisa mempercayai sepenuhnya kalau kekuatan benda ini bisa sampai memutar mundur waktu? Apa kau pikir fenomena seperti itu mungkin terjadi?"
Aku tidak mengerti apa yang dia katakan.
'Kupikir—"
Jadi aku menjawab pertanyaannya tanpa memikirkan tujuan pertanyaannya,
"—Ketika sesuatu sudah terjadi, hal tersebut tidak bisa diulangi lagi."
Aku sendiri sering berpikir <<kalau saja aku bisa mengulangi waktu>>. Tapi misalkan di dunia ini ada mesin waktu, aku masih tidak bisa mempercayai kalau waktu bisa terulang kembali. Bahkan meskipun kku benar-benar bisa kembali ke masa lalu, aku mungkin masih belum bisa mempercayainya.
Aku tidak tahu apakah itu adalah jawaban yang benar, tapi Otonashi-san mengangguk dan bergumam, "Hmm".
"Pendapatmu itu normal. Dan sepertinya si pembuat 'Rejecting Classroom' juga berpikir seperti itu."
"...Apa maksudmu?"
"'Box'-nya membuat pikiran si pemilik menjadi nyata sepenuhnya. Seluruh pikiran si pemilik. Tanpa cacat. Dengan kata lain—bahkan rasa tidak percaya mengembalikan waktu juga menjadi nyata. Kau mengerti artinya, 'kan?"
"Err.."
Ingin mengembalikan waktu, tapi di saat yang bersamaan tidak mempercayainya. Kurangnya rasa percaya diri mungkin mengubah harapannya.
"Tapi bukankah kau benar-benar dikirim ke masa lalu?"
"Hoshino. Apa aku pernah sekali pun mengatakan fenomena ini dengan kata <<dikirim kembali ke masa lalu>>?"
Tidak mungkin aku tahu, karena aku kehilangan sebagian besar ingatanku tentang dia.
"Mudahnya, 'Rejecting Classroom' ini tidak sempurna."
"Kalau begitu, kenapa kau mengalami lebih dari 20.000 kali pengulangan?"
"Lho, bukankah itu bukti kalau 'Rejecting Classroom'nya tidak sempurna? Jika waktunya dikembalikan dengan sempurna, maka tidak mungkin ingatanmu dan ingatanku tersisa. Lagi pula, jika pengulangan ini sempurna, bagaimana bisa aku menyelinap sebagai <<murid pindahan>>?"
Dia melirik ke arahku.
"Karena kau, aku berhenti bertaruh kalau kau berpikir sesuatu seperti 'Apa pun bisa dilakukan oleh Otonashi' dan berhenti berpikir sampai di situ."
Aku tidak bisa mengelak karena semua pernyataannya tepat sasaran.
"Singkatnya, yang kulakukan adalah mendekati 'Box'-nya. Aku menjadi <<murid pindahan>> bukan karena kemauanku, melainkan sebuah peran yang sudah disiapkan oleh si pelaku. Panggung 'Rejecting Classroom' adalah ruang kelas 1-6. Jadi kupikir wajar saja dia memberikanku peran sebagai <<murid pindahan>> untuk menjaga kekonsistenan."
"...?"

Aku tidak mengerti apa yang dimaksudkan Otonashi -san. Kenapa dia harus menjaga kekonsistenannya?
"Kenapa kau begitu bodoh sih... Misalnya, 'Rejecting Classroom' adalah film yang dibuat si pelaku. Perekaman filmnya sudah selesai, hanya tinggal mengeditnya saja. Tapi, karena satu dan lain hal, ada aktor baru yang harus muncul di dalam filmnya. Tidak ada peran lagi yang tersisa, tetapi mau tidak mau dia harus memunculkan aktor baru tersebut ke dalam film. Jadi, dia memilih untuk mengubah naskahnya sedikit demi memberikan peran kepada si aktor. Itulah apa yang kumaksud dengan menjaga kekonsistenan."
"Jadi, dia tidak bisa mencegahmu menyelinap ke dalam dan entah bagaimana harus membuatmu menjadi bagian dari semua ini. Dia memaksamu menjadi <<murid pindahan>> dan menstabilkan kehidupan 2 Maret ini, 'kan?"
"Ya, itu saja sudah cukup untuk merasa kalau ada yang aneh dengan 'Rejecting Classroom' ini. Terlalu merepotkan kalau aku harus menjelaskan semuanya. Jadi aku akan langsung mengatakan kesimpulannya. Ini bukan <<kenyataan>>. Ini juga bukan pengulangan, ini hanya <<ruangan>> kecil yang terpisah dari kenyataan. Ini hanyalah 'harapan' kosong yang akan terus berlanjut selama si pelaku sendiri belum menyadari kalau kejadian ini bukanlah sebuah pengulangan."
"Err... Jadi itu sebabnya, pengulangannya tidak sempurna?"
"Tepat. Si pelaku tidak percaya kalau mengembalikan waktu itu mungkin dilakukan. Dia hanya tidak mengijinkan waktu untuk berjalan, dia hanya menolaknya, si 'pemilik' terus menipu dirinya sendiri."
"Jadi, ketidaksempurnaan ini adalah alasan kenapa kita bisa mempertahankan ingatan kita?"
"Kupikir begitu. Alasan kita bisa mempertahankan ingatan kita mungkin berbeda, tapi tidak salah lagi ini pasti salah satu kekurangan 'Rejecting Classroom' ini."
Tapi pada akhirnya hanya satu yang membuatku penasaran.
"Lalu, kau itu siapa, Otonashi-san?"
Otonashi-san menggerutu. Itu mungkin adalah sebuah pertanyaan yang ingin dia hindari.
"Ah, tidak... Kau tidak perlu menjawab jika kau tidak mau."
Tapi dia membuka mulutnya, masih menggerutu.
"Ah, aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah seorang pelajar... Aku ingin bilang begitu, tapi itu hanya berlaku sampai setahun yang lalu... Siapakah aku? Aku tidak pernah memikirkannya, tapi yah, ada satu cara untuk membahasakannya. Aku sendiri adalah--"
Otonashi-san terlihat tidak senang ketika dia mengucapkan hal itu.
"—'Box' itu sendiri."
"'Box'? Apa maksudmu?"
Otonashi-san terlihat lebih muram lagi.
"Akan ada suatu halangan jika aku menjelaskannya secara detail kepadamu. Jadi, aku tidak akan memberitahumu."
Aku agak kecewa mendengar jawabannya. Dan sepertinya ekspresi kekecewaanku terlihat olehnya, jadi Otonashi-san berbicara lagi.
"Tapi aku akan memberitahumu satu hal. Aku pernah mendapatkan dan menggunakan 'Box'."
"Eh—!!"
"Dan keinginanku masih terus dikabulkan."
Otonashi-san memiliki sebuah 'Box'?
"Kau penasaran dengan alasanku mencari 'Box'-nya kan? Baiklah, aku akan memberitahumu. 'keinginanku' memang dikabulkan, tetapi pada saat yang sama, aku kehilangan segalanya."
"...Segalanya?"
"Keluarga, teman, sanak saudara, guru, tetangga--aku kehilangan semua orang yang dekat denganku karena 'permohonan'-ku. Semua orang yang dekat denganku tidak ada lagi."
"Ini bukan...perumpamaan?"
"Ya. Aku tidak rela melepaskan semua itu, makanya aku mencari 'box' lainnya."
Dia telah kehilangan segalanya. Dia tidak punya kekhawatiran apapun yang bisa hilang darinya lagi. Mungkin itulah kenapa Otonashi-san dapat bertindak tanpa ragu.
Lagi pula, untuk memohon 'permohonan' seperti itu, gila, 'permohonan' apa sih yang dia masukkan ke dalam 'box'-nya?
"Bukankah mungkin untuk menghancurkan 'box'-nya? Bukankah segalanya akan kembali lagi seperti semula jika kau menghancurkannya?"
"Hoshino."
Otonashi-san berbicara dengan nada sinis mendengar pertanyaanku barusan.
"'Box'-nya masih mengabulkan permohonanku. Apa kau mengerti? Jangan buat aku berkata lebih dari itu."
Ah. Tentu saja. 'Box'-nya memang telah merenggut semua miliknya. Tapi, meski begitu, Otonashi-san jelas tidak mau kehilangan permohonannya.
Ketika aku diam memikirkannya, Otonashi-san mulai berbicara lagi.
"'Keinginan'-ku dan 'keinginan' si pemilik 'Rejecting Classroom' tidak bisa berdampingan. 'Box'-nya dibuat seperti itu. Jadi, mereka saling menolak. Dan ketika aku menyelinap masuk, efek yang kuterima memang sedikit berkurang. Tapi, hanya <<berkurang>>. Dengan kata lain, aku juga tidak bisa menghindari efek dari 'Rejecting Classroom'. Bahkan aku tidak tahu seberapa jauh aku terkena efeknya. Jika aku menyerah, aku juga akan terjebak di dalam 'Rejecting Classroom'... Aku juga pernah bilang padamu, bukan?"
Kalau begitu, bagaimana tanggapan si 'pemilik' terhadap Otonashi-san? Setidaknya dia tidak mungkin menganggap semua aksinya biasa saja.
"Seharusnya kau sudah agak mengerti sekarang, jadi aku akan kembali ke pokok permasalahan. Aku menyimpulkan kalau mengambil 'box' dari si pemilik dan menggunakannya sudah tidak mungkin lagi, karena 'box'-nya sudah terpakai oleh si pemilik, jadi aku akan mengakhiri 'Rejecting Classroom' ini."
"Bagaimana cara kita melakukan hal itu?"
"Dengan memisahkan 'box'-nya dari si 'pemilik'nya. Atau dengan menghancurkan 'box'-nya bersama dengan pemiliknya. Kemungkinan lainnya dengan... menemukan distributor 'box'-nya, karena dia mungkin bisa melakukan sesuatu. Tapi, tidak mungkin dia berada di dalam 'box' jadi sepertinya kemungkinan itu tidak bisa dipilih."
Distributor 'box'?
Aku hampir bertanya tentang dia--dan terhenti.
Aku tidak ingat dengan "*" Yang seharusnya pernah kutemui dan aku tidak mau mengingatnya.
"...Jadi, sebelum kita bisa menemukan si pelaku, tidak akan ada kemajuan, 'kan?"
"Oh? Tidak ada kemajuan, kau bilang!? Jadi, kau mau bilang kalau semua yang kita bicarakan ini tidak ada artinya, sia-sia, dan hanya menghabiskan waktu saja? Berani juga kau."
"Ti-tidak! Itu cuma perumpamaan..."
"Hmph, jadi ada kemungkinan kalau kau bisa menyelesaikan masalah yang tidak dapat kupecahkan dengan pengetahuan dan keberanianmu? Aku yakin kau tidak mengatakannya tanpa mempunyai ide di dalam kepalamu, bukan?"
"Ugh..."
Aku mengernyitkan dahiku. Tentu saja aku tidak punya ide.
"Jika aku tahu caranya, tidak mungkin aku tidak dapat menemukannya. Tapi, ya... tidak seperti yang lainnya, kematian si 'pemilik' tidak akan diampuni di dalam 'Rejecting Classroom'. Contohnya, aku telah mati berulang kali di dalam 'Rejecting Classroom', tapi aku masih di sini dan tidak kehilangan 'box'-ku."
"Tapi si 'pemilik'-nya berbeda?"
"Ya, benar. Si 'pemilik' dan 'box'-nya saling terhubung satu dengan yang lainnya. Saat si 'pemilik' mati, maka 'Rejecting Classroom' akan hancur. Itu sudah pasti, karena aku sudah pernah melihatnya di beberapa kejadian yang mirip. 'Box'nya akan hancur di saat si 'pemilik' mati, dan karakteristik dari 'Rejecting Classroom' akan hilang, sehingga waktu tidak akan terulang kembali."
"Jadi, dia akan tetap mati?"
"Benar."
"Jadi aku bisa bilang kalau aku bukanlah si 'pemilik', selain itu, kau juga bukan."
"Ya, itu benar."
Jadi, Mogi-san juga bukan, karena dia juga pernah mengalami kecelakaan.
"Hey, beberapa teman sekelas kita juga sudah menghilang kan? Apakah ini tidak ada hubungannya dengan kematian?"
"...Aku tidak yakin, tapi seharusnya itu tidak ada hubungannya. Aku tidak tahu tujuan sebenarnya dari si 'pemilik', tapi ini sepertinya salah satu karakteristik dari 'Rejecting Classroom'."
--Tunggu!
Aku tiba-tiba sadar. Sebuah cara yang mudah untuk mengetahui pelakunya.
Di saat yang sama, Aku menjadi pusing. Apa yang kupikirkan? Cara itu terlalu keji, tapi--
--Aya Otonashi. Dia pasti bisa melakukannya.
Aku tidak boleh memberitahunya. Tapi kenapa Otonashi-san tidak menyadari cara ini? Tidak mungkin dia tidak menyadarinya. Apa artinya ini--?
"Hoshino."
Jantungku berdetak keras ketika dia memanggilku.
"Apa yang kau pikirkan? Kau tidak sedang memikirkan suatu cara untuk menemukan si 'pemilik'--"
Jantungku berdetak lebih keras lagi.
"--Jadi kau tahu caranya, Hoshino?"
"Ah, tidak--"
"Percuma menyembunyikannya. Kaupikir, berapa lama waktu yang kuhabiskan bersamamu? Aku mengejarmu jauh lebih lama dibandingkan dengan siapapun di dunia ini. Meski aku tidak mau, tetap saja..."
Aku sadar akan hal itu. Siapapun akan menyadarinya kalau aku mencoba menyembunyikan sesuatu.
"——"
Tapi aku tidak mungkin memberitahunya.
"Hoshino, seharusnya kau tahu kalau aku bukanlah orang yang sabar."
Dia bukanlah orang yang bisa tertipu dengan kebohongan seperti itu. Bahkan jika aku menghindari pertanyaannya, cepat atau lambat aku pasti akan memberitahunya.
Tapi tetap saja--
"Hoshino!!"
Otonashi-san menarik kerahku. Ah, sakit. Dia serius. Yah, tentu saja dia serius. Lagi pula dia sudah bersabar lebih dari 20.000 kali hanya untuk mendapatkan 'box'-nya.
"Beri tahu aku!! Beri tahu caranya padaku!!"
Aku pasti akan menyesal kalau aku memberitahunya. Tapi, apa aku masih bisa diam di dalam situasi seperti ini?
"...Kau hanya perlu membunuh semua teman sekelas kita."
Akhirnya aku memberitahunya.
Itu mudah. Jika kau bisa mengeluarkan setiap orang yang pernah mati setidaknya sekali dari daftar tersangka, maka kau hanya perlu melakukannya. Kau hanya perlu membunuh mereka. Itu agak mudah dan kejam.
Tapi, toh orang yang mati akan hidup kembali.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku tidak akan pernah melakukan hal itu, tapi aku yakin, Otonashi-san pasti dapat melakukannya.
Lagi pula, dia menciptakan mayat untuk mempertahankan ingatannya.
Tapi, apakah ide ini benar-benar tak terpikir olehnya? Kenapa dia tidak berpikir kalau selain sebagai alat untuk mempertahankan ingatan, dia juga bisa menggunakan cara itu untuk mencari pelakunya? Dan andaikan dia memang sudah mengetahuinya, kenapa dia tidak menjalankan cara efektif itu di mana dia hanya perlu mengulangi cara itu sekitar 40 kali saja?
Otonashi-san tidak menjawab.
Dia tidak menunjukkan reaksi apapun.
Aku perlahan-lahan melihat ke arah wajahnya.
Otonashi-san masih memegang kerahku. Dia melihat ke arahku tanpa berkedip.
"Itu--"
Otonashi-san perlahan-lahan melepaskan tangannya dari kerahku.
"Itu--bukanlah sebuah cara."
"Eh...?"
"Itu sama saja dengan melakukan percobaan terhadap manusia hidup. Tentu saja itu cara terbaik untuk mengetahui bagaimana manusia bisa bergerak. Tapi—itu seharusnya tidak dianggap sebagai cara sejak awal."
Otonashi-san mengatakannya dengan suara pelan tanpa menoleh sedikit pun.
"Kau mau tahu kenapa? Karena hal seperti itu tidak manusiawi. Begitu seseorang melakukannya, dia bukan manusia lagi... Ya, aku memang sebuah 'box' itu sendiri. Apa karena itu kau—"
Kemarahan yang tidak terbantahkan terlihat dari mata Otonashi-san.
"—tidak menganggapku sebagai seorang manusia!?"
Ah, tentu saja. Jika dia mengartikan kata-kataku seperti itu, maka wajar saja kalau dia marah. Aku sadar kalau aku ceroboh.
Tapi aku tak mengerti.
"Bukankah kau membunuh orang untuk mempertahankan ingatanmu?"
"...Apa maksudmu!?"
Otonashi-san terlihat kesal terhadap kata-kataku dan memandangku dengan pandangan yang tajam.
"..Se-seperti yang kubilang, kau membuat kejadian yang akan meninggalkan kesan untuk mempertahankan ingatanmu, kan?"
"Berhenti menghinaku--!! Bukankah aku baru saja bilang kalau aku bisa melawan 'Rejecting Classroom" karena aku adalah 'box'?"
Ah, benar juga. Anggapan kalo dia menciptakan mayat ada teori tak bedasar Daiya.
Meski begitu, aku masih tetap tidak mengerti.
"Apa-apaan wajahmu itu? Jika ada yang ingin kau katakan, bicaralah!!"
Otonashi-san menarik kerahku lagi.
Aku membalas matanya yang melotot ke arahku dengan melotot ke arahnya.
Ahh... Aku belum siap. Aku sama sekali tidak memikirkan untuk apa aku melotot ke arahnya, yang mana itu bukanlah diriku yang biasanya.
Aku benar-benar berada di bawah kendalinya. Hanya karena aku sadar akan hal itu, aku melawannya.
Tapi aku mengatakan sesuatu yang akhirnya menghancurkan hubungan kami,
"LALU KENAPA KAU MEMBUNUHKU!!?"
dan tidak ada lagi pembicaraan di antara kami.

?

Kata-kata tersebut menghancurkan hubungan kami.
Otonashi-san tidak berbicara dan berekspresi sedikitpun di hadapanku. Berada bersama Otonashi-san yang seperti itu, kku tidak bisa melakukan apa pun, dan tidak ada pilihan selain meninggalkan hotelnya.
Aku berkeliling di sekitar hotel, tapi itu hanyalah kesegaran belaka. Aku hanya menghabiskan waktuku tanpa tujuan. Aku melihat ke arah motor 'pinjaman' yang kami kendarai tadi dan pergi menjauh. Aku pergi ke minimarket, membeli teh botol, dan meminumnya sedikit demi sedikit hingga habis. Aku menyadari kalau aku hampir tidak bisa mengingat rasa teh yang barusan kuminum.
Mungkin ini adalah akhirnya.
Tidak seperti Otonashi-san, aku tidak yakin apakah aku bisa mempertahankan ingatan ini. Jika dia menganggapku tidak penting, aku mungkin akan melupakan segalanya sebelum kusadari dan pada akhirnya aku akan menghilang seperti yang lainnya.
Di jalanan tidak ada suara, dan tidak ada lampu jalan. Warna pun tidak ada.
Seolah-olah si pembuatnya terlalu malas mengerjakannya sedetail mungkin.
Aku menaruh botol yang sudah kosong tadi ke mulutku, Aku merasa seperti ditelan kalau aku tidak berlaku seperti orang yang sedang minum. Ditelan oleh siapa? Aku tidak tahu.
Tiba-tiba terdengar suara musik yang sering kudengar di jalanan yang sepi ini. Apa?...Ah, Aku tahu. Itu suara HP-ku yang berdering... Hp? Jadi ada seseorang yang meneleponku? Benar. Benar! Aku tidak ingat telah memberitahu nomorku kepada Otonashi-san. Tapi mungkin aku pernah memberikannya!
Aku mengeluarkan HP dari kantong seragamku.
Nama yang muncul di layar adalah <<Kokone Kirino>>
Aku melihat ke langit. Tidak mungkin semuanya berjalan lancar! Aku tahu itu, tapi boleh saja aku mengharapkannya, kan?
Aku menarik napas dan menerima teleponnya.
<<Ahh, hello...Kazu-kun>>
Aku tidak merasakan semangat yang biasanya terdengar di suaranya, mungkin itu hanya pikiranku saja. Atau mungkin Kokone selalu seperti ini saat menelepon? Kami mungkin memang dekat, tapi Aku hampir tidak pernah berbicara lewat telepon dengannya sebelumnya.
<<Ah, err-->>
Aku merasa sepertinya Aku sudah mengetahui pembicaraan ini.
Ah, tidak, Aku pasti sudah tahu. Aku hanya tidak bisa mengingatnya sekarang.
<<Apa kau bisa bertemu denganku sebentar? Aku akan memberitahumu tempatnya>>
Apa yah?... Bagaimana pembicaraan ini berlanjut yah?
<<Ada yang ingin kukatakan padamu, Kazu-kun>>

Ke-3,087 kali[edit]

Aku suka sekali umaibo, tapi aku tidak terlalu menyukai umaibo yang rasanya teriyaki burger.
Aku berada di taman yang berada di depan rumahnya. Kami saling berhadapan di depan air mancur saat Aku sedang mengunyah umaibo yang kudapat darinya.
"...Bagaimana?"
"..Mm, err, ini bukan rasa yang kubenci, tapi..."
"..Aku tidak bertanya tentang... umaibonya."
Aku tahu itu. Tapi, bagaimana aku harus menjawabnya?
"...Jadi, apakah kau mau pacaran denganku?"
Aku tidak bisa tenang di situasi seperti ini.
Tapi, teman sekelasku yang saat ini berada di depanku pun hampir sama gelisahnya denganku. Setidaknya, aku tidak pernah melihatnya seperti itu.
Mungkin itu karena maskara baru yang dia bilang padaku pagi hari ini, tapi matanya terlihat lebih besar dari biasanya. Dan mata itu melihat lurus ke arahku.... Tidak mungkin aku bisa tenang di hadapan pandangan seperti itu.
Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, tapi aku tetap tidak bisa terus diam, jadi aku membuka mulutku.
"Jadi... Apa kau menyukaiku?"
Wajah di hadapanku sangat merah karena tersipu-sipu.
"...Mung..kin."
"Mungkin?"
Tanpa sengaja aku balik bertanya.
"...I-itu agak tak berperasaan kalau kau menanyakan pertanyaan seperti itu. Kau tahu jawabanku, 'kan?...Atau kau mau aku menyatakannya?"
"Ah...!"
Akhirnya aku menyadari betapa tidak sensitifnya aku dan menundukkan kepalaku karena malu.
"Ma...af."
Aku tanpa sadar meminta maaf. Dia melihatku dengan mata menengadah dan bergumam.
"...Aku suka padamu."
Lalu dia mendekat dan menyatakannya lagi di depan wajahku.
"...Aku suka padamu."
Aku mengalihkan pandanganku karena wajahnya yang cantik itu berada tepat di depan wajahku. Jantungku berdetak sangat keras—hanya karena melihatnya seperti itu.
Aku pikir dia itu cantik.
Kepribadiannya cerah dan selalu ada orang di sekitarnya.
Aku juga tahu kalau banyak pria yang menyatakan cinta padanya dan berakhir ditolak olehnya.
Pasti akan menyenangkan berpacaran dengannya.
Tapi—
"Maaf."
Tapi aku menjawabnya seperti itu. Begitu jelasnya sehingga aku sendiri pun terkejut.
Aku tahu apa yang kukatakan barusan itu merugikan. Tapi aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau aku berpacaran dengannya. Ini terlalu tidak nyata.
Harapannya menghilang dari matanya dan segera berganti dengan air mata. Meski aku tahu ini adalah kesalahanku, aku tidak bisa melihat ke arahnya.
Aku tidak bisa mengatakan apa pun. Karena aku yakin aku hanya akan mengatakan maaf saat aku mulai berbicara.
"...Kau agak ragu-ragu, ya, 'kan?"
Aku mengangguk mendengar pertanyaannya.
"...Hey... Kau suka umaibo, 'kan?"
Kata-kata yang tidak ada hubungannya. Aku mengangguk lagi mendengarnya.
"...Ya."
"Rasa apa yang paling kau sukai?"
"Err... mungkin jagung bakar."
Aku tidak tahu kenapa dia menanyakan hal ini. Tapi aku menjawabnya dengan kaku.
"Oh, begitu. U-huh, u-huh..."
Dia mengangguk kembali.
"Ahahaha... jadi, aku gagal."
Kata-kata yang dia ucapkan, aku tidak tahu kenapa, tapi sepertinya aku sudah sering mendengarnya.
"Hey, misalkan aku mendekatimu dengan cara yang berbeda, apakah mungkin kau akan menerimanya?"
Dia berkata demikian sambil melihat ke arahku.
Aku tidak tahu. Mungkin saja aku akan menerimanya. Tidak, itu tidak benar — aku tahu.
Aku pasti akan menolaknya.
Buktinya aku telah memberikan jawaban yang sama berulang kali. Kecuali kondisinya berubah atau dirikulah yang berubah.
Tapi selama hari ini masih 'hari ini', aku tidak bisa membayangkan kalau aku pacaran dengannya. Jadi, selama hari ini masih 'hari ini', tidak mungkin aku menerima pernyataan cintanya.
"Wajahmu mengatakan kalau kau tidak tahu."
Aku tidak bisa menjawab apa pun.
Tapi dia menganggapnya sebagai 'ya' dan akhirnya tersenyum.
"Ahh, baiklah. Jadi aku hanya perlu terus menyatakan cinta hingga berhasil, 'kan?"
Itu mungkin ide yang bagus. Dengan begitu aku bisa sedikit bertanggung jawab karena menolak perasaannya.
Tapi——tetap saja hal itu baru akan berlaku setelah 'hari ini' berakhir.

Ke-27,754 kali (2)[edit]

Aku benar-benar kehilangan semangat setelah hancurnya hubunganku dengan Otonashi-san dan telepon dari Kokone...yah, itu cuma alasan saja.
Aku benar-benar lupa.
Tentang kecelakaan yang pasti terjadi di suatu persimpangan jalan.
Aku sendiri aman-aman saja. Instingku secara otomatis mengingatnya ketika aku hampir tiba persimpangan itu karena syok yang hebat akibat merasakan mati sekali di sana. Jadi, aku tidak punya masalah dalam memastikan keselamatanku sendiri.
Tapi itu tidak memuaskanku. Soalnya, itu berarti akan ada orang lain yang tertabrak dalam kecelakaan yang tidak bisa dihentikan ini.
Aku telah melupakannya. Karena itu, aku terlambat untuk menyelamatkan orang itu. Meskipun aku tahu kalau orang itu akan tertabrak, aku tidak menghentikannya. 'Karena aku lupa' tidak bisa dihitung sebagai sebuah alasan.
Brengseknya aku. Itu sama saja dengan membunuh orang itu.
Kasumi Mogi ada di sana.
Gadis yang yang kucintai ada di sana.
Truknya melaju ke arahnya dengan kecepatan tinggi seperti biasanya.
Aku tidak bisa menyelamatkannya dari posisiku sekarang. Tidak peduli seberapa jauh aku melompat, aku tidak akan bisa menyelamatkannya dari sini.
Dia akan berlumuran darah lagi. Gadis yang kucintai akan berlumuran darah lagi. Gadis yang kusukai akan berlumuran darah lagi karena diriku sendiri. Gadis yang kusukai akan terus-menerus berlumuran darah karena salahku, karena aku selalu melupakannya, terus menerus.
"U-UAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!!"
Aku berlari ke arah truknya untuk menyelamatkan Mogi-san? Tidak. Tentu saja tidak. Aku hanya tidak tahan dengan perasaan bersalah. Jadi, aku bertindak seperti aku akan melakukan sesuatu. Hanya untuk kepuasan diri.
Brengsek. Betapa brengseknya diriku.
Lalu aku melihatnya.
"Eh...?'
Gadis yang kukira tidak bisa diselamatkan lagi itu terdorong menjauh.
Bukan olehku...
Aku terlalu jauh untuk mencapainya tepat waktu.
Jadi, hanya ada satu orang yang bisa melakukannya.
Hanya gadis yang terus bertarung bahkan ketika aku sudah meninggalkan ingatanku, dan berlagak seperti aku tidak mengenalnya itulah yang bisa melakukannya.
Meskipun dia tidak akan bisa tepat waktu. Tepat waktu untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Meski begitu, dia--
Aya Otonashi melompat.
Ah, benar. Aku ingat.
Aku telah menyaksikan kejadian yang persis sama berulang kali.
Baginya, ini hanya akan terulang kembali. Bahkan kenyataan kalau dia menyelamatkan seseorang juga akan menghilang. Yang tersisa hanyalah ingatan tentang rasa sakit hingga mati. Rasa takut menjelang kematian. Keputusasaan yang mendekat karena mengetahui kalau dia akan terkena hal yang sama. Lagi.
Meski begitu, Aya Otonashi melompat ke depan truk. Untuk menolong orang lain yang akan tertabrak.
Berulang kali. Beribu-ribu kali.
Benar.
Kenapa hanya itu yang kulupakan?
Suara keras dari tabrakan terdengar, tapi truknya tidak berhenti dan terus melaju hingga menabrak tembok dengan suara yang lebih keras lagi. Aku mendekati Otonashi-san sambil terus mendengarkan suara keras itu. Di sampingnya, Mogi-san terbaring kaku dengan posisi yang sama ketika dia didorong tadi. Sepertinya dia merasa syok.
Aku melihat ke arah Otonashi-san.
Kaki kirinya membengkok ke arah yang tidak wajar.
Tubuhnya penuh dengan keringat dingin, tetapi dia tetap berbicara dengan tegas seperti orang yang tidak terluka sama sekali.
"Sebelumnya, aku membunuhmu."
Meskipun seharusnya hanya dengan berbicara saja akan membuatnya kesakitan, dia tetap berbicara dengan jelas.
"Kupikir semuanya akan berakhir dengan membunuh si 'pemilik'. Aku tidak ingin melakukannya. Tapi pada saat itu, aku percaya kalau itulah satu-satunya cara untuk keluar dari 'Rejecting Classroom'. Aku sudah menerima kenyataan kalau aku sudah menjadi makhluk yang lebih rendah dari manusia. Aku tidak mengakuinya, tapi aku sama sekali tidak keberatan melakukannya waktu itu. Kupikir, aib yang kubuat ini akan hilang dan kembali seperti semula setelah keluar dari 'Rejecting Classroom'."
Aku akhirnya mengerti kenapa Otonashi-san berlaku seperti dia telah melupakan semuanya pada saat perkenalan.
Dia tidak bisa mengampuni dirinya sendiri.
Karena telah mengakui kematianku ketika aku mengalami kecelakaan.
Begitu besar rasa bersalahnya hingga dia menyerah untuk keluar dari 'Rejecting Classroom' dan menyerah untuk mendapatkan 'box' yang selama ini dia kejar dengan sabarnya.
<<Lalu, kenapa kau membunuhku!!?>>
Begitu besar sehingga dia tidak bisa membalas perkataanku.
Kejam yah, aku ini?
Bahkan kata-kata itu tidak benar sama sekali.
Terakhir kali, aku melompat untuk menyelamatkan Mogi-san dan mati karena 'kecelakaan'. Aku berpikir kalau itu adalah kesalahan Otonashi-san, seperti saat aku berpikir kalau kematian Mogi-san adalah murni kesalahannya juga.
Tapi karena kesalahpahaman ini, aku mengatakan sesuatu seperti <<kau membunuhku>>. Aku seharusnya menyadari kesalahpahaman ini saat dia mengatakan kalau membunuh bukanlah suatu cara. Kenyataannya dia hanya tidak bisa menyelamatkanku.
Karena suatu alasan, kecelakaan ini selalu terjadi. Seseorang selalu tertabrak. Kebetulan saat itu akulah yang kena.
"Mph, aku hanya bisa menertawakan kebodohanku. Penyesalan tidak akan hilang hanya dengan melupakannya. Dan 'Rejecting Classroom'-nya belum berakhir. Sekarang aku harus mengakui, kalau aku sudah menjadi makhluk yang lebih rendah dari manusia. Aku tidak bisa memikirkan situasi lain yang lebih cocok dengan kata 'pembalasan'."
Sambil berkata seperti itu, Otonashi-san memuntahkan darah.
"Otonashi-san, kau tidak perlu bicara kalau itu menyakitkan..."
"Memangnya ada kesempatan lain untuk berbicara? Aku sudah terbiasa dengan rasa sakit ini. Ini bukan apa-apa. Ini hanya sementara saja, ketimbang rasa sakit karena sedikit demi sedikit digerogoti oleh penyakit."
"Aku tidak kehilangan ingatanku, dan aku tidak bisa keluar dari 'Rejecting Classroom'...Hehehe, aku mungkin sudah mengetahuinya. Kalau aku tidak akan pernah keluar dari 'Rejecting Classroom'."
"...Kenapa?"
"Itu mudah. Aku tahu; kegigihanku tidak akan melepaskanku semudah itu."
Otonashi-san berdiri, terhuyung-huyung, meskipun berbaring baginya lebih baik, tetapi sepertinya dia tidak tahan kalau aku melihatnya dari atas.
Kaki kirinya tidak berfungsi sama sekali. Otonashi-san batuk dan memuntahkan darah lagi. Tapi, dia berdiri dengan bersandarkan tembok dan melihat ke arahku.
Mungkin karena Otoanshi-san bergerak, Mogi-san yang dari tadi kaku ikut bergerak. Dia melihatku dengan ketakutan.
"Apa kau baik-baik saja, Mogi-san?"
"...HIII!!"
Dia tiba-tiba berteriak.
"A-apa yang barusan kalian bicarakan..barusan..? Mmhmh, tidak hanya barusan, sejak kemarin... Kalian sebenarnya apa?"
...Apa? Siapa yang kaupandangi dengan mata seperti itu? Siapa yang kau lihat dengan ketakutan yang terlihat di matamu itu?
...Aku tahu. Mata itu diarahkan kepadaku.
Entah kenapa, Aku tidak bisa membiarkannya dan tanpa sadar menjulurkan tanganku untuk memegang pipinya.
"J-jangan sentuh aku!"
Aah... Kau benar. Apa yang kulakukan? Kenapa aku mencoba menyentuhnya, meskipun akulah yang membuatnya takut? Atau, apakah aku berpikir kalau yang kulakukan barusan akan menenangkannya? Apakah Aku berpikir kalau aku akan bisa menenangkannya?...Tidak mungkin aku bisa.
"...Kau itu... apa?"
Aku mengepalkan tanganku. Aku tidak bisa menjelaskan padanya. Jadi, aku tidak punya pilihan selain menahan pandangannya.
Aku ingin menjelaskan seluruh situasinya, mungkin dia akan mengerti.
Tapi—aku tidak boleh melakukannya.
Karena, aku harus terus bertarung. Bertarung melawan 'Rejecting Classroom'.
Dan, untuk itu, aku harus menolak kehidupan sehari-hari palsu yang diciptakan oleh 'Rejecting Classroom' ini.
Aku sudah membulatkan tekad saat aku meraih tangan Otonashi-san, aku menolaknya. Senyum Mogi-san saat dia mendengar kata-kataku dulu, bagaimana dia tersipi-sipu di depanku, bagaimana dia mengijinkanku untuk tidur di pangkuannya—aku menolak semua itu.
Mogi-san menyerah untuk mencoba mengerti aku dan berdiri sambil tetap ketakutan.
Dia berjalan mundur dengan kaki yang gemetaran sambil melihat ke arah kami seperti berharap agar kami tidak mencoba mengejarnya. Kemudian dia lari.
Aku memandang ke arahnya,
dan aku memastikan kalau aku tidak mengalihkan pandanganku.
Karena ini adalah hasil yang kuinginkan.
"—Sekarang aku mengerti betapa bulatnya tekadmu."
Otonashi-san berkata seperti itu setelah melihat kami. Dia masih bersandar di tembok.
"Karena itu, aku juga akan membulatkan tekadku. Aku akan menyerah untuk mendapatkan 'box'-nya."
"...Eh?"
Ini menyulitkanku. Ini benar-benar menyulitkanku. Aku membutuhkan kekuatannya. Tanpa berpikir lebih lanjut, aku membuka mulutku untuk menghentikannya.
Ketika aku akan melakukannya...
"--Jadi, aku akan membantumu."
"...Eh?"
Aku tidak menyangka.
Membantuku? Aya Otonashi membantuku?
"Kenapa melongo seperti orang idiot? Aku bilang kalau aku akan membantumu. Apa kau tidak bisa mendengarkanku?"
Tapi ini sama mustahilnya dengan matahari terbit di barat dan terbenam di timur.
"Aku kehilangan tujuanku. Seperti yang kaukatakan, aku menjadi makhluk yang lebih rendah dari manusia karena aku membunuhmu. Tidak. Lebih parah lagi, aku adalah pengecut yang telah meninggalkan tujuanku sendiri dan mencoba melarikan diri karena tidak mau mengakuinya. Singkatnya, aku menyerah kepada 'Rejecting Classroom' sekali. Dan aku terus melarikan diri sambil mengatakan kalau 'box' yang sudah kalah sepertiku tidak bisa melakukan apa pun lagi."
Meskipun dia menghina dirinya sendiri, matanya masih tetap tajam. Aku jadi agak tenang.
"Tapi tidak ada alasan bagiku untuk berhenti. Aku memang melakukan sesuatu yang memalukan, tetapi tidak ada alasan bagiku untuk berhenti karena hal itu. Menyesal tidak akan menghasilkan apa pun. Aku tidak akan melarikan diri lagi, jadi--"
Dia menutup mulutnya, ragu untuk melanjutkan kalimatnya,
tapi karena aku hampir mengerutkan dahiku ke arahnya, dia melanjutkan kata-katanya.
"Jadi tolong—maafkan aku."
Aah, Aku mengerti. Jadi inilah yang dimaksud.
Kata-kata aneh itu adalah permintaan maaf padaku.
Kata-kata itu sama sekali tidak berarti.
"Aku tidak bisa memaafkanmu."
Otonashi-san terlihat terkejut sesaat setelah mendengar kata-kataku yang jelas. Tetapi kemudian dia segera kembali ke wajah seriusnya.
"Aku mengerti...membunuh bukanlah sesuatu yang bisa dimaafkan. Aku mengerti."
"Bukan itu."
Otonashi-san heran karena tidak mengerti tentang perkataanku barusan.
"Apa yang kumaksud adalah...aku tidak tahu apa yang harus kumaafkan."
Ya. Aku hanya tidak memaafkannya, tapi aku 'tidak bisa' memaafkannya. Karena memang sejak awal tidak ada yang perlu dimaafkan.
"...Hoshino, apa yang kaukatakan?...Aku..."
"...'Membunuhku', ya, 'kan?"
"...Benar."
"Apa-apaan bualanmu barusan itu?"
Aku tiba-tiba tersenyum.
"Lihat, aku di sini!"
Ya, itu adalah kenyataan.
"Aku di sini, Otonashi-san."
Seberapa besar pun dia merasa bertanggung jawab, itu bukanlah suatu hal yang tidak bisa diperbaiki.
Aku sendiri tidak mengerti kenapa dia merasa sangat bertanggung jawab, padahal dia bukanlah pembuat 'Rejecting Classroom' ini. Otonashi-san cuma terlibat di dalamnya--
—tidak. Itu tidak benar.
Otonashi-san bukan hanya korban saja. Dia adalah pengatur yang sudah mengerti dan bisa membaca semua perilaku kami. Dia tahu bagaimana gelombang di air akan bergerak dengan melemparkan batu di tempat tertentu. Dia adalah pengatur, setidaknya berada dalam posisi yang sama seperti si pembuat 'Rejecting Classroom' itu sendiri.
Tapi karena kekuatan ini, dia merasa bertanggung jawab terhadap semua hal yang terjadi, karena dia berpikir kalau hal-hal buruk bisa dicegah kalau dia bertindak dengan benar.
Meski begitu, ketika dia tidak bisa dan tidak mencegah kematian seseorang, dia merasa seperti dialah yang membunuh orang itu.
Tapi, Otonashi-san sendirilah yang mengatakan, kematian di dalam 'Rejecting Classroom' hanyalah sebuah pertunjukkan.
"Aku tidak begitu peduli, tapi jika kau memaksa untuk meminta maaf, bagaimana kalau kau menjelaskan padaku, apa yang harus aku maafkan darimu?"
Otonashi-san tidak bergerak selama beberapa saat dan terus mengernyitkan dahinya. Ketika kupikir dia mulai bergerak lagi, dia melihat ke bawah.
"Fufu..."
Pundaknya bergetar. Eh? Apa? Apa maksudnya itu? Aku menjadi gugup dan mengintip ke arahnya.
"Hehe..haha..AHAHAHAHAHAHAHA!!!"
--Dia tertawa! Bukan hanya itu, dia tertawa terbahak-bahak!!
"H-hey! kenapa kau tertawa terbahak-bahak? Maaf nih, aku benar-benar tidak mengerti!!"
Otonashi-san tetap tertawa selama beberapa saat, kata-kataku tidak terdengar olehnya.
Geez...apa-apaan ini? Aku sebenarnya yakin kalau aku telah mengatakan sesuatu yang 'keren', tapi pada akhirnya sepertinya kata-kataku hanya menjadi bahan tertawaan.
Otonashi-san akhirnya berhenti tertawa, kembali ke ekspresinya yang percaya diri dan kemudian berbicara kepadaku.
"Aku sudah mengalami 27.754 kali 'pindah sekolah'."
"...Aku tahu itu."
"Aku yakin kalau aku sudah mengetahui pola kebiasaanmu sepenuhnya. Tapi aku sama sekali tidak menyangka, aku benar-benar tidak bisa menebak pernyataanmu barusan. Apa kau bisa membayangkan, betapa menariknya hal ini untuk orang yang sudah terbiasa dengan kebosanan?"
Dia berkata begitu, dan terlihat senang. Aku masih tidak bisa menangkap maksud sebenarnya dari perkataannya barusan dan memiringkan kepalaku.
"Hoshino, kau benar-benar menarik. Kau adalah manusia yang belum pernah kutemui sebelumnya. Jika melihat sekilas, kau hanya seperti orang biasa yang tidak bernilai, tapi sebenarnya tidak ada seorang pun yang lebih melekat pada kehidupan sehari-hari dibandingkan denganmu. Karena alasan inilah, kau bisa membedakan kehidupan sehari-hari yang asli dengan yang palsu ini. Bahkan lebih baik dibandingkan aku."
Lebih baik dibanding dengan Otonashi-san?
"Itu tidak benar. Aku sama sekali tidak bisa membedakannya dengan jelas. Contohnya, hatiku masih sakit ketika kejadiannya terjadi, meski aku tahu kalau itu akan terulang lagi..."
"Tentu saja, hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan membedakan. Contohnya, ketika kau menonton film atau membaca buku, kau merasa tidak nyaman ketika tokohnya mengalami sesuatu yang buruk, kan? Ini sama saja."
Apakah benar seperti itu?
"---Hoshino."
"Apa?"
"Maafkan aku."
Itu terlalu tiba-tiba, Aku tidak mengerti kenapa dia meminta maaf. Sebelum kusadari, kesenangannya sudah menghilang dari wajahnya.
"Aku sungguh malu akan ketidakmampuanku, maafkan aku."
"Ti-tidak apa-apa..."
Aku merasa tidak nyaman jika orang yang jelas-jelas lebih superior dariku sungguh-sungguh meminta maaf dengan tulus kepadaku. Aku tergagap seperti sedang dikritik olehnya. Harus kuakui kalau aku memang benar-benar payah.
"Itu hanyalah permintaan maafku, tapi apa kau benar-benar yakin kalau itu cukup? Aku hanya perlu mengerti dan mengarahkanmu. Itukah yang kau mau dariku?"
"I-iya..."
"Minta maaf, yah? Itu memang perlu, tapi sepertinya sudah bertahun-tahun aku tidak melakukannya."
...Aku yakin kalau dia benar-benar tidak melakukan hal itu.
"Baiklah, ini sudah waktunya,"
"Waktu?"
"Akhir dari 'pindah sekolah' ke 27.754 dan awal dari 'pindah sekolah' ke 27.755."
"Aah, aku mengerti."
Aku menerima kenyataan itu dengan begitu tenangnya.
Begitu aku melihat sekeliling, tentunya orang-orang sudah berkerumun karena kecelakaan besar ini. Beberapa di antara mereka ada yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengan sekolahku. Kokone ada di antara mereka dan melihat ke arah kami. Kami telah berbicara sambil mengabaikan mereka semua. Yah, aku mengerti kenapa Mogi-san ketakutan. Kejadian Otonashi-san yang berlumuran darah dan aku malah bercakap-cakap dengannya saja sudah aneh.
Aku mengulurkan tanganku ke arah Otonashi-san.
Dia meraih tanganku, yang telah ditolak oleh seseorang tanpa ragu.

Tubuhku hancur oleh tenaga luar biasa besar hingga tubuhku tergencet. Langitnya mulai menutup seperti sebuah dompet. Meski tertutup, dunianya berubah menjadi putih. Putih. Putih. Tanahnya menjadi tidak stabil dan entah kenapa terasa manis--bukan di lidah, melainkan di kulit. Rasanya tidak terlalu buruk, tapi pada saat yang sama, terasa menjijikkan. Akhirnya aku mengerti. Inilah tanda berakhirnya pengulangan ke 27.754.
Kami berada di dalam keputusasaan yang lembut, manis, dan juga putih bersih.

Ke-0 kali[edit]

Aku tidak menyangka kata-kata 'cinta mengubah dunia' bukan hanya sebuah metafora saja sampai aku berumur enam belas tahun.
Sudah berapa kali aku berpikir kalau hidup itu terlalu membosankan dengan pengulangan-pengulangan kebiasaan yang juga berulang kali? Aku yakin sudah berkali-kali aku berusaha mengakhirinya. Kurasa, jika dihitung dengan jari tangan, bahkan setelah dijumlahkan dengan jari kaki sekalipun masih belum cukup.
Aku sungguh bosan.
Tapi, aku tidak pernah mengatakannya dan selalu berperilaku ceria. Soalnya, tidak ada untungnya meski kau menunjukkan sikap negatif seperti itu kepada orang lain. Karena itulah aku berusaha menjaga hubungan agar tetap baik dengan semua orang yang ternyata tidak begitu sulit. Jika kau tidak terlalu memikirkan tentang kelebihan dan kelemahan atau suka dan tidak suka, kau bisa akrab dengan siapa saja.
Cukup banyak orang yang berkumpul di sekelilingku dan mereka semua berkata yang sama kepadaku.
"Kau selalu ceria. Kau benar-benar tidak punya kecemasan sama sekali, ya, 'kan?"
Ah, benar. Terima kasih semuanya karena sudah tertipu mentah-mentah. Sungguh terima kasih karena tidak menyadari sisi burukku sampai sekarang. Karena itulah akhirnya aku ingin membuang itu semua.
Aku mungkin tahu suatu hal di waktu kebosanan ini bermula.
Setiap dan semua orang hanya terlalu mementingkan diri sendiri.
Ketika aku bertukar alamat e-mail dengan beberapa anak laki-laki dan membalas pesannya secara berkala, dia sangat senang dengan sendirinya dan menembakku. Ketika aku mencoba untuk tidak menjauhi seorang laki-laki yang tidak terlalu diterima oleh para gadis, dia malah mengira aku menyukainya sehinnga dia menembakku. Ketika aku diajak seseorang ke bioskop dan aku menerimanya karena sulit menolaknya, dia menembakku. Ketika aku pulang bersama seseorang beberapa kali karena kebetulan kami tempat tinggal kami di arah yang sama, dia menembakku.
Dan mereka semua lalu membuat wajah seperti aku sudah mengkhianati mereka, padahal itu adalah kesalahn mereka sendiri, dan menjelek-jelekkanku. Aku juga dijelek-jelekkan gadis-gadis yang menyukai mereka. Hanya peduli pada diri sendiri. Mementingkan diri sendiri. Itu menyakitiku setiap kali, sehingga aku menjadi penuh dengan luka, dan ketika aku bahkan tidak lagi menyadari luka baru ketika disakiti, akhirnya aku sadar.
Aku hanya cukup untuk berhubungan dengan setiap dan semua orang setengah hati di waktu luangku. Aku cukup membaca suasana hati mereka dan bercakap-cakap dengan setengah hati. Aku tidak perlu menunjukkan apa yang ada di dalam diriku kepada mereka. Aku hanya perlu untuk menutup diri seperti cangkang untuk melindungi kelembutan di dalam diriku.
Dan kemudian aku bosan.
Tidak ada satu pun yang menyadari bahkan ketika aku hanya memperlihatkan bagian terluarku.
Mereka semua berkata yang sama kepadaku.
"Kau selalu ceria. Kau benar-benar tidak punya kecemasan sama sekali, ya 'kan?"
Benar-benar sukses yang luar biasa.
Kalian semua seharusnya menghilang saja.

Saat itu cuma hari yang biasa setelah sekolah. Aku tersenyum seperti biasa sambil bercakap-cakap dengan orang-orang asing di sekitarku yang berpura-pura ingin menjadi teman. Lalu, tiba-tiba saja, tanpa ada tanda-tanda...
Aku diterjang oleh suatu konsep yang tiba-tiba memperoleh bentuk, dan membuatku memikirkan tentang suatu kata.
«Kesendirian»
Aah, aku benar-benar -- sendiri.
Sendiri. Benar,jadi aku sendirian. Meski dikelilingi oleh semua orang, aku sendirian. Anehnya, aku merasa nyaman. Kata ini sangat pas sekali.
Tapi segera saja kata ini menajamkan taringnya dan menyerangku. Itulah pertama kalinya aku menyadari kalau kepedihan datang bersama dengan kesendirian. Dadaku sesak, aku tidak bisa bernapas. Dan bahkan ketika aku akhirnya bisa mengambil napas, rasanya udara seperti dipenuhi oleh jarum-jarum. Rasa sakit menjalar di paru-paruku. Penglihatanku menjadi hitam untuk sesaat dan aku merasa hidupku segera berakhir. Tetapi, penglihatanku segera kembali dan hidupku pun tidak berakhir semudah itu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak tahu. Tolong Aku. Seseorang, tolong aku.
"Ada apa?"
Seseorang menyadari perubahanku dan berbicara padaku.
"Kau terlihat sangat bahagia tersenyum seperti itu."
Eh?
Aku tersenyum--?
Aku menyentuh pipiku karena aku tidak mengerti perkataannya.
Memang, ujung bibirku terangkat.

"Ampun deh, kau benar-benar selalu ceria. Kau tidak pernah punya masalah, ya, 'kan?"
Aku tertawa. "Yeah, aku bahagia!" Aku tertawa. Aku tertawa bahkan tanpa mengetahui alasannya.
Saat itu, warna orang-orang yang berada di sekitar beralih menjadi transparan. Satu per satu mereka menjadi transparan. Menjadi transparan dan menghilang, jadi aku tidak bisa melihat mereka lagi. Beberapa suara berbicara padaku, tapi aku tidak dapat mendengar mereka. Tapi entah kenapa aku bisa menjawabnya dengan baik. Aku tidak mengerti.
Tanpa sadar, ruang kelas sudah kosong. Hanya aku sendirian.
Tapi aku yakin akulah yang membuatnya seperti itu.
Aku menolak mereka.
"Aku punya urusan, jadi aku akan pergi sekarang."
Meskipun aku tidak bisa melihat siapapun, aku berkata dengan senyuman dan mengambil tasku. Hubunganku dengan yang lainnya mungkin bisa terjalin meskipun aku tidak berbicara pada siapapun secara spesifik. Seharusnya aku berbicara dengan tembok saja sejak awal kalau seperti itu yang terjadi.

Lalu, kenapa?
"...Permisi, apa kau baik-baik saja?"
Meski seharusnya tidak ada seorang pun di sini, aku bisa mendengar kata-kata itu dengan jelas untuk suatu alasan. Aku baru saja meninggalkan gerbang sekolah ketika aku dengan cepat tersadar dan yang sebelumnya tidak terlihat berubah kembali seperti semula.
Seorang laki-laki dari kelasku berdiri di sana kehabisan napas ketika aku berbalik. Sepertinya, dia mengejarku.
Namanya pasti Kazuki Hoshino. Hubungan kami tidak dekat. Dia juga tidak kuanggap sebagai seseorang yang spesial - aku hanya tahu namanya.
"Apa maksudmu?"
Saat aku bertanya, aku menyadari ekspektasi aneh membalutiku.
Lagi pula, dia tidak akan bertanya apakah aku «baik-baik saja», kalau dia tidak menyadari keanehanku. Mungkin artinya dia sudah bisa menyadari perubahanku, sesuatu yang bahkan tidak dapat disadari oleh orang-orang yang berada di dekatku.
"Err... Bagaimana mengatakannya, yah? Kau terlihat sangat «jauh»... atau tidak, aku tidak yakin, tapi sepertinya kau bukan bagian dari kehidupan sehari-hari..."
Dia mengatakannya dengan kesulitan. Dia tidak jelas sama sekali.
"Err... anggap kata-kataku tadi angin lalu kalo aku cuma memikirkannya terlalu dalam. Maaf sudah mengatakan hal yang aneh."
Sepertinya dia terlihat tidak nyaman dan akan pergi.
"...Tunggu sebentar."
Aku memegangnya kembali. Dia menolehkan kepalanya sedikit dan melihatku.
"E-err..."
Aku mungkin sudah menghentikannya, tapi apa yang harus kukatakan sekarang?
Tapi, hei--dia bisa mendeskripsikan aku dengan «jauh», meski aku tersenyum ketika berada di ruang kelas yang sangat sepi ini.
"...Apa aku selalu terlihat ceria?"
Kalau dia menjawab seperti ini seperti yang lain, berarti dia sama saja.
Ah, aku punya harapan besar kepadanya. Aku punya harapan besar kalau dia bisa menyangkalnya dan benar-benar mengerti aku.
"Yeah. Well, ...kau terlihat seperti itu, sih."
Dia agak sulit mengatakannya.
Aku kecewa setelah mendengarkan kata-kata itu, lalu aku kehilangan ketertarikanku dan mulai membencinya. Aku terkejut dengan perasaanku yang seperti pendulum yang tiba-tiba berbalik arah, tapi mungkin harapanku memang terlalu tinggi.
Tapi kemudian, dia, yang kubenci, menambahkan kata-kata tersebut.
"Kau benar-benar berusaha keras, 'kan?"
Perasaanku bergetar lagi seperti pendulum dan kebencianku terbalik semua. Wajahku tidak bisa mengikuti perubahan itu - hanya saja hatiku terasa hangat.
Berusaha keras. Berusaha keras untuk terlihat ceria.
Itu benar. Lebih benar dibanding mengindahkannya.
Kemudian aku–jatuh cinta.


Aku tahu kalau aku hanya berasumsi begitu hanya agar sesuai dengan yang kuinginkan. Hanya karena dia mengatakan bahwa aku berusaha keras untuk terlihat ceria bukan berarti dia mengerti sepenuhnya tentang diriku. Aku tahu itu. Tapi tetap saja - asumsi diriku ini tidak bisa lepas dari pikiranku lagi.
Awalnya, kupikir perasaan ini cuma sementara saja. Tetapi perasaan ini lama-lama tumbuh sampai ke tingkat di mana hal itu tidak bisa lagi dihentikan. Perasaanku padanya makin menumpuk, seperti salju yang tidak mudah cair sampai saljunya menutup hatiku sepenuhnya. Meskipun tahu kalau dia mungkin akan menjadi segalanya bagiku kalau seperti itu terus, entah kenapa rasanya tidak terlalu buruk.
Lagi pula Kazuki Hoshino menyelamatkan aku dari ruang kelas yang luar biasa sepi itu dan menghancurkan kebosananku.
Kalau dia menghilang dari hatiku, aku yakin Aku pasti kembali ke sana.
Aku pasti kembali ke ruang kelas yang sangat sepi itu ketika aku masih sendirian saja.
Duniaku berubah dengan mudahnya. Bahwa aku pernah merasa bosan terasa seperti cuma kebohongan belaka. Rasanya, perasaanku sudah terpasang ke amplifier yang kuat. Aku merasa bahagia hanya menyapanya. Di saat yang sama, aku merasa sedih aku hanya bisa menyapanya. Aku merasa senang berbicara padanya. Aku merasa sedih karena aku hanya bisa berbicara sedikit dengannya. Hatiku terasa gelisah dan agak hancur, tapi entah kenapa aku merasa puas.
Yeah! Aku pasti bisa berhubungan baik bersamamu!
Pertama, aku ingin kita mulai saling memanggil satu sama lain dengan nama depan kita.

----------------------------......

"Apa kau punya sebuah permohonan?"
Dia seperti ada di mana saja, tapi dia tidak ada di mana pun. Dia terlihat mirip dengan semua orang, tapi dia tidak mirip dengan siapapun. Dia, yang saat ini berbicara denganku, bahkan tidak bisa kubedakan jenis kelaminnya.
Permohonan?
Tentu saja aku punya.
"Ini adalah sebuah 'box' yang dapat mengabulkan permohonan apa pun."
Aku menerimanya dengan tanganku yang penuh darah.
Kemudian aku mengerti kalau benda ini benar-benar asli. Karena itu, aku meyakinkan diriku sendiri untuk tidak melepaskan 'box' ini.
Ini sama saja dengan semua orang, bukan? Aku tidak percaya kalau ada seseorang yang menolaknya.
Jadi aku memohon.
Meski tahu hal itu tidak mungkin, aku memohon.
"--Aku tidak ingin—menyesal."

Ke-27755 kali (1)[edit]

“Ayolah, tidak adakah yang berbeda dariku hari ini? Tidak ada?”
Kokone berjalan ke arahku terlihat sama seperti biasa. Dia sudah menanyakan pertanyaan itu pada suatu waktu di masa lalu. Apa ya jawaban yang benar?
“...kau menggunakan maskara.”
“Ooh! Kuacungi jempol, Kazu-kun!”
Sepertinya aku benar.
“...jadi, bagaimana menurutmu?”
“Yah, kau kelihatan manis,” aku mengatakan tanpa ragu. Dan sekali lagi, jawaban yang benar. Aku tidak benar-benar serius, tapi Kokone puas setelah mendengar kata ‘manis’ dan mengangguk sambil tersenyum.
“Mhm, mhm. Bagus, kau punya prospek yang bagus. Hey, kau – orang dengan kepribadian munafik! Kau seharusnya mengikuti contoh yang ditunjukannya.”
Dia melipat tangannya penuh kepuasan dan menoleh pada Daiya.
“Aku lebih suka menggigit lidah daripada mengatakan hal itu.”
“Ah, seluruh dunia akan mendesah lega. Silahkan lakukan.”
“Tidak, bukan lidahku – yang kumaksud adalah lidahmu.”
“Haha! Jadi kau ingin berciuman mesra denganku? Tolong jangan terbawa ketertarikanmu padaku~”
Tanpa menyadari keadaanku, mereka berdua mulai saling mengejek dengan kecepatan cahaya seperti biasa.
Beberapa saat sesudahnya, Daiya membicarakan hal tentang murid pindahan.
Ayolah cepat datang, Otonashi-san.



“Aku Aya Otonashi. Aku tidak tertarik kepada siapapun selain Kazuki dan si ‘pemilik’.”
Ruang kelas menjadi ribut pada saat ini.
Umm, Otonashi-san? Kau itu murid pindahan, tentu, kau bisa membuat jarak dengan teman sekelasmu di hari pertama. Tapi aku sudah ada di kelas ini selama hampir setahun, jadi hal itu tidak akan bekerja bagiku, kau tahu kan?
“Apa yang dia maksud engan ‘pemilik’? Siapa yang dimiliki? Apakah yang dimaksudnya ‘orang yang memiliki Hoshino’?”
“Bukannya itu <<pacar>> nya?”
“Kalau begitu Kazuki-kun punya seorang <<pacar>> dan si murid pindahan Otonashi-san mencarinya? Kenapa?”
“Kurasa ada sesuatu hal antara dia dan Otonashi-san. Mungkin mereka berpacaran... jadi dia berpacaran dengan keduanya?!”
“Tepat! Pasti begitu! Versi ini lebih lucu, jadi yang ini saja!”
“Jadi sambil memiliki perasaan yang rumit antara cinta dan benci pada Hoshino, dia mengejarnya dan pindah ke sekolah kita. Aku yakin begitu.”
“Itu artinya Hoshino sudah... memikat hati gadis secantik dia?! Sialan!!”
Teman sekelah kami terus meneruskan sesuai keinginan mereka sambil menghiraukan kami berdua, orang yang sebenarnya terlibat. Dari mana mereka bisa berfikiran seperti ini?
“Jadi, Hoshino sebenarnya cuma... mempermainkanku...”
“Apa?! Kau yang satunya?!”
“Tidak... aku mungkin cuma ektra... yang ketiga, tidak, mungkin ada lebih banyak lagi.”
“Ap...si brengsek itu!”
Kokone pura-pura menangis sementara Daiya menggunakan kesempatan ini untuk berteriak dengan cara yang tidak biasanya. Geez, kenapa mereka berdua cuma bisa bekerja saa disaat seperti ini...
“...Merepotkan,” Otonashi-san bergumam. “Karenamu, mereka sekarang menjadi lebih tertarik padaku daripada menghindariku.”
Err... kenapa jadi salahku?



Tepat sesudah jam pelajaran pertama, Otonashi-san dan aku berlari keluar ruang kelas. Meski sebagian dari teman sekelasku secara alami menyemangatiku, aku juga merasakan beberapa pandangan haus darah dari beberapa anak cowok – tapi sekarang tidak ada waktu mengkhawatirkan hal seperti itu.
Kami tiba di tempat biasanya – dibelakang sekolah.
Kami tidak perlu masuk kelas lagi.
“Aku mengerti. Bekerjasama denganmu artinya aku secara otomatis akan terseret pada jaringan hubunganmu. Jeez... itu tidak praktis.”
Tidak, aku cukup yakin kalau masalahnya adalah aa yang kau katakan pada mereka.
“Tapi ini pertama kalinya dalam pengulangan 27.755 kali ini menolak mereka memiliki efek yang negatif. Ini benar-benar menyenangkan!”
“Umm, aku tidak tahu apa kau seharusnya menganggap ini menyenangkan...”
“Jangan seperti itu. Bagiku pun pengalaman baru itu agak menggembirakan. Juga, keadaanya berubah cukup banyak hanya karena kita mulai bekerja sama. Itu perubahan yang menggembirakan.”
“Apa yang kau maksud?”
“Mungkin akan ada petunjuk baru yang dulunya tidak kuperhatikan saat aku sendirian.”
Dari sisi itu, jelas ada artinya bekerja sama, tapi...yah...
Anehnya, dia mungkin memang benar. Lagipula, dia tidak tahu bagaimana kelas 1-6 bekerja sebelum hari ini. Dia tidak bisa membandingkan hari ini dengan hari sebelumnya. Sebagai contoh, dia tidak tahu kalau perasaan cintaku pada Mogi-san berkembang di antara hari ini dan kemarin – dengan kata lain, saat berada dalam ‘Rejecing Classroom’.
“Tapi apa yang harus kita lakukan, secara rinci?”
“...mengenai hal itu, Kazuki. Aku mempertimbangkannya lagi dan sampai pada kesimpulan kalau kau masih merupakan kunci ke ‘Rejecting Classroom’.”
“Eh? Kau masih mencurigaiku?”
“Bukan itu. Biarkan aku bertanya padamu: bagaimana kau bisa mempertahankan ingatanmu?”
“Eh...entah?”
“Itu sebuah misteri kan? Tentu aku bisa merasakan beberapa perbedaan antara dirimu dan yang lain, tapi bukankah masih aneh kalau kau satu-satunya yang bisa mempertahankan ingatanmu?”
“Ya... tentu saja.”
“Karenanya, aku mengira kemampuanmu itu juga dipengaruhi tujuan si ‘pemilik’.”
“E...rr...?”
“Kau lambat seperti biasanya. Dengan kata lain, mungkin itu juga demi kepentingan si ‘pemilik’ yang membuatmu dapat mempertahankan ingatanmu.”
Itu adalah tujuan dari ‘Rejecting Classroom’ yang membuatku tetap memiliki ingatan?
“Itu tidak mungkin. Aku tidak selalu dapat mempertahankan ingatanku, benar kan? Kalau bukan karenamu, aku mungkin akan terus kehilangan ingatanku seperti yang lain.”
“Memang sih, kau bisa mengatakannya sebagai kekurangan dalam hipotesisku. Akan tetapi, mungkin juga kalau kemampuan mempertahankan ingatanmu serusak pembuatan masa lalu oleh dunia ini. Kau bisa menjelaskan kejadian itu kalau kau mempertimbangkan kontradiksi ini: masa lalu tidak bisa sepenuhnya dibuat ulang kalau kau bisa mempertahankan ingatanmu.”
Itu mungkin memang tepat. Tapi untuk suatu alasan itu tidak logis bagiku.
“Dari awal, apa artinya membiarkanku mempertahankan ingatanku?”
“Bagaimana aku tahu?” Dia menjawab dengan terus terang. “Tapi aku tahu perasaan apa yang paling sering menggerakan orang-orang.”
“Apa?”
Otonashi-san menatap dalam ke dalam mataku dan berkata.
“Cinta.”
“...’cinta’...?”
Pandangan menakutkan di wajahnya membuatku tidak bisa segera menghubungkan kata itu dengan arti yang sesungguhnya. Aah, ‘’cinta’’?
“Otonashi-san, kau imut juga.”
Otonashi-san memandangangku dengan pandangan dingin.
“Apa maksudmu? Cinta yang cukup kuat sama sekali tidak berbeda dengan kebencian.”
“Sama dengan kebencian?” Aku terkejut. “...me-mereka benar-benar berbeda!”
“Mereka sama. ...Tidak, mereka ‘’memang’’ berbeda. Cinta adalah perasaan yang lebih buruk dari kebencian karena orang-orang biasanya tidak menyadari kekotorannya. Itu cuma menjijikan.”
Menjijikan, huh...
“Itu bukan masalah sekarang. Kazuki, adakah seseorang yang terpikirkan olehmu?”
“Maksudmu seseorang yang jatuh cinta padaku kan? Tidak mungkin, tidak—“
Aku hampir mengatakan tidak ada yang seperti itu, saat tiba-tiba aku ingat.
Ada satu orang.
Kalau dia tidak bercanda saat dia menyatakannya padaku di telepon—di sini ada satu kandidat.
“Sepertinya kau memikirkan sesorang.”
“......”
“Ada apa?”
“...err, yah. Gadis yang jatuh cinta padaku tidak harus merupakan tersangkanya kan?”
“Tentu saja tidak. Bukti ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan apakah orang itu pelakunya atau bukan. Akan tetapi, tidak ada alasan untuk tidak menyelidiki kemungkinan ini.”
“Tidak... yah... tidak mungkin dia tersangkanya.”
“Apa yang membuatmu sangat yakin kalau dia bukan si ‘pemilik’?”
Aku cuma tidak ingin dia menjadi pelakunya. Aku sadar akan hal itu.
“Kita punya waktu yang tidak terbatas selama kita ada di dalam ‘Rejecting Classroom’ ini. Kita sebaiknya menggunakan setiap kesempatan untuk mendekati si ‘pemilik’.”
“...tapi sejauh ini kau belum sukses menggunakan cara ini kan?”
“Kau agak tidak sopan ya hari ini? Tapi kau benar. Akan tetapi, kita punya petunjuk baru kalau kemampuan mempertahankan ingatanmu adalah bagian dari desain si ‘pemilik’. Aku belum pernah menyelidiki sambil memikirkan hal itu sebelumnya. Kita mungkin akan bisa mendapatkan informasi baru dengan jalan ini.”
“Tapi—“
“Bukankah seharusnya kau semakin ingin membersihkan semua kecurigaan padanya kan kalau dia adalah seseorang yang ingin kau percayai?”
Benar. Kata-katanya tepat sekali.
Aku pasti juga memiliki keraguan pada orang itu, yang membuatku tidak ingin menyelidikinya.
“......Aku mengerti. Aku akan membantumu.”
“Kau seharusnya tidak hanya membantuku; justru, seharusnya kau yang memimpin.”
Dia benar. Aku lah yang ingin keluar dari ‘Rejecting Classroom’.
...Tetap saja...ada sesuatu menggangguku dengan cukup kuat untuk beberapa saat ini. Ada sesuatu yang tidak cocok.
“Baiklah, ayo berangkat.”
“Tu-tunggu sebentar.”
“Kenapa kau ragu-ragu?! Kesabaranku mulai menipis tahu!”
Apa yang menggangguku adal— ah, aku mengerti.
Saat aku mengenali asal dari perasaan aneh ini, telingaku mulai terasa memanas.
“Mh? Ada apa, Kazuki? Wajahmu merah.”
“Ah, tidak, cuma, kau—“
Kenapa dia mulai memanggilku <<Kazuki>> bukan <<Hoshino>>?
“Apa? Apa yang sedang kau bicarakan? ...Hey, kenapa wajahmu menjadi semakin merah?”
“...Ma-maaf. Lupakan.”
Kapan dia mulai memanggilku dengan nama depan? Bahkan orangtuaku tidak memanggilku seperti itu.
Kurasa wajahku menjadi semakin merah sekarang.
“...? ...Baiklah, kurasa? Bagaimanapun, ayo segera berangkat.”
<<Otonashi-san>> berbalik memunggungiku dan mulai berjalan.
“Y-Yeah...”
Apakah aku juga sebaiknya membalas dengan memanggilnya selain dengan <<Otonashi-san>>? Kalau aku mengikuti contohnya, aku harus memanggilnya... <<Aya>>?
...Tidakdtidaktidak! Aku tidak bisa! Aku tidak bisa! Itu jelas tidak boleh!!
Setidaknya menjadi <<Aya-san>>... tidak, itu masih tidak bisa diterima. Tapi <<Otonashi-san>> terlalu kaku. Aku sebaiknya menggunakan sesuatu yang mudah diucapkan dan sedikit lebih kasual.
“Ah...”
Ada satu kemungkinan yang muncul dalam pikiran. Itu juga agak memalukan untuk diucapkan, tapi karena aku sudah menggunakan nama itu beberapa kali, seharusnya bisa.
“......Maria.”
Saat aku menggumamkan nama ini dengan lirih, <<Otonashi-san>> berhenti dan berbalik. Matanya terbelalak.
“Uwa! Ma-Maaf!!” Aku meminta maaf secara secara insting sesudah melihat reaksi tajamnya yang tidak terduga.
“...Kenapa kau meminta maaf? Kau cuma sedikit membuatku terkejut.”
“...Jadi kau tidak marah?”
“Kenapa aku harus marah? Panggil aku sesukamu.”
“Ba, baiklah...”
Otonashi-san... tidak, mulut ‘Maria’ mengendur.
“Tapi tetap saja, kau memilih Maria dari semuanya... Heh.”
“Ah, yah... kalau kau tidak menyukainya...”
“Aku tidak peduli. Aku cuma meyakinkanku sekali lagi.”
“Err... apa yang kau yakinkan?”
Untuk suatu alasan, Maria tersenyum lembut.
“Kalau kau, Kazuki, adalah orang yang menarik.”



Aku menggeledah sesuatu.
Kami sudah kembali ke ruang kelas, dan sekarang aku menggeledah barang bawaan gadis yang sepertinya tertarik padaku.
Tentu saja aku melakukannya bukan karena aku ingin, dan aku juga merasa sangat rapuh.
Kelasnya saat ini sedang dalam pelajaran olahraga. Maria memutuskan kalau daripada berbicara langsung padanya, kami sebaiknya menggunakan kesempatan ini untuk mencari petunjuk di barang bawaannya.”
Karena aku diam-diam juga berfikiran sama, aku mematuhinya meski tetap merasa rapuh.
Ngomong-ngomong, pencarian in sepertinya hanya akan berhasil kalau akulah yang melakukannya. Maria sudah mencari di antara barang bawaan semuanya berkali-kali. Melihat dari hasilnya sekarang, dia belum menemukan hal yang berguna, yang menurutku pantas saja. Maria tidak akan menemukan perubahan yang signifikan karena dia cuma mengetahui kami selama satu hari.
“huu..”
Gadis itu menggunakan garis bersih dan berwarna untuk memberi susunan pada buku catatannya. Dan catatannya juga ditulis rapi dengan huruf kecil dan bulat. Dan dia juga menggunakan berbagai warna di sini. Dan di sisi kiri salah satu halaman adalah gambar seekor kucing. Dan di sini ada gambar lain di halaman berikutnya di tempat yang sama. Kucing yang sama ada di halaman berikutnya... saat itu aku menyadari kalau ini adalah gambar rentetan. Saat aku mencoba membalik-baliknya, kucing itu terbang dengan sebuah roket yang dibuatnya dari kaleng kecil. Aku mulai tersenyum sebelum pandangan marah Maria menghentikanku.
Dari semuanya, aku menemukan banyak barang ke-cewek-an. Warna barang-barang miliknya kebanyakan pink atau putih. iPod nya berisi J-Pop. Dompetnya tidak ada di dalam tas, jadi mungkin dia membawanya bersama kemanapun dia pergi.
“Oh!”
Aku menemukan telepon genggam yang dihias dengan rapi- sebuah harta karun penuh dengan informasi pribadi.
Aku berharap menemukan beberapa petunjuk, tapi telepon gengam nya dikunci jadi aku tidak bisa mencari lebih jauh. ...di sisi lain, aku lega aku tidak bisa melakukannya.
Aku mengecek wadah make-up di samping kaca genggam berwarna pink. Ini kurasa foundation, yang ini lipstik berwarna, yang ini eyeliner, ini adalah gunting yang digunakannya untuk merapikan alisnya, dan akhirnya sebuah benda yang tampaknya agak baru... Maskara, kurasa.
“—“
Oh?
Ada yang aneh.
“Apa kau menemukan sesuatu, Kazuki?”
“......Aku belum yakin...”
Aku mengobrak-abrik isi dalam wadah make-up nya sekali lagi. Aku tidak merasa ada yang spesial di sini.
“Maria, apa ada sesuatu di tempat make-up ini yang menarik perhatianmu?”
“Tidak? Aku sudah menyelidikinya sebelumnya, tapi aku tidak menemukan hal yang spesial—“
Wajahnya membeku di tengah kalimat.
“—tunggu, tidak mungkin. Dia seharusnya tidak memilikinya. Tidak mungkin aku tidak menyadarinya dalam lebih dari 27.755 kali pengulangan ini. Tapi... kenyataannya—“
“Eh? Apa kau menemukan sesuatu?”
“...Kazuki. Sesudah melihat hal ini, kau seharusnya sudah merasakan sesuatu.”
“...eh? ...mhh, yah, aku pikir menggunakan make-up tidak cocok dengan kesan dirinya.”
“Ya ampun!”
Wajah maria berubah masam.
Aku kembali mencari di dalam tasnya petunjuk yang lain. Di dalamnya, aku merasakan sesuatu yang tidak asing dan mengeluarkannya.
“Ah—“
Semuanya mulai bergerak...
Saat aku melihat bungkus yang tidak asing itu, ingatanku kembali muncul ke permukaan.

<<Apakah mungkin kau akan menerima perasaanku kalau aku menggunakan cara pendekatan yang lain?>>
<<Aah, okay. Jadi aku hanya perlu terus mencoba sampai berhasil kan?>>
Tidak mungkin.
Tidak mungkin.
Tidak mungkin.
Aku tidak akan mempercayai omong kosong semacam itu.
Ini cuma kebetulan. Ini pasti cuma kebetulan, tapi ingatan yang muncul dipikiranku terlalu gila sebagai hasil khayalanku—
“—Maria, apa makanan favoritmu?”
“...Kenapa kau menanyakan hal ini sekarang?” Maria menatap ke arahku dan mengernyit. “...Hey, ada apa, Kazuki? Kau telihat tidak baik!”
“...Kau tahu, makanan favoritku adalah Umaibo.”
Aku menunjukkan benda yang barusan kuambil dari dalam tas.
Itu adalah sebungkus Umaibo.
“Terutama aku suka sekali dengan rasa Corn Potage. Tapi aku belum pernah mengatakannya pada siapapun karena tidak ada yang peduli. Aku sering makan Umaibo di kelas, tapi aku tidak setia, atau semacamnya, dalam hal rasa, dan makan berbagai macam rasa yang berbeda setiap kali. Seharusnya tidak ada yang tahu kalau aku paling suka Umaibo rasa Corn Potage!”

<<Tapi kau tidak begitu suka rasa Teriyaki Burger?>>
<<Rasa apa yang paling kau sukai?>>

Aku berdoa kalau aku cuma salah dan melihat ke pembungkus makanan itu lagi.
Tidak peduli berapa kalipun aku melihatnya tidak ada yang berubah.
Itu bukan rasa Teriyaki Burger. Itu adalah Umaibo rasa Corn Potage.
Meski cuma kebetulan kalau dia memiliki Umaibo dengan rasa Corn Potage di tasnya – bayangan dari ingatan yang barusan-kembali itu tidak bisa dipungkiri.
Dia adalah – si ‘pemilik’.
“Kazuki.”
Mariamencengkeram erat pundakku. Kukunya menusuk dagingku dan membawaku kembali ke kenyataan.
“Dia pastilah si ‘pemilik’. Kita sudah sampai di tujuan kita... yah, belum sih.”
Sesudah Maria mengatakan kata-kata itu dengan kegetiran yang sangat, aku bertanya, “Apa maksudmu?”
“Seseorang yang membuat kesalahan bodoh seperti itu tidak mungkin menipuku selama 27.755 kali ‘Pindah Sekolah’.”
“Tapi Maria, kau bilang kau tidak tahu siapa si ‘pemilik’ kan?”
“Itu tidak benar. Aku mungkin telah menemukan identitasnya beberapa kali, tapi aku tidak bisa mengingat kalau dia si ‘pemilik’.”
“Eh? Kenapa tidak?”
“Aku tidak yakin, tapi kurasa itu adalah fungsi yang lain dari ‘Rejecting Classroom’. Hal itu masuk akal. ‘Rejecting Classrom’ bekerja selama si ‘pemilik’ sendiri percaya kalau dia berada dalam pengulangan yang tidak pernah berubah. Tapi kalau seseorang tahu kalau dia adalah si ‘pemilik’, prasyarat ini akan hancur. Karenanya, segera sesudah seseorang mengetahui kalau dialah si ‘pemilik’, ingatan itu akan dihapus.”
“...Tapi kita tahu siapa si ‘pemilik’ kali ini.”
“Tentu saja. Tapi itu bukanlah alasan untuk senang,” Maria berkata dengan nada jengkel. “Kalau kita tidak melakukan sesuatu mengenai hal itu kali ini, kita akan kehilangan petunjuk ini lagi.”
Jadi begitu. Kecuali kita dapat mengalahkan si pemilik di putaran ini, kita akan melupakan semua yang kita temukan saat pengulangan ini dan pencarian kami akan pelakunya sekali lagi akan dimulai dari awal.
Maria terlihat kesal dan menggigit bibirnya. Hanya punya satu kesempatan untuk mencapai sesuatu mungkin sangat menyebalkan, karena dia mulai terbiasa bisa mengulang semuanya.
“...Tapi Maria, hidup adalah kontes yang diputuskan dalam satu putaran kan? Tidak peduli seberapa kecil masalahnya, tidak ada tombol ulang untuk kembali ke save point terakhir.”
Aku sendiri agak menyukai kalimat itu, tapi Maria menatapku dengan pandangan dingin.
“Apa tujuan yang ingin dicapai dari kalimat penyemangat yang salah arah itu?”
Dia bahkan mendesah.
“Ma-maaf... hanya saja kau kelihatan agak jengkel.”
Saat mendengar permintaan maafku, Maria sedikit rileks.
“Yah, tentu saja. Tapi bukan karena situasi kita tidak menguntungkan.”
“...tapi lebih karena?”
“Apa kau tidak mengerti? Meski aku berulangkali menemukan kalau dia adalah si ‘pemilik’, ‘Rejecting Classroom’ belum berhenti. Apa kau tidak mengerti apa yang kumaksud?”
Aku memiringkan kepalaku.
Aku tidak tahu kata-kata itu ditujukan padaku, pelakunya atau dirinya sendiri, tapi Maria lalu mengtakan beberapa kata dengan kejengkelan yang luar biasa:
“Aku sudah kalah dari si ‘pemilik’ berkali-kali.”



“Kokone.”
“Oh, si jagoan cinta, Kazuki Hoshino, sudah datang!”
Seperti biasa, Kokone bercanda menggodaku.
Saat ini adalah istirahat makan siang. Maria dan aku berakhir membolos semua kelas pagi berdua, jadi semunya mulai mengoda kami. Tapi untung karena Maria diam sepenuhnya, teman-teman sekelas kami berhenti menggoda kami dengan cepat. Pandangan ingin tahu mereka masih ditujukan pada akmi sih. Yah, itu sudah dapat diduga.
“Dengar, Kokone. Sebenarnya—“
Aku berhenti. Karena wajah Kokone berubah dari lembut menjadi serius, dan dia menarik lengan bajuku.
Setelah melirik pada Maria, Kokone membawaku keluar ruang kelas.
“Kazu-kun, tolong jangan menghindari pertanyaanku dan berikan jawaban yang jujur.”
Tepat di samping pintu, Kokone melepaskan lengan bajuku dan kemudian kemabali berbicara.
“Apa sebenarnya hubunganmu dengan otonashi-san?”
“...Kenapa kau bertanya?”
Aku mengatakannya, meski aku tahu jawabannya. Kokone memandang ke bawah, dan tidak berhasil menjawab.
“Aku tidak bisa menjelaskan hubunganku dengan Maria dengan mudah.”
Kokone tetap terdia, masih menatap ke lantai.
“Tapi aku mencintai orang lain dan bukan Otonashi-san.”
Kokone terbelalak saat dia mendengar kata-kataku.
“Jadi—“
Tapi Kokone tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia mengalihkan pandangannya – yang aku segera sadari.
Dia memandang ke dalam ruang kelas dan mencari seseorang.
Matanya berhenti mencari.
Dan sekarang terfokus pada — Kasumi Mogi.
Ditanggal 1 Maret aku belum jatuh cinta pada Mogi-san. Dan selama pengulangan ini, ke 27.755 kali, aku belum berhubungan dengannya sama sekali.
“Kokone, sebenarnya, ada hal yang aku ingin kau lakukan. Yaitu—“
“Yeah. Kau tidak harus mengatakannya. Kupikir percakapan kita sampai sekarang sudah memperjelas semuanya bagiku,” Kokone berkata sambil tersenyum. “Ruang kelas memasak sesudah sekolah – apa itu cocok untukmu? Aku akan mengatakan semuanya di sana saat itu!”
Kenapa ruang kelas memasak, aku heran sejenak – tapi benar juga, Kokone adalah anggota klub home economic.
“Kita mungkin satu-satunya yang akan berada di sana hari ini.”
Saat aku mengangguk, dia menatapku sekali lagi. Aku tidak bisa menerka pemikiran apa yang tersembunyi dibalik wajahnya.
“Kazuki.”
Maria, yang tadinya mengamati kami dari balik pintu, memanggilku. Itu mungkin tanda bagiku untuk mundur.
Aku mengatakan pada Kokone “nanti,” dan bermaksud berbalik.
“Ah, tunggu sebentar!”
Kokone menghentikanku. Aku berhenti bergerak dan menatap ke arahnya lagi.
“Um, boleh aku bertanya? Ah, tapi kau tidak harus menjawabnya tentu saja...”
“Apa?”
“Siapa orang yang kaucintai, Kazu-kun?”
Aku langsung menjawabnya.
“Mogi-san!”
Saat dia mendengarnya, Kokone memandang ke bawah dan menyembunyikan wajahnya. Tapi aku sudah menyadari ekpresinya.
Kokone tersenyum.



Sekolah telah berakhir.
Kami mendengar seseorang menjerit dari ruang kelas memasak. Saat kami masuk, kami segera menyadari kalau semuanya sudah menjadi kacau.
Kami melewatkan kesempatan emas ini.
Sesuai rencana, Kokone Kirino dan Kasumi Mogi ada di ruang kelas memasak. Tidak, lebih tepatnya — Kasumi Mogi dan apa yang sebelumnya Kokone Kirino ada di sana.
Ruang kelas memasak berlumuran darah.
Pelakunya memegang sebuah pisau berlumuran darah.
“Kazu-kun.”
Meski dia telah menyadari kehadiranku, ekspresinya tetap sama.
“...Ke-kenapa—“
Aku tidak mengerti. Kenapa dia melakukan hal semacam itu?
Berlumuran dara, Mogi-san menatap ke arahku. Dia tanpa ekspresi seperti biasanya. Tapi aku menyadari cahaya yang berkelip di matanya dan menyalahkanku.
Aah, yeah. Benar. Aku juga patut dipersalahkan akan situasi ini.
“Mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati”
Mogi-san terus menerus menggumamkan sesuatu mirip seperti kutukan.
Aku tidak ingin mendengarnya. Aku cuma ingin menutup telingaku. Tapi aku bahkan tidak bisa melakukannya. Aku kehilangan kendali akan diriku segera setelah aku melihat tubuh Mogi-san yang berlumuran darah. Kata-katanya memasuki telingaku. Aku berusaha keras untuk tidak memahami arti kata-kata itu. Tapi tidak ada artinya – kata-kata itu menghujaniku seperti longsoran, mereka turun menjatuhiku dan menutupi tubuhku yang lumpuh.
Mogi-san berkata.
Dia mengatakan kata yang mempersalahkanku.
“Mati!”

Ke-27,755 kali (2)[edit]

"Ini mungkin agak terlambat, tapi akhirnya aku menyadari kalau aku tidak membutuhkanmu."
Dia menggerakkan kepalanya. Mungkin itu terlalu tiba-tiba baginya.
"Sebenarnya, sudah lama aku menyadari kalau kau itu adalah pengganggu, apa kau tahu? Tapi aku tidak ingin menjadi begitu kejam. Lagi pula, kita kan «teman», dulunya."
Tapi, kita bukan teman lagi.
Kurasa dia masih menganggapku sebagai seorang «teman». Hingga kemarin, kami begitu akrab hingga kami mau mendengarkan masalah cinta satu sama lain. Tapi karena sekarang aku sudah berubah, aku tidak bisa berpikir seperti itu lagi. Oleh karena itu, kamu bukanlah «teman» lagi.
Bukan hanya itu masalahnya bagiku. Dia tidak mungkin meragukanku, meskipun aku telah berubah. Bahkan ketika aku berbicara padanya dengan sangat berbeda dibanding yang dulu, dia tidak bisa menyadarinya.
--«Tidak ada seorang pun yang bisa mengganggu perubahanku».
Itu adalah aturan dari dunia ini.
Misalkan, di dunia biasa, aku berubah sedangkan orang lain tetap seperti biasanya. Dia menganggapku sebagai seorang teman. Jadi jika aku berubah, dia akan menganggapku tidak seperti biasanya. Itu saja sudah mengganggu kebebasanku untuk berubah. Mungkin mirip seperti reaksi orang-orang ketika kenalannya tiba-tiba mencat pirang rambutnya ketika liburan musim panas. Kemungkinan bagiku akan menjadi terbatas jika aku berada di lingkungan di mana aku tidak bisa berubah dengan bebas.
Kalau itu terjadi, permohonanku satu-satunya, yaitu «melewati hari ini tanpa penyesalan», tidak akan bisa terkabul.
Itulah kenapa aturan yang praktis itu dibuat.
Benar. Dunia ini seluruhnya dibuat untuk memudahkanku.

Dan meski begitu--

Dan meski begitu... apa? Aku tidak bisa memikirkan hal yang selanjutnya.
Aku merasa kalau aku tidak boleh memikirkan hal itu.
Karena itu aku mengabaikan pikiran itu dan mengganti topik pembicaraannya.
"Tidakkah kaupikir kalau 'cinta' mirip dengan menumpahkan kecap ke atas pakaian putih?"
Dia terlihat tidak mengerti pengandaianku dan menggelengkan kepalanya.
"Coba misalkan kau menumpahkan kecap di atas pakaian putihmu, oke? Bahkan jika kau membersihkannya, noda-nodanya akan tetap tersisa. Mereka akan melekat di sana selamanya. Jadi, kau akan tetap mengingat, 'Aah, aku menumpahkan kecap di situ...' ketika kau melihat mereka. Tidak mungkin kau bisa melupakannya karena noda-nodanya melekat di sana selamanya."
Aku membuka sebuah laci lemari.
"Itu membuatku muak, kau tahu."
Aku menggenggam pisau dapur di dalam laci dengan erat.
"Yang kumaksud adalah, kenyataan kalau noda seperti itu menghancurkan pikiranku."
Aku mengeluarkan pisau dapur itu.
Aku telah menggunakan pisau dapur ini untuk tujuan yang sama beberapa kali. Kebetulan pisau ini adalah yang paling tajam.
Dia menjadi pucat ketika melihatku menggenggam sebuah pisau. Dia bertanya padaku, "Apa yang akan kaulakukan dengan benda itu?" meskipun dia pasti bisa menebaknya. Tapi dia tidak bisa mempercayai kalau aku akan benar-benar melakukan apa yang dia «perkirakan».
"Kau ingin tahu apa yang akan kulakukan dengan benda ini? Ufufu..."
Tapi kau tahu? Maaf. Itu sepertinya---
"Aku akan menolakmu!"
---seperti apa yang kaubayangkan.

Aku *****nuh ****** dengan sebuah *****.

Aku mencoba untuk tidak memikirkan perasaan yang gelap dan menyakitkan yang akan muncul itu. Meskipun sia-sia saja melawan perasaan itu, meskipun aku harus menolaknya hanya karena tujuanku, aku mencoba melawannya. Karena aku tidak ingin merasakan perasaan ini. Karena aku selalu bersikap seperti aku tidak bisa merasakan perasaan itu hingga sekarang.
Dia terjatuh dan memuntahkan darah.
Dia pasti kesakitan. Kasihan sekali.
Mungkin, aku gagal. Seharusnya aku *****nuhnya secepat mungkin sehingga dia tidak sempat merasakan rasa sakitnya.
"Kau tahu, gagal dalam melakukan ini bisa agak menakutkan. Anak laki-laki bisa memunculkan kekuatan yang tidak masuk akal ketika mereka terpojok. Bahkan seorang anak laki-laki yang kurus sekalipun jauh lebih kuat daripada aku. Dipukul dengan tenaga seperti itu sangat menyakitkan. Tapi yang lebih menakutkan adalah mata mereka saat mereka memukulku. Mereka melihatku seperti kalau aku adalah sampah. Kenapa aku gagal lagi? ...Ah, benar. Karena aku menggunakan sebuah pisau murahan hanya karena itu terlihat keren. Apa kau tahu, kalau membunuh orang dengan benda seperti itu sangat sulit? Dan itu tidak menyenangkan. Menusuk atau memotong orang. Itu menjijikan! Aku bisa muntah karenanya. Aku juga pernah menangis, menanyakan diriku sendiri kenapa aku harus melakukan hal yang tidak menyenangkan seperti itu. Tapi apa kau tahu? Pada akhirnya, hal yang sama akan terjadi terus menerus selama orang yang dibicarakan terus mengambil tindakan yang sama. Dan karena itu, masa depan yang kuinginkan tidak akan pernah datang. Jadi apa yang harus kulakukan selain menghapus orang itu? Itu tidak bisa tertolong, ya, 'kan? Tidakkah itu kejam? Kenapa aku harus melakukan hal seperti itu?"
Dia melihatku dengan mata yang tidak bertenaga.
"Tapi kau tahu? Mungkin aku tidak perlu menusukmu seperti itu. Pada akhirnya, 'menolak' bisa dilakukan hanya dengan menguatkan pikiran seseorang. Tapi, aku tidak menemukan cara yang lain. Aku tidak bisa 'menolak' siapapun selain dengan cara membunuh mereka dengan tanganku sendiri. Tidak semudah itu untuk 'menolak' seseorang dari dasar hatimu. Aku melakukannya dengan menaruh sebuah beban di hatiku. Dan dengan menciptakan perasaan bersalah itu, aku memaksa diriku untuk melarikan diri dari orang itu. Karena itu aku bisa bebar-benar berpikir kalau aku tidak ingin bertemu dengan orang itu lagi - aku 'menolak' mereka. Pada saat itu tidak ada orang yang bisa mengingat orang itu lagi, tidak peduli apa pun yang terjadi."
Dia menurunkan kepalanya, sepertinya tidak mampu mengangkatnya lagi.
"Aku tahu! Itu salahku, 'kan? Itu semua salahku, ya, 'kan? Tapi beri tahu aku, apa yang harus kulakukan? ...Maaf. Kau pasti tidak mengerti, benar, 'kan? Aah, kenapa aku berbicara begitu banyak? Aku tahu kenapa. Aku sangat gelisah, sangat gelisah, sangat gelisah, hingga aku tidak bisa diam. Aku diam-diam berharap kalau kau akan memaafkanku jika aku memberitahumu alasanku. Tapi aku tahu; tidak mungkin kau akan memaafkanku, benar, 'kan? Maafkan aku. Sungguh, Aku minta maaf. Maafkan aku, maafkan aku. Maafkan aku karena aku begitu egois. Tapi apa kau tahu? Akulah yang paling menderita. Aku menyalahkan diriku sendiri. Aku tahu kalau aku melakukan sesuatu yang buruk. Jadi, sejujurnya, aku tidak peduli apa yang kaupikirkan tentangku."
Aku heran, sebenarnya aku bicara pada siapa?
Tapi entah kenapa aku merasa kalau itu tidak penting. Lagi pula, aku tidak pernah berbicara serius dengan seseorang. Aku bahkan tidak pernah menganggap orang yang terbaring itu sebagai seorang «teman».
Toh, aku sendirian.
"T-Tidak--"
Meski begitu, aku tidak ingin mengakuinya.
Meski itu membuatku lebih menyadari seberapa sendiriannya aku di tempat seperti ini, aku hanya bisa berteriak:
Tolong datanglah!
Cepatlah datang!
"Kazu-kun!"
Aku berpikir, sejak kapan... sejak kapan aku memanggil namanya dengan begitu mudahnya? Meski aku sudah sangat sering mendapat izin darinya untuk memanggil namanya seperti itu di dalam pengulangan ini, dia tidak pernah mengingatnya.
Dalam sekejap pintunya terbuka.
Dia di sini.
Orang yang sudah kutunggu-tunggu, Kazuki Hoshino, di sini.
Kazu-kun kehilangan kata-katanya karena melihat pemandangan yang mengerikan ini. Di sebelahnya ada gadis yang menyebalkan itu, Aya Otonashi, yang hidup di dalam 'box'-ku seperti seekor parasit.
"...Akhirnya kau datang, Kazu-kun."
Aku terkejut dengan kata-kataku sendiri.
Betapa bodohnya aku?
Sudah berapa banyak dia menghianati harapanku? Bukankah aku sudah menyerah tentang dia beberapa kali di antara penghianatannya yang tak terhitung jumlahnya itu?
Bahkan bukan kebetulan dia muncul di sini. Aku memutuskan untuk mengundangnya kemari, untuk menunjukkan ini padanya.
Meski begitu aku tetap saja berharap untuk sebuah keajaiban karena dia muncul di saat seperti itu, seperti dulu. Aku mulai berharap kalau dia akan membawaku kembali ke dunia yang sesungguhnya.
Meski --- tidak mungkin itu akan terjadi.
Mata Kazu-kun terbuka lebar.
"Kazuki. Aku bisa menebak perasaanmu. Tapi seharusnya kau sudah tahu."
Gadis itu mengatakan sesuatu.

"Kalau si 'pemilik' adalah --- Kasumi Mogi."

Kazu-kun mengarahkan matanya yang terbuka lebar itu ke arah ****** yang terbaring di lantai.
Siapa yah namanya tadi? Oh yah. Aku lupa. Aku bahkan lupa kalau aku lupa.
"...Ke-kenapa---"
Kau mau tahu kenapa aku melakukannya?
Aku tidak bisa menyembunyikan kekesalanku terhadap ketidakpekaan Kazuki.
Memperlihatkan kebencian di mataku, aku meneriakkan isi pikiranku padanya.
"Mati!"
Itu tidak cukup.
"Mati, mati."
Itu masih tidak cukup.
"Mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati."
Aku hanya tidak ingin untuk---
"---mati!!"

Ke-27,755 kali (3)[edit]

Sekarang kalau dibilang, Mogi-san tidak menggunakan riasan di wajah. Karena jelas-jelas aku tidak menggunakan riasan wajah, tidak seperti Maria, agak sulit bagiku untuk menyadarinya.
Tapi dia memiliki sebuah kotak rias.
Kenapa?
Maria memperkirakan seperti berikut ini.
---Dia telah bosan menggunakannya.
Aku tidak bisa mengingatnya lagi, tapi kupikir Mogi-san awalnya sangat peduli terhadap penampilannya. Kemudian dia berhenti mempedulikannya karena dia tidak bisa menemukan sebuah alasan untuk melakukannya lagi di dalam 'Rejecting Classroom' ini. Dia meninggalkan kotak rias itu di tasnya tanpa pernah menyentuhnya sejak 1 Maret sebelum 'Rejecting Classroom'.
Mogi-san menjadi bosan menggunakan riasan sekaligus mengeluarkannya dari dalam tas.
Hanya seseorang yang memiliki ingatan lebih dari 20,000 pengulanganlah yang bisa menjadi seperti itu.
Dan satu-satunya yang memiliki ingatan tersebut adalah --- si 'pemilik'.
Oleh karena itu, gadis yang kusukai, yang juga menyukai aku, Kasumi Mogi, pasti adalah --- si 'pemilik'.

«Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu, Kazu-kun.»
Itu kenapa Kokone memanggilku di pengulangan sebelumnya, pengulangan ke-27,754. Kemudian dia memberitahuku kata-kata berikut ini.
«Kasumi menyukaimu!»
Kokone tahu tentang rasa suka Mogi-san terhadapku. aku yakin kalau Mogi-san berkonsultasi kepadanya tentang hal ini karena mereka merupakan teman baik hingga kemarin.
Kami ingin memancing keluar Mogi-san.
Tapi jika kami melakukannya, dia pasti akan waspada. Jika mungkin, kami tidak ingin memberi Mogi-san kesempatan untuk mempersiapkan dirinya karena Maria sudah kalah darinya beberapa kali.
Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menggunakan Kokone sebagai seorang penengah. Kami berpikir kalau dia bisa memancing keluar Mogi-san untuk kami jika kami bisa membuatnya berpikir kalau aku mempunyai keinginan untuk menyatakan cinta.
Sebagai konsekuensinya --- Kokone terbunuh.
Aku mengingat kata-kata Mogi-san.
«...Jadi, apa kau mau pacaran denganku?»
Berapa sering dia menyatakan cinta padaku? Sudah berapa lama dia menyukaiku? Jika rasa suka ini sama, lalu kenapa--
«Tolong tunggu hingga besok.»
Kenapa dia mengatakan itu?
Mogi-san terlihat tidak menyadari semua darah di seluruh tubuhnya dan tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
---seperti biasanya.
Apakah dia selalu tanpa ekspresi seperti itu? Tidak, dia tidak seperti itu. Di dalam beberapa pecahan ingatanku ada ingatan di mana aku melihat Mogi-san tersenyum dengan ceria. Tapi Mogi-san yang tersenyum itu tidak terlihat nyata sama sekali. Bagiku, Mogi-san adalah gadis yang tanpa ekspresi dan pendiam.
Tapi bagaimana kalau Mogi-san yang ceria itu, yang tidak terlihat nyata, adalah yang asli?
Kemana gadis yang bernama Kasumi Mogi itu pergi?
"Dia terpengaruh."
Seperti menjawab pertanyaanku, Maria menggumamkan kata-kata itu.
"Dia sepenuhnya terpengaruh oleh pengulangan yang tak terbatas ini."
Dia menyatakan hal tersebut dengan mata yang terfokus ke arah Mogi-san.
Pikiran ini telah terlintas di kepalaku sebelumnya: Pikiran manusia tidak mungkin bisa menahan begitu banyak pengulangan.
Tapi Mogi-san telah mengalami hari yang sama selama 27,755 kali.
Dan setelah mengulanginya begitu banyak, sekarang Mogi-san sudah berlumuran darah.
"...Ini salahmu, Kazu-kun."
Dia berkata begitu, melihat ke arahku.
"Ini semua karena kau memojokkanku!"
"...Mogi-san, memangnya apa yang telah kulakukan?"
"'Mogi-san'."
Mogi-san mengulangi kata-kataku dan memiringkan mulutnya.
"Aku sudah bilang padamu. Aku benar-benar sudah bilang padamu. Aku sudah bilang padamu ratusan kali, ya, 'kan?"
"A-apa yang kaubicarakan...?"
"Aku sudah bilang padamu untuk memanggilku «Kasumi», bukankah begitu...?!"
...Aku tidak tahu. Aku tidak tahu akan hal itu...
"Aku mengatakannya ratusan kali dan kau menerimanya ratusan kali, ya, 'kan? Dan masih saja, kenapa? Kenapa kau selalu lupa setelahnya?"
"Itu tidak bisa...dihindari..."
"Tidak bisa dihindari?! Katakan padaku, kenapa itu tidak bisa dihindari?!"
Mogi-san berteriak dengan histeris. Tetapi wajahnya masih tetap tanpa ekspresi.
Mungkin, dia telah lupa bagaimana cara untuk mengubah ekspresinya selama puluhan ribuan kali pengulangan ini karena dia tidak memiliki alasan untuk melakukannya. Dia tidak bisa tertawa, menangis, atau menjadi marah dengan benar lagi.
"Kazuki, jangan dengarkan dia."
Mogi-san melepaskanku dari pandangannya dan melotot ke arah Maria.
"Jangan memanggil nama Kazu-kun dengan begitu akrabnya!"
"Aku bisa memanggil namanya semauku."
"Kau tidak bisa! ...Kenapa Kazu-kun bisa mengingatmu, sedangkan aku tidak bisa diingatnya...?"
"Kasumi, kau yang membuatnya seperti ini. Karena itu akan membuatmu lebih mudah mengulangi segala sesuatunya dari awal lagi."
"Diam! Aku tidak pernah bermaksud untuk melakukannya!"
Kalau dipikir-pikir, di pengulangan ke-27,754 Mogi-san terlihat ketakutan ketika dia melihat bagaimana aku bisa mengingat Maria.
Pada saat itu aku yakin kalau dia ketakutan dengan kelakuan anehku. Tapi sekarang ketika aku mengetahui kalau dia adalah si 'pemilik', sudut pandangku telah berubah: Sebenarnya, dia membiarkan rasa tidak senangnya yang terus bertumpuk meledak keluar karena aku mengingat Maria dan bukan dia.
"Kazu-kun..."
Sebenrnya, aku pun tidak terbiasa dipanggil olehnya seperti ini juga.
Mungkin, dia pernah bertanya padaku apakah dia boleh memanggilku dengan «Kazu-kun», seperti juga kalau dia memintaku untuk memanggilnya «Kasumi».
Aku mungkin telah melupakannya, tapi Mogi-san mengingat semuanya.
"Kazu-kun, dulu kau bilang kalau kau menyukaiku."
"...Ya. Mungkin aku pernah."
"Aku menerimanya dengan senang! Aku mengatakan padamu kalau aku juga menyukaimu!"
"......"
Aku hanya ingat kalau dia berkata «Tolong tunggu hingga besok». Tidak lebih dari itu. Aku tidak mengingat kalau ada hal lain lagi.
"Kau tidak mengingatnya, ya?"
Aku tidak bisa menjawabnya.
"Apa kau bisa bayangkan betapa senangnya aku? Aku mencoba yang terbaik yang kumampu setiap waktu selama pengulangan-pengulangan itu demi membuatmu melihat ke arahku. Aku mengubah gaya rambutku, aku mencoba menggunakan maskara, aku mencoba menarik perhatianmu, aku mencari tahu tentang hobimu, aku mempelajari pola pembicaraanmu... dan kau tahu apa yang terjadi kemudian? Sebuah keajaiban terjadi! Sikapmu terhadapku berubah dengan jelas. Aku menyadari kalau kau mulai tertarik kepadaku. Kau menerima pernyataan cintaku yang kau tolak sebelumnya. Kau bahkan menyatakan cinta padaku. Setiap kali kau melakukannya, kau membuat harapanku muncul. Kupikir sebuah «kelanjutan» yang menyenangkan akan menungguku, setiap waktu. Kupikir pengulangan ini akhirnya akan berhenti. Tapi apa kau tahu? ...Kazu-kun---"
Mogi-san melihat ke arahku tanpa ekspresi.
"---Kau selalu melupakannya."
Aku tidak tahan dengan matanya dan melihat ke arah bawah.
"Bahkan ketika kau lupa, aku mempunyai harapan yang sangat tinggi kalau kau akan mengingatnya di waktu selanjutnya. Setiap kali kau menerima pernyataanku, setiap kali kau menyatakan padaku, kau mengangkat harapanku terus menerus. Tapi pada akhirnya kau tidak mengingatnya. Aku dengan cepat menyerah akan harapanku. Tapi kau tahu, jika seseorang menyatakan cinta padamu, kau pasti akan berharap! Lagi pula, sebuah keajaiban pun dapat terjadi. Dan itulah kenapa aku selalu terluka."
Aku tidak bisa membayangkan diriku pacaran dengannya. Tapi Mogi-san membuat nyata apa yang tidak bisa kubayangkan. Dia membuatku jatuh cinta padanya. Mungkin, ini adalah alasan kenapa ingatanku yang bertahan terasa tidak jelas.
Tapi memenangkan hatiku seperti itu pada akhirnya tidak ada artinya.
Tidak ada apa-apa di depan semua itu.
Ketika dia berhasil memenangkan hatiku, semuanya berakhir di sana.
Apa yang menunggunya adalah sebuah cinta sepihak yang sempurna.
Sebuah cinta yang sangat sepihak yang tetap tak terbalaskan bahkan ketika dia mendapatkan perhatianku.
"Oleh karena itu, aku tidak ingin kau menyatakan cinta padaku lagi. Tapi kau tetap datang. Kau tetap bilang kalau kau suka padaku. Dan meskipun aku sangat senang, rasa sakitnya lebih besar lagi... jadi aku tidak punya pilihan lain selain mengatakan hal ini padamu setiap kalinya:"
Mogi-san mengucapkan kata-kata yang pastinya sudah kudengar berkali-kali sebelum ini.
"'Tolong tunggu hingga besok'."
Hatiku terasa seperti disayat-sayat.
Selama ini, dia sendiri lah yang paling terluka karena kata-kata itu - jauh lebih dibandingkan diriku.
Tapi, lalu kenapa dia tidak menghentikan 'Rejecting Classroom' ini saja? Cinta sepihak miliknya tidak akan terbalas. Bahkan jika itu bukan tujuan satu-satunya, dia pasti akan menderita seperti ini.
"Kazu-kun... apa kau mengerti? Itu semua adalah salahmu yang menyebabkanku menderita. Itu semua, semua, semuaaa salahmu."
"Apa-apaan dengan hal tidak masuk akal yang kaukatakan itu?"
Maria menyelanya dengan wajah yang tidak bercanda.
"Sungguh tidak bertanggung jawab. Kau hanya memaksakan tanggung jawab dari rasa sakitmu ke Kazuki karena kau tidak bisa menahan penderitaan dari 'Rejecting Classroom' milikmu lagi."
"...Tidak! Itu salah Kazu-kun yang membuatku menderita!"
"Pikirkan saja apa yang kau mau. Tapi Kazuki tidak berpikir seperti itu. Dia bahkan tidak bisa mengingatmu. Kazuki mempertahankan ingatannya sekarang hanya demi tujuannya sendiri. Bukan untuk hatimu yang sudah membusuk."
"Kenapa... kenapa kau bisa yakin akan hal itu!?"
"Kenapa, kau tanya?"
Maria meluruskan pundaknya dan menyeringai kepadanya.
"Jawabannya gampang."
Dia menjawabnya tanpa ambil pusing.
"Karena aku telah memperhatikan Kazuki Hoshino lebih lama dari siapapun di dunia ini."
"Wha--"
Mendengar kata-katanya yang tajam itu, Mogi-san menjadi tidak bisa berpikir lagi.
Dia mencoba untuk membantahnya, tetapi mulutnya hanya terbuka dan menutup tanpa mengeluarkan kata apa pun.
Aku menutup mulutku karena alasan yang berbeda. Maksudku, itu memalukan ketika seseorang mengatakan hal seperti itu! Sungguh.
"Ti-Tidak, aku pun sudah memperhatikannya sebanyak yang kaulakukan--"
"Waktumu itu tidak berharga sama sekali."
Maria membantahnya dengan argumen yang tidak rasional.
"Apa kau mengerti betapa tidak berharganya waktu miilikmu hanya dengan melihat apa yang telah kaudapatkan? Lihatlah wajahmu sendiri di cermin. Lihat tanganmu. Lihat kakimu."
Di wajah Mogi-san ada darah yang sudah membeku yang mulai berwarna kehitaman.
Di tangan Mogi-san ada sebuah pisau dapur.
Di kaki Mogi-san ada mayat Kokone.
"Silakan, kau bebas membantahnya. Kau boleh mengatakan kalau kau telah memperhatikan Kazuki selama yang kulakukan. Jika kau benar-benar mempercayai kalau kata-katamu itu benar."
Mogi-san terlihat terpukul dan mengalihkan pandangannya ke bawah.
Aku tidak bisa mengatakan apa pun kepadanya.
"......Heh, fufufu. Kau telah memperhatikan Kazu-kun lebih lama dari siapapun di dunia ini? Kupikir itu benar. Mungkin itu seperti yang kaukatakan. Ufufufu, tapi itu tidak berarti apa pun! Kenapa itu harus berarti bagiku?"
Dia tertawa, kepalanya masih mengarah ke bawah.
"Hmpf, kasihan kau. Jadi akhirnya pikiranmu rusak."
"Akhirnya...? Ufufu... apa yang kaukatakan?"
Dia mengarahkan pisaunya kearah Maria, tetap melihat kebawah.
"Apa kaupikir aku masih waras sejak awal?"
Dia mengangkat kepalanya.
"Biarkan aku memberitahumu sesuatu yang bagus, Otonashi-san! Semua yang terbunuh olehku menghilang dari dunia ini!"
Wajahnya tanpa ekspresi seperti biasanya.
"Jadi, itu tidak ada artinya! Tidak ada artinya seberapa lama pun kau telah mengamati Kazu-kun jika pada akhirnya kau akan menghilang juga!!"
Mogi-san menggenggam pisau dapur itu dan menerjang ke arah Maria. Dengan refleks aku meneriakkan nama Maria. Tapi Maria hanya melihat ke arah Mogi-san dengan bosan, terlihat tidak peduli sedikit pun. Dengan mudah dia menggenggam tangan Mogi-san yang memegang pisau dan mendesaknya hanya dengan seperti itu.
"Ugh..."
Perbedaan kemampuan mereka sangat jelas. Begitu jelas hingga aku merasa malu telah memanggil namanya.
"Maaf. Tapi apa kau tahu, aku telah menguasai semua bela diri utama. Menghentikan seranganmu yang lurus seperti itu semudah memelintir tangan seorang bayi."
Pisau itu jatuh dari tangan Mogi-san dan membuat sebuah suara.
Kehilangan senjatanya, Mogi-san terbengong melihat ke arah pisau yang ada di lantai.
"...Semudah memelintir tangan bayi...?"
Mogi-san berbisik kesakitan dengan pandangannya yang masih terarah ke arah pisau itu.
"......ufufufu"
Dan meski begitu, meskipun seharusnya dia kesakitan, Mogi-san tersenyum.
"Apa yang begitu lucu?"
"«Apa yang begitu lucu?» dia bertanya begitu! Ufu... haha, HAHAHAHAHAHAHA!"
Dia tertawa dengan mulutnya terbuka lebar. Wajahnya yang berlumuran darah, sangat jauh dari senyuman. Meski dia tertawa, ujung mulutnya tidak terangkat sama sekali. Daripada menyempitkan matanya perlahan, dia malah membuka mereka lebar-lebar.
Maria mengerutkan dahinya, mendengar tawa yang keras ini.
"Tentu saja itu lucu!! Lagi pula, kau membandingkan menghentikan tanganku dengan memelintir tangan bayi! Kau, dari semua orang! Kau, Aya Otonashi, melakukan hal itu! Sungguh sebuah mahakarya! Jika bukan sebuah mahakarya, dengan kata apa kita bisa menyebutnya?!"
"Aku tidak bisa melihat apa yang begitu kaunikmati."
"Sungguh? Kalau begitu katakan padaku, apa kau benar-benar bisa memelintir tangan bayi?"
Aku masih tidak bisa mengerti kenapa dia tertawa.
Tapi Maria sepertinya tidak bisa berkata apa-apa.
"Oh baiklah, kau menangkapku. Bagus untukmu. Selamat. Jadi? Apa tujuanmu?"
"......"
"Aku tahu. Lagi pula aku telah mendengarnya berkali-kali. Itu untuk menghentikan dunia yang terus berulang ini, 'kan? Itu untuk mendapatkan sebuah 'box', ya, 'kan? Jadi apa yang akan kaulakukan untuk mendaptakannya? Kau hanya perlu membunuhku kan untuk mengakhirinya, benar, 'kan?"
"...Benar."
"Aku tahu kalau kau telah menguasai berbagai jenis ilmu bela diri itu, Aya Otonashi! Kau sendiri yang telah mengatakannya padaku! Kenapa kau... kenapa kau berlagak seperti kau telah mengungguliku? Bukankah itu menggelikan? Apa kau berpikir aku tidak mengetahuinya? Sungguh memalukan! Itu memalukan, benar, 'kan? Dengar... Aku telah kembali ke masa lalu sebanyak yang kaulakukan, kau tahu? Aku tahu dengan jelas tentang dirimu! Kau melucuti senjataku. Kau memegang tanganku. Memangnya kenapa---?"
Mogi-san kembali ke wajahnya yang serius dan mengatakan kata-kata selanjutnya dengan suara yang pelan.
"Apa yang akan kaulakukan padaku selanjutnya?"
"......"
Maria tidak menjawabnya.
"Oh, kau Otonashi-san yang lemah lembut. Kau, yang tidak bisa membunuhku. Kau yang tidak bisa menyiksaku. Kau yang bahkan tidak bisa mematahkan satu tulang pun. Apa kau mampu memelintir tangan dari seorang bayi yang sangat lemah meski kau dengan begitu elegannya membenci kekerasan? Tidak. Kau tidak bisa. Tentu saja kau tidak bisa."
Oh begitu. Jadi ini adalah alasan utama dari kekalahan-kekalahan Maria.
Segera setelah kekerasan menjadi solusi satu-satunya, Maria tidak bisa melakukan apa pun. Dan Mogi-san sadar akan hal itu.
"Pikirkan saja. Apa kau tidak berpikir kalau aku punya kesempatan untuk membunuh dan 'menolak'-mu selama ini? Apa kau tahu kenapa aku tidak melakukannya, meskipun kau jelas-jelas adalah seorang pengganggu? Bagiku, itu menguntungkan karena kau menyelamatkanku dari kecelakaan itu! Tapi bukan hanya itu. Aku menyadarinya pertama kali ketika kau mengetahui kalau aku memiliki 'box'-nya dan gagal menyudutkanku."
Maria menggertakkan giginya.
"Kau bahkan tidak pantas --- untuk menjadi lawanku."
Beberapa waktu yang lalu, Daiya mengatakan padaku akalau si «Protagonis» kalah dari si «Murid Pindahan» karena perbedaan jumlah informasi mereka.
Tapi perkataan itu salah.
Si Kasumi Mogi«Protagonis» punya informasi lebih banyak dibandingkan dengan si Aya Otonashi«Murid Pindahan».
"Aku sudah bosan dengan pola ini."
Mogi-san dengan nada bosan yang disengaja.
"...Tapi tidak seperti di waktu yang lainnya, sekarang ada Kazuki di sini."
"Yah. Jadi, bagaimana kalau kita coba sesuatu yang baru?"
Mogi-san menendang pegangan pisau dapur itu. Pisau itu berputar-putar di atas genangan darah dan berhenti di depan kakiku.
"Ambil itu, Kazu-kun."
Ambil apa? Pisau itu?
Aku melihat ke arah pisau itu lagi.
Darah yang melumurinya semakin bertambah banyak sekarang. Pisau itu menjadi terlihat merah tua.
"Hey~, Kazu-kun. Apa kau menyukaiku? Jika iya--"
Aku mengangkat wajahku dan melihat bibirnya bergerak.
"--Aku akan membunuhmu. Jadi berikan padaku pisau itu."
---- Apa?
Aku tidak mengerti. Aku tahu apa maksud kata-katanya, tapi aku tidak mengerti apa yang barusan dia katakan padaku.
"Apa kau tidak mendengarku? Kubilang berikan padaku pisau itu supaya aku bisa membunuhmu."
Dia mengulangi kata-katanya lagi. Sepertinya aku tidak salah mendengarnya.
"Mogi, apa kau sudah gila?! Bukankah kau menyukai Kazuki?! Kenapa kau meminta hal seperti itu?!"
"Kau benar. Aku menyukainya! Tapi karena itulah aku ingin dia mati. Bukankah aku sudah bilang kalau itu semua salah Kazu-kun makanya aku menderita? Oleh karena itu, aku ingin dia menghilang dari pandanganku. Bukankah itu kesimpulan yang logis?"
Mogi-san berkata begitu seperti kalau itu memang hal yang normal.
"Sejak awal, memangnya kenapa kaupikir aku akan mengambil umpanmu, meski aku tahu kalau Kazu-kun akan datang? Yah, Aku punya tujuanku sendiri! Aku telah membuat keputusan. ---Keputusan untuk membunuh Kazu-kun."
Mogi-san mengeluarkan kata-kata itu sambil melirik ke arahku.
"Aku bisa 'menolak' Kazu-kun dengan membunuhnya. Dia akan menghilang dari pandanganku. Jika itu terjadi, aku yakin kalau aku tidak akan menderita lagi. Aku akan bisa tinggal di sini selamanya."
"Mogi, Apa-apaan omongan yang tidak masuk di akal---ugh! Ah--"
Maria tiba-tiba merintih dan menunduk ke bawah. Dia memegangi bagian kiri tubuhnya.
"...? Maria?"
Sesuatu tertusuk ke bagian kiri tubuhnya.
...eh? Tertusuk?
"Ah--- Ma-Maria!"
Maria melihat ke benda yang tertusuk di tubuh bagian kirinya. Menggertakkan giginya, dia menarik keluar benda asing itu tanpa ragu. Dia merintih lagi dalam kesakitan. Melotot ke arah Mogi-san, Dia melempar benda yang telah dia cabut.
Aku melihat ke arah benda yang berguling di atas lantai. Itu adalah sebuah pisau lipat.
"Kau lengah. Kau mungkin sudah menguasai semua jenis bela diri, tapi itu tidak membuatmu kebal dengan serangan mendadak. Pisau murahan ini tidak efektif sama sekali melawan para anak laki-laki, tapi itu seharusnya lebih dari cukup untuk tubuhmu yang ramping itu, benar, 'kan? Maaf saja, tapi kekuatan tubuhmu tetap sama di dunia ini tidak peduli betapa banyak pun kau melatihnya!"
Maria mencoba berdiri, tapi sepertinya luka yang dialaminya parah, jadi dia gagal melakukannya. Darah terus mengalir keluar dari bagian kiri perutnya.
"Aku telah melewati berbagai hal juga, kau tahu. Jadi kupikir akan lebih baik jika aku membawanya. Aku selalu membawa pisau ini tersembunyi di tubuhku."
Mogi-san berjalan hingga dia berdiri di hadapanku. Dia menunduk dan mengambil pisau dapur yang jatuh tadi.
"Ah--"
Meski dia sbenar-benar lengah, aku tidak bisa melakukan apapun kecuali bersuara. Aku tidak bisa bergerak, seperti aku telah membatu. Aku tidak bisa melakukan apa pun kecuali tetap berdiri seperti sebuah paku di dinding.
Bukan hanya tubuhku. Pikiranku juga membeku karena tidak dapat menerima kenyataan yang terjadi di depan mataku.
"Bukankah aku berkata seperti itu, Aya Otonashi? Orang yang pada akhirnya akan menghilang tidak penting."
Mogi-san duduk di atas Maria dan mengangkat pisau dapurnya.
Dia mengayunkannya ke bawah tanpa ragu. Terus menerus. Berulang kali. Hingga napas Maria benar-benar berhenti.
Maria tidak mengeluarkan erangan memalukan sedikit pun selama dia ditusuk... moaning when in pain because someone friggin guts you is disgraceful?-->
"Jika kau tetap hanya menjadi perusak pemandangan seperti sekelompok lalat yang mengelilingi kotoran, aku masih bisa mengampunimu. Tapi tidak, kau sudah mendekati Kazu-kun milikku!"
Mogi-san mengoceh dan berdiri.
Maria tidak bergerak lagi.
Mogi-san melihat ke arah pisau dapur yang telah dia tusukkan ke Maria beberapa kali itu. Lalu dia melemparnya ke dekat kakiku.
Dengan reflex aku melihat ke arah pisau itu. Ke pisau yang sudah berlumuran darah Kokone dan Maria.
"Baiklah kalau begitu, selanjutnya giliranmu Kazu-kun."
Aku menunduk dan dengan ragu menyentuh pisau dapur itu. Aku segera menarik tanganku ketika aku merasakan sensasi licin dari menyentuh darah. Aku meneguk ludah dan sekali lagi mencoba memegang pisau itu. Tanganku gemetaran. Aku tidak bisa menggenggamnya dengan benar. Aku menutup mataku dan memaksa diriku untuk menggenggamnya. Aku membuka mataku lagi. Kenyataan kalau aku sedang memegang senjata yang telah membunuh Kokone dan Maria membuat tanganku lebih gemetaran. Aku hampir saja menjatuhkannya. Aku menggenggamnya dengan kedua tanganku untuk menghilangkan gemetarannya.
Aah, aku tidak bisa.
Aku benar-benar tidak bisa melakukan apa pun dengan pisau ini.
"Apa yang kau lakukan, Kazu-kun? Ayolah... berikan pisau itu padaku!"
Tidak, ini bukan hanya aku. Tidak ada siapapun yang bisa melakukan sesuatu dengan pisau ini.
Itu berarti--
"...Siapa yang membuatmu melakukan semua ini, Mogi-san?"
Mogi-san seharusnya juga tidak bisa melakukan apa pun dengan benda ini. Dia tidak mungkin bisa melakukan hal seperti ini.
Kecuali dia telah dihasut oleh seseorang.
Dia menatapku dengan bingung.
"...Apa yang kaubicarakan? Apa kau mau mengatakan kalau seseorang membuatku melakukan ini? Apa kepalamu baik-baik saja, Kazu-kun? Itu tidak mungkin, 'kan? Benar, 'kan?"
"Tapi aku jatuh cinta padamu."
"......Apa yang mau kaukatakan?"
"Bahkan setelah mengalami lebih dari 20,000 pengulangan, bahkan setelah dipojokkan, kau tidak akan pernah melakukan hal seperti ini, Mogi-san. Gadis yang kucintai tidak akan pernah melakukan hal seperti ini!"
Untuk sesaat Mogi-san tercengang mendengar kata-kataku, tapi kemudian dia melotot kearahku dan menjawab.
"...Oh begitu. Jadi dengan mengguncang emosiku, kau ingin aku mengampunimu ya? Aku kecewa. Aku tidak pernah mengira kalau kau begitu pengecut. Jadi kau benar-benar tidak mau mati demi diriku, ya, 'kan?"
Tentu saja aku tidak mau. Lagi pula, aku tidak ingin mati dan aku tidak percaya kalau dia akan terselamatkan jika aku mati.
"......Kazu-kun, kau berpikir kalau membunuh itu adalah hal yang sangat tabu, 'kan?"
"...Ya."
"Ufufu, betapa jujurnya. Ya, kau benar. Kau sungguh-sungguh benar!"
Dia berkata begitu dan mengintip ke dalam mataku.
"---Jadi, selama hidupmu... tidak, silakan kau tinggal di sini untuk selamanya."
Dia berkata padaku dengan suara yang dingin.
Mungkin karena dia tahu kalau inilah yang paling tidak kuinginkan.
"Karena --- jika aku menyerahkan 'box'-ku, aku akan mati."
Dengan kata lain, dia akan mati jika 'Rejecting Classroom' berakhir? Maria tidak menyebutkan sama sekali tentang hal itu.
"Apa kau mengerti? Dengan keluar dari 'box' ini kau akan membunuhku. Apa kaupikir aku berbohong? Apa kaupikir aku hanya asal mengatakan alasan untuk melindungi 'box' itu? Tidak! Kau akan mengerti jika kau memikirkan tentang hal itu! Maksudku, kenapa kaupikir aku memohon untuk kembali ke masa lalu?"
Kapan saatnya seseorang ingin memutar kembali waktu? Mungkin ketika beberapa tragedi terjadi...?
"Tidakkah kau heran kenapa aku selalu tertabrak oleh truk itu? Sejujurnya, ada waktu ketika Aya Otonashi mengorbankan dirinya untukku... ah, omong-omong, ada juga waktu ketika kau mengorbankan dirimu. Tapi, hampir setiap kali itu hanya aku, 'kan?"
"Ah---"
Jangan bilang---
Akhirnya aku menyadari sebuah penjelasan yang mungkin.
Kenapa Mogi-san tidak mengakhiri 'Rejecting Classroom'?
Kecelakaan lalu lintas itu adalah sebuah fenomena yang pasti terjadi di dalam 'Rejecting Classroom'. Seseorang, terutama Mogi-san, selalu terkena kecelakaan itu. Aku tidak tahu kenapa, tapi itu sudah menjadi kepastian.
«Kupikir --- begitu sesuatu telah terjadi, itu tidak bisa lagi menjadi tidak terjadi.»
Aku pernah mengatakan kata-kata itu sekali. Maria menjawab dengan kalimat berikut. 'Pemikiranmu itu wajar. Dan sepertinya, si pembuat dari 'Rejecting Classroom' ini juga berpikir sepertimu'.
Jadi, misalkan aku punya kesempatan untuk menghancurkan 'box'-nya. Bukankah melakukan itu sama artinya dengan---
"Apa kau sudah siap untuk membuatku menjadi korban kecelakaan?"
---membunuh gadis yang kucintai?
Sebuah suara yang tumpul terdengar. Aku pertama-tama heran suara apa itu sebenarnya, tapi akhirnya aku menyadari kalau pisau di tanganku telah jatuh ke lantai.
"Kau bahkan tidak bisa menyerahkan pisau itu padaku? Sungguh menyedihkan..."
Mogi-san berjalan ke sisi-ku. Dia mengambil pisau itu.
Dia mungkin akan membunuhku sekarang.
Karena dia telah melakukan begitu banyak dosa, dia hanya bisa membenarkan dirinya dengan terus melakukannya. Jika dia tidak melakukannya, dia akan hancur oleh nuraninya sendiri. Dia sudah tidak bisa kembali lagi. Dia telah kehilangan cara untuk mengontrol dirinya, jadi dia akan mengamuk dan membunuhku.
Sepertinya --- «Kasumi Mogi» berhenti menjadi «Kasumi Mogi» ketika dia membunuh korban pertamanya.
Di wajahnya yang tanpa ekspresi itu adalah darah dari dua gadis.
Dia membungkuk hingga sejajar denganku karena aku tidak bisa berdiri.
Dia melingkarkan tangannya di sekitarku dengan pisau di tangannya. Dia menaruh tangannya di belakang leherku dan mendekatkan pisaunya ke arteri carotid di leherku.
Wajah Mogi-san mendekat, lalu dia membuka mulutnya.
"Tolong tutup matamu."
Aku menutup mataku seperti yang dia katakan padaku.

Sesuatu yang lembut menyentuh bibirku.

Aku segera menyadari apa yang menyentuhku.
Pada akhirnya, sebuah emosi tertentu meluap di dalam diriku. Emosi yang tidak muncul bahkan ketika aku melihat mayat Kokone atau di saat aku melihat Maria ditusuk.
Itu adalah kemarahan.
Aku --- tidak bisa memaafkan hal ini.
"Ini bukan pertama kalinya aku menciummu, kau tahu? Tapi maafkan aku karena semuanya selalu begitu dipaksakan."
Aku tidak bisa memaafkan ini. Yang kumaksud, aku bahkan tidak bisa mengingat hal itu. Dan aku yakin aku tidak akan bisa mengingatnya kali ini juga.
"Selamat tinggal, Kazu-kun. Aku mencintaimu!"
Apa dia benar-benar puas dengan memori yang tidak bisa dia bagi dengan siapapun? Yah, Mogi-san mungkin saja puas dengan hal itu, melihat bagaimana dia telah terbiasa sendirian sekarang.

Sebuah rasa sakit yang menyengat terasa di bagian belakang leherku.
Aku menghianati permintaan Mogi-san dan membuka mataku.
Mogi-san menjadi marah tapi aku tidak bisa mengalihkan pandangannnya tepat waktu. Aah, akhirnya mata kami bertemu.
Aku menggenggam tangannya.
Di ujung mataku, aku bisa melihat bagaimana cairan merah mengalir dari leherku menuju tangannya dan menetes ke bawah.
"...Apa yang kaulakukan?"
"Aku... tidak bisa memaafkan..."
"Kau tidak bisa memaafkanku? Fufu... Aku tidak peduli. Aku sadar akan hal itu. tapi itu tidak penting! Lagi pula ini sudah perpisahan."
"Bukan itu."
"...Lalu, apa?"
"Bukan kau yang tidak bisa kumaafkan. Yang tidak bisa kumaafkan adalah 'Rejecting Classroom' yang sangat berbeda dari kehidupan sehari-hari!"
Aku menguatkan genggamanku di pergelangannya. Tangannya yang mungil tertekan oleh tanganku. Sesaat penglihatanku menjadi gelap. Pendarahan di leherku mungkin fatal.
"Le-lepaskan aku---!"
"Tidak akan!"
Aku masih belum tahu apa yang harus kulakukan. Aku yakin kalau aku tidak bisa membunuhnya. Tapi aku dengan jelas menyadari satu hal: 'Rejecting Classroom' ini tidak bisa dimaafkan. Oleh karena itu aku tidak boleh menghilang sekarang.
"Biarkan aku membunuhmu! Tolonglah, biarkan aku membunuhmu!"
Dia berteriak. Meskipun seharusnya itu adalah kata-kata penolakan, itu terdengar seperti kalau dia menangis karena kesakitan. Hampir seperti sebuah ratapan.
...Ah, aku mengerti. Akhirnya aku sadar.
Dia menangis.
Di penampilannya, dia tanpa ekspresi seperti biasanya. Dia tidak meneteskan air mata sedikit pun. Aku melihat lurus ke arahnya. Dengan segera dia mengalihkan pandangannya. Kakinya yang kurus dan lemah bergetar sepanjang waktu. Dia tidak bisa menyadari perasaannya sendiri, karena dia telah kehilangan ekspresi wajahnya. Dia bahkan tidak bisa menyadari kalau dia menangis. Air matanya tidak mengalir lagi. Mungkin mereka sudah lama kering.
Maaf aku tidak menyadarinya lebih cepat.
"Aku tidak akan membiarkanmu membunuhku. Aku tidak akan membiarkanmu menolakku."
"Jangan bercanda denganku! Jangan menyiksaku lebih dari ini!"
Maafkan aku, tapi aku tidak bisa mendengarkan permohonan itu.
Maka--
"Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian di sini!"
Aku berteriak.
Mungkin itu hanya imajinasiku saja, tapi aku merasa kalau Mogi-san menjadi tenang sesaat.
Meski begitu...!
"Ah---"
Pandanganku berubah gelap sepenuhnya. Sebuah benturan di tulang pipiku mengembalikan penglihatanku sementara. Pemandangannya telah berubah. Sepatu Mogi-san yang berlumuran darah berada tepat di depan mataku. Tanganku tidak menggenggam pergelangan tangannya lagi, tapi terbaring tanpa tenaga di atas lantai.
Dia tidak melakukan apa pun terhadapku. Aku hanya terjatuh sendiri.
Meski aku yakin kalau aku sudah menemukan sebuah cara untuk meyakinkannya, aku tidak bisa bergerak lagi sekarang. Aku bahkan sulit untuk menggerakkan mulutku.
"Aku sungguh bodoh."
Aku mendengar suaranya.
"Hanya karena ini, hanya karena kalimat seperti itu, aku---"
Aku tidak tahu seperti apa wajahnya terlihat ketika dia mengatakan hal itu, karena aku tidak bisa mengangkat wajahku.
"............Aku harus... membunuh. Aku harus membunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh. Aku harus membunuh."
Seperti menginstruksikan dirinya sendiri, dia mengulangi kata-kata yang sama.
Sepatunya bergerak. Darah seseorang terciprat ke wajahku. Aku melihat cahaya pantulan dari pisau dapur itu sedikit. ---Ah, dia berniat menggunakannya.
"Sekarang ini benar-benar perpisahan, Kazu-kun."
Dia menunduk dan pelan-pelan mengelus punggungku.
"---Aku harus membunuh..."
Dan kemudian dia menusukkan pisaunya ---
"--Aku harus membunuh diriku sendiri."
--- ke tubuhnya sendiri.

Ke-27,755 kali (4)[edit]

"---Aku harus membunuh diriku sendiri."
Aku mati-matian memerintahkan diriku sendiri. Hanya ini satu-satunya cara. Satu-satunya cara bagiku untuk mencegah diriku menjadi «diriku» yang palsu lagi.
Aku akan membuang segalanya.
Hanya ini cara yang bisa kupikirkan untuk menebus dosa-dosaku.
Aku menusukkan pisau dapur itu ke bagian tengah tubuhku.
Aku terjatuh di atas tubuh Kazu-kun. Wajahnya tepat berada di depanku. Dia akhirnya menyadari apa yang telah kulakukan dan melihat ke arahku dengan mata yang terbuka lebar.
Tolong jangan membuat wajah seperti itu. Aku mencoba menenangkannya dengan tersenyum --- tapi kemudian aku sadar kalau aku tidak bisa tersenyum lagi. Lagi pula aku sudah tidak pernah tersenyum ataupun menangis lagi selama puluhan tahun terakhir.
Temperatur tubuhku semakin dan semakin menurun.
Kuharap semua kekotoran di dalam diriku juga akan pergi bersama dengan temperatur tubuhku...
«Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian di sini!»
Terima kasih. Tapi itu tidak mungkin. Sejak awal itu tidak mungkin.
Bagaimana mungkin itu bisa terwujud? Soalnya---
---Aku sudah lama mati.

Ke-0 kali (2)[edit]

Aah, aku akan mati.
Ketika aku masih hidup untuk waktu yang lumayan lama setelah terpental oleh tabrakan truk, pikiran itu terus-menerus muncul di kepalaku. Aku tidak mungkin selamat terkena tabrakan seperti itu. Aku akan mati. Hidupku berakhir di sini.
Ti-Tidak, aku tidak mau itu---
Itu adalah kata-kata yang terdengar bodoh karena diucapkan olehku yang tidak pernah serius memikirkan konsep tentang kematian, meski aku pernah berpikir untuk mati beberapa kali.
Untuk mati. Untuk berakhir di sini. Tidak ada apa pun yang menantiku. Aku menyadari kengeriannya sekarang, ketika aku hampir mati.
Jika ini memang harus terjadi, setidaknya terjadilah sebelum cinta mengubah duniaku!
Tapi sekarang, aku tahu tentang cinta!
Aku mempunyai tujuan!
Aku belum melakukan apa pun untuk dirinya!
---ini terlalu kejam.
"Mhm, situasi ini menarik perhatianku."
Seorang pria (wanita?) muncul entah dari mana. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa muncul. Lagi pula, kenapa dia bisa berbicara sewajar itu terhadapku? Aku pun tidak bisa merasakan di mana dia berdiri. Seluruh tubuhku terpelintir jadi aku tidak tahu di arah mana aku melihat. Dan meski begitu, orang itu tidak mengalihkan matanya dariku. Situasi ini sangat mustahil. Ah, tidak, itu tidak benar. Aku telah dipindahkan ke suatu tempat yang tidak kukenali dan sekarang sedang berdiri di depan orang itu. Aku tidak tahu di mana aku berada. Walaupun aku tidak mendapat kesan apa pun dari tempat ini, tapi ini adalah tempat yang spesial.
"Jangan salah sangka, aku tidak membicarakan tentang kecelakaanmu. Kecelakaan seperti itu biasa dan sering terjadi di mana pun di seluruh dunia. Apa yang menarik perhatianku adalah kecelakaan ini terjadi di dekat anak laki-laki yang membuatku tertarik."
Apa yang dibicarakannya?
Kudengar kau akan melihat pengulangan dari kehidupanmu ketika kau akan mati, tapi aku tidak pernah mendengar kalau aku akan dibawa ke tempat aneh seperti ini dan berbicara dengan orang aneh.
Apa dia itu pencabut nyawa atau sejenisnya?
Seseorang yang tidak mirip dengan siapapun, meski menyerupai semua orang.
Tapi satu hal yang pasti. Dia itu menawan. Penampilannya, suaranya, baunya memikatku.
"Aku ingin melihat bagaimana anak itu bereaksi terhadap 'box' yang digunakan di sekelilingnya. Ah, tapi tentu saja aku juga tertarik bagaimana kau menggunakan 'box' itu. Lagi pula aku tertarik pada seluruh umat manusia. Yah, tapi tentu saja kau hanya seorang «tambahan»."
Mengatakan hal-hal yang tidak kumengerti, orang itu tersenyum.
"Apa kau punya sebuah permohonan?"
Permohonan?
Tentu saja aku punya.
"Ini adalah 'box' yang mengabulkan permohonan apa pun."
Aku menerimanya.
Aku segera menyadari kalau benda ini sungguhan. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk tidak melepaskan 'box' ini.
Kumohon, jika aku tidak bisa mengubah akhir hidupku ini, setidaknya, biarkanlah aku mengulanginya beberapa kali. Tidak apa-apa meski itu hanya kemarin. Ada sesuatu yang masih belum kulakukan. Bahkan jika hanya kemarin, aku bisa menyatakan perasaanku. Jika aku bisa melakukannya, aku yakin kalau aku tidak akan menyesal. Tidak peduli apa pun jawabannya, aku tidak akan menyesal. Kumohon, kembalikan waktunya sedikit. aku sadar kalau itu mustahil. Tapi tetap saja, itulah permohonanku.
Ketika aku memohon begitu, 'box'-nya terbuka seperti mulut seekor karnivora dan menghilang, bersatu dengan tempat ini.
Baiklah. Seperti ini pun tidak apa-apa.
"Fufu--"
Orang dengan senyuman yang menawan itu mengomentari permohonanku dengan sebuah kalimat.
"--Itulah yang kau dapat karena membatasi dirimu sendiri."
Lalu dia menghilang.
Dan aku terlempar keluar dari tempat spesial yang tidak meninggalkan kesan sedikit pun terhadapku itu.
Aku sampai di sebuah ruangan yang diselimuti dengan kegelapan, yang bau busuknya menyengat hidungku seperti puluhan mayat telah ditinggalkan di sana. Itu adalah ruangan yang sangat menjijikkan, hingga penjara pun akan terlihat seperti surga jika dibandingkan. Aah, jika aku berada di sini meski hanya satu jam aku bisa pingsan. Tapi ruangannya mulai berubah warna menjadi putih. Warna putihnya membuatku tidak bisa melihat batas-batas dari ruangan ini. Lalu, seperti seseorang menyalakan dupa yang terbuat dari gula, sebuah wangi yang manis menghapus bau busuk itu. Setiap kali aku berkedip, benda-benda yang diperlukan di ruang kelas seperti papan tulis, meja, dan kursi bermunculan. Ruangannya selesai diisi, dan yang tersisa hanyalah untuk memanggil aktor yang diperlukan. Memasukkan orang-orang yang memasuki ruang kelas kami kemarin. Jika itu telah selesai, aku bisa mengulanginya. Aku bisa mengulangi hari kemarin.
Tapi tidak peduli seberapa bersihnya, tempat ini masih merupakan ruangan yang lebih buruk dibandingkan penjara mana pun itu.
Dunia setelah kematianku, dibungkus dengan harapan yang putih, putih, dan putih.
Jadi, ya. Jika aku sepertinya tidak bisa mencapai tujuanku---
---aku akan menghancurkan 'box' ini sendiri. Sebelum dekorasi yang indah ini menghilang, menunjukkan pemandangan yang menjijikkan itu padaku sekali lagi.

Ke-5,000 kali[edit]

"Kenapa nggak lo bunuh aja?"
Haruaki-kun dengan bercanda menyarankan saran yang gila dan super nggak jelas itu ketika aku sedang berkonsultasi dengannya.

Ke-6,000 kali[edit]

"Kenapa enggak lo bunuh aja?"
Haruaki-kun dengan bercanda menyarankan saran yang sama seperti sebelumnya ketika aku sedang berkonsultasi dengannya.

Ke-7,000 kali[edit]

"Kenapa enggak lo bunuh aja?"
Haruaki-kun dengan bercanda menyarankan saran yang menurutku cukup masuk akal.

Ke-8,000 kali[edit]

"Kenapa enggak lo bunuh aja?"
Haruaki-kun dengan bercanda menyarankan teorinya kepadaku.

Ke-9,000 kali[edit]

"Kenapa enggak lo bunuh aja?"
Haruaki-kun dengan bercanda menyarankan saran paling dasar ini.

Ke-9,999 kali[edit]

Dia telah mengatakan padaku cara untuk menghapuskan dirinya.
"Bagaimana cara kau meyakinkan diri bahwa kau tidak akan bertemu seseorang lagi?"
Haruaki menyarankan banyak cara padaku. Begitu banyak cara hingga aku muak mendengarnya. Akhirnya, kami sampai pada kesimpulan kalau perasaan bersalah adalah cara terbaik untuk membuat seseorang tidak ingin bertemu dengan orang tertentu. Lagi-lagi, seperti biasanya.
Dan, seperti biasanya, dia juga memberitahuku bagaimana cara supaya aku bisa menciptakan perasaan bersalah itu terhadap seseorang.
"Kenapa kau tidak membunuhnya saja?"
Haruaki-kun dengan bercanda menyarankan cara terakhir yang tersisa bagiku.
"Itu adalah cara yang paling efektif. Yah, tapi jika kau memang membunuhnya, kau tidak perlu khawatir untuk bertemu dengannya lagi, heh!"
Kenapa aku harus 'menolak' Haruaki-kun? Yah, kupikir kalau dia lenyap akan membuat perbedaan besar di dalam hubunganku dan Kazu-kun yang sekarang.
Hidup di dunia ini mirip dengan bermain Tetris yang tidak bisa diakhiri. Awalnya kau berusaha keras untuk melewati nilai tertinggi yang ada. Itu memang menyenangkan. Tapi pada akhirnya kau akan berhenti mempedulikan tentang nilaimu. Lagi pula, tidak peduli apakah kau mencapai nilai tertinggi atau tidak; itu hanyalah sebuah permainan yang akan direset. Dan kemudian kau akan mengulanginya dari awal lagi. Tidak ada yang berubah bahkan jika kau mengalami Game Over. Kau masih mencoba untuk bersenang-senang, tapi jika kau tidak bermain dengan sungguh-sungguh, layarnya akan penuh dengan cepat. Membosankan, tidak menarik, dan menjadi semakin sulit dimainkan. Menyakitkan. Kau kehilangan semangat untuk menggerakkan baloknya. Kau hanya tidak peduli. Tapi bahkan jika kau tidak peduli, baloknya akan tetap berdatangan. Tidak peduli berapa kali pun mereka mencapai puncak, kau tidak bisa menghentikan permainannya. Jika aku berhenti, aku akan mati. Dan aku tidak menginginkan hal itu karena aku mempunyai tujuan yang harus kucapai. Aku harus melewati hari ini tanpa penyesalan. Itulah kenapa aku harus mengubah keadaan saat ini bagaimanapun caranya.
Dan Haruaki adalah salah satu bagian penting dari keadaan saat ini.
Makanya, aku harus 'menolak-'nya.
"......Apa kau bisa sekali lagi memberitahuku bagaimana aku bisa menciptakan perasaan bersalah itu?"
"...Ada apa Kasumi? Yah, aku tidak peduli, sih...,"
kata Haruaki, seperti biasanya.
"Kenapa kau tidak membunuhnya saja"
Dengan ini, itu adalah jawaban yang ke-1000 kalinya.
Benar! Itulah satu-satunya cara. Ya, memang begitulah seharusnya. Kau mengerti, 'kan? Kau mengatakan hal itu padaku sebanyak 1,000 kali, jadi kau mengerti, 'kan? Atau mungkin, kau ingin aku melakukannya, ya kan?
—Kau ingin aku membunuhmu, benar, 'kan?

Ke-10,000 kali[edit]

"Kumohon, hentikan! Kumohon, jangan bunuh aku!"
Aku tidak akan mengacuhkan permohonannya.
Aku akan membunuh Haruaki Usui.
Lagi pula, bukankah dia sendiri yang menyarankannya?
Aku mem***uh Haruaki Usui.
Kemudian aku menghilang. Seseorang yang dulu dikenal sebagai Kasumi Mogi menghilang. Kupikir aku tidak akan pernah lagi melihat 'aku' yang sudah hancur di penderitaan, menjadi debu dan tertiup terbawa angin menuju ke suatu tempat. Meski begitu, tubuhku akan tetap pulih kembali. Tubuhku akan tetap pulih kembali untuk selamanya, meskipun kosong di dalamnya.
Aku merasa sesuatu memasuki tubuh kosongku.
Sesuatu yang kotor yang terlahir di 'box' ini. Sesuatu yang benar-benar tidak masuk akal dan berbau menjijikkan seperti sekumpulan serangga mati digabung bersama kotoran. Aku menolaknya. Aku terus menolaknya. Tapi aku tahu dengan baik kalau: Aku bisa saja menolak benda ini semauku, tapi benda ini akan memasuki tubuhku sedikit demi sedikit melalui celah di tubuhku. Benda itu mendengus titik lemahku bagaikan seekor Hyena dan mulai mewarnaiku hitam pekat dengan memakan tubuhku. Aku menjadi hitam pekat dan bahkan kehilangan kesadaran siapa diriku sebenarnya. Aku menjadi seorang tiruan yang masih menggunakan wajah asliku.
Tapi tetap saja, aku nggak bisa membiarkan ini selesai begitu saja.
Aku akan menghabiskan waktuku hari ini tanpa rasa penyesalan!
---hari tanpa rasa penyesalan?
"Hahaha."
Apa aku bodoh? Bagaimana aku bisa melakukannya di sini? Ini adalah dunia setelah kematianku. Jadi bagaimana mungkin penyesalanku di dunia nyata hilang dengan melakukan sesuatu di dunia alternatif ini? Bahkan jika Kazuki mengakui perasaannya padaku di dunia ini, tetap saja semuanya sia-sia. Bagaimana mungkin aku bisa merasa puas di 'hari ini' yang benar-benar terpisah dari dunia nyata? ...Lihat, tidak ada satu pun yang logis.
Akhiran yang sudah kutunggu.
Untuk mengejar hal ini, selama pengulangan yang sudah terjadi selama ini, aku sudah mencoba sebisaku untuk melakukan percakapan ini.
Tapi aku bahkan tidak tahu apakah ini akhir yang benar-benar aku inginkan selama ini.
Aku sudah mencarinya selama ini tanpa mengetahui benda apa itu sebenarnya.
Dan kemudian, aku sampai pada kesimpulan kalau ternyata, tidak ada akhiran seperti itu.
"Aku tidak mau mati!"
Aah --- Heh. akhirnya, aku tahu.
Jadi itulah 'keinginanku'.
Jadi itulah kenapa 'keinginanku' tidak bisa dipenuhi untuk selamanya.
Dan karena aku tidak bisa mengetahui hal itu sebelumnya, aku mengubah 'box' terlalu banyak. 'Keinginanku' yang menyimpang ini berganti menjadi «belenggu» yang tidak mau menghilang. «Belenggu» ini ada di dalam 'box', dan tidak mau menghilang.
«Belenggu» ini tetap berada padaku dan terus menggerakkan tubuh palsuku.
Jadi aku yakin meski aku menghilang, 'box' ini tidak akan menghilang. Tidak akan pernah.

Ke-27,755 kali (5)[edit]

"Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian di sini!!"
Hanya karena kata-kata itu, aku bisa kembali menjadi Kasumi Mogi yang dulu untuk beberapa saat.
"Aku benar-benar bodoh."
Bukankah aku sudah memutuskannya? Bukankah sejak awal aku sudah memutuskan kalau aku akan menghancurkan 'box'-nya sebelum aku kehilangan tujuanku dan mempermalukan diriku sendiri?
Tapi semua pengulangan yang tak terbatas itu membuat tekadku terus melemah dan melemah hingga seluruh tekad yang kukumpulkan itu menghilang.
Waktu itu, ketika aku membunuh seseorang yang namanya sudah tidak kuingat lagi, aku telah kehilangan semua harapan untuk kembali lagi.
Tapi---
"Hanya karena ini, hanya karena kata-kata seperti ini, aku--"
---itu masih mungkin.
Cintaku telah menyelamatkan diriku di saat-saat terakhir.
Tapi aku tahu kalau aku akan segera terperangkap lagi.
Aku akan terperangkap lagi oleh 'box' itu.
Oleh karena itu, selagi aku masih «Kasumi Mogi» --- aku harus membunuh diriku sendiri.
"Selamat tinggal, Kazu-kun."

Dan sekarang, 'box' yang tidak bisa memberikanku kebahagiaan meskipun sangat praktis ini, akan hancur.
Aku bisa meninggalkan dunia ini di dekat orang yang kucintai. Mungkin ini malah kejadian yang membahagiakan bagiku. Jadi, tidak apa-apa jika seperti ini. Aku tidak apa-apa.
Aku menutup mataku.
Aku tidak akan membuka kedua mataku la---

"Siapa yang mengizinkanmu untuk mati?"

Aku terkejut dan membuka kedua mataku.
Orang tak kukenal yang dulu memberikanku 'box' itu berdiri di sana. Kazu-kun sepertinya tidak menyadarinya, jadi kurasa hanya aku yang bisa melihatnya.
Ketika mata kami bertemu, orang itu tersenyum dengan tenang.
"Aku masih ingin mengamati anak itu. Akan menyusahkanku jika kau mengakhiri semua ini sesukamu sendiri. Ini adalah kesempatan yang luar biasa karena aku memiliki kesempatan untuk mengobservasi anak itu dalam waktu yang tidak terbatas."
Apa? ...Apa yang dia katakan?
"Tapi yah, kupikir itu tidak menyenangkan jika situasinya selalu sama. Hm... sebenarnya ini bertentangan dengan prinsipku, tapi bolehkah aku mengambil 'box' itu kembali? Aku akan mengutak-atiknya sedikit. Lagi pula, kau, 'kan, berniat untuk menghancurkannya, jadi kau pasti tidak keberatan, 'kan?"
Tanpa menunggu jawabanku, dia menempatkan tangannya di dadaku. Di saat dia melakukannya...
"Ugh, aaaah! AAaaAAahhh!!"
Aku merasakan sakit yang tak terbayangkan. Rasa sakit yang mampu membuatku berteriak, meskipun aku sudah terbiasa ditabrak truk, bahkan aku tidak bersuara ketika menusuk diriku sendiri. Rasa sakit ini berbeda. Rasanya seperti jiwaku dipotong hingga seribu bagian. Rasa sakit yang menyerang langsung ke saraf dan tidak bisa ditahan.
Dia mengeluarkan 'box' yang sebesar tangan itu dan tersenyum.
"Aah, kupikir kau sudah tahu, tapi kukatakan sekali lagi, 'box' ini tidak bisa bekerja tanpamu lagi. Jadi kau akan kumasukkan ke dalam 'box' ini."
Setelah mengatakannya, dia mulai melipatku.
Dia melipat dan melipatku, lalu memasukkanku ke dalam 'box' itu.

Kazu-kun. Kumohon, Kazu-kun.
Aku tahu kalau aku egois. Aku juga tahu kalau aku kurang ajar karena masih memohon padamu setelah melakukan hal seperti itu padamu. Tapi, tapi --- aku tidak---aku tidak tahan lagi--
Kazu-kun, tolong aku---

Ke-27756 kali[edit]

Aku harus mengakhiri ‘Rejecting Classroom’ dan mendapatkan kembali kehidupan sehari-hariku.
Apa halangan terbesar yang mungkin aku hadapi? Contohnya, dipaksa menggunakan sebuah benang tipis untuk menyeberang dari satu bangunan ke yang lain? Mengulang satu hari yang sama ribuan kali?
Aku tidak bepikir itulah yang harus kuhadapi. Maksudku, aku masih bisa menemukan cara melalui halangan-halangan itu. Sesulit apapun, aku masih bisa mendapatkan kemampuan yang dibutuhkan selama waktu yang tidak terbatas yang aku miliki.
Tidak, aku percaya kalau hal terburuk yang mungkin kuhadapi adalah tidak tahu ‘’apa’’ rintangannya.
Kalau aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, aku bisa dibilang tidak berdaya. Tapi karena waktu membeku di sini, berlalunya waktu tidak akan menyelesaikan masalah bagiku.
Dan sekarang—aku menghadapi kemungkinan paling buruk.
“Ada apa, Hoshii? Ada yang aneh padamu hari ini.”
Saat istirahat sesudah jam pertama, Haruaki berbicara padaku sambil tertawa kecil.
Pelajaran baru usai, jadi belum ada yang meninggalkan kelas. Mogi-san masih duduk di kursinya. Benar--semua 38 teman sekelasku ada.
Aku mencoba memahami kenapa orang-orang yang ‘ditolak’ kembali, tapi untuk suatu alasan, aku lupa mengenai semua hal dari pengulangan terakhir. Aku merasa kami menemukan sesuatu, tapi aku tidak bisa mengingat apapun.
Tapi tidak apa-apa. Masih tidak apa-apa.
Kalau kami berhasil menemukan sesuatu yang penting, kami akan kembali menemukannya dengan segera. Kembalinya semua teman sekelasku masih menjadi misteri, tapi hal itu tidak mempengaruhi misi ku.
Itu bukan masalahnya.
“Tapi hari ini benar-benar membosankan~. Tidak ada kejadian apa-apa!”
Tidak ada hal spesial yang terjadi.
Perkataan Kokone membuat perasaan sakit tumpul mengaliri dadaku.
Aku tidak ingin mempercayainya. Aku tidak mau menerima keadaan sekarang.
“Daiya.”
Aku memanggil Daiya, yang berada di belakangku, dengan suara memohon. Dia menoleh ke arahku, menunggu pertanyaanku.
“Apa kau mendengar sesuatu mengenai murid pindahan hari ini?” Aku berkata, sedikit berharap dia akan menggangguk sebagai jawaban. Tapi pertanyaanku—
“Hah? Apa yang kau bicarakan?”
--ditolak dengan kernyitan, sesuai dugaan.
Benar --- Aya Otonashi tidak lagi ‘pindah’.
Karenanya, aku bingung apa yang harus kulakukan sekarang.
Menemukan si ‘pemilik’. Dan kemudian, apa? Mengambil ‘kotak’nya? Menghancurkan ‘kotak’ itu? Bagaimana aku melakukannya?
Aku bermaksud menemukan jawabannya bersama Maria. Tapi itu hanya aku yang pemalas. Aku benar-benar bergantung padanya, jadi aku tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang saat dia tidak ada di sini.



“Tapi dengar, bukankankah tidak ada bedanya hidup di kehidupan sehari-hari kita atau dalam ‘Rejecting Classroom’ itu?” Haruaki berkata sebagai jawaban atas pertanyaanku.
Aku berkonsultasi padanya karena aku tidak tahu hal lain yang sebaiknya kulakukan. Jadi aku membawanya ke samping bangunan sekolah saat istirahat makan siang; itulah jawabannya sesudah aku selesai mengatakan padanya cerita lengkapnya.
Aku sangat mengerti Haruaki. Dia tidak menjawab seperti itu karena dia tidak bisa mempercayai ceritaku yang tidak masuk akal.
“Sama...?”
“Ah, tidak. Bukannya aku tidak mempercayaimu, sumpah. Hanya, ya, katakanlah kita benar-benar berada dalam ‘Rejecting Classroom’ itu. Bagaimana bedanya dengan kehidupan sehari-hari yang kau harapkan?”
“Apa yang berbeda? Keduanya benar-benar—“
“Sama kan? Orang-orang yang sepetinya telah menghilang, termasuk aku, telah kembali. Aya Otonashi memang bukan murid kelas ini sejak awal. Semuanya kembali ke keadaan asal. Atau apa aku salah?”
Semuanya kembali ke keadaan awal?
...Mungkin.
Lagipula, aku mungkin tidak akan pernah bertemu dengan Maria kalau ‘Rejecting Classroom’ Tidak ada.
Tidak ada yang mengenalnya. Hal itu benar-benar wajar. Keberadaan Aya Otonashi sejak awal tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari kelas 1-6.
Mungkin semua itu cuma mimpi? Mungkin aku cuma membayangkan semua keberadaanya.
...Aku tidak tahu. Tapi hari ini masih <<2 Maret>>.
“Tapi tahukah kau, kalau kita masih di dalam ‘Rejecting Classroom’, maka ,,2 Maret.. hari ini tidak akan pernah berakhir. Jadi bagaimana kau bisa menyamakanya dengan kehidupan sehari-hari?”
Aku awalnya yakin kalau Haruaki akan setuju denganku. Tapi...
“Sebenarnya, aku sudah mempertimbangkannya.”
Berlawanan dengan harapanku, dia memiringkan kepalanya dan meneruskan.
Aku terkejut dengan jawabannya yang terus terang. Haruaki dengan kikuk menggaruk kepalanya saat dia melihat ekpresi di wajahku.
“Aku tahu apa yang ingin kau katakan. Tapi lihat, bukankah kau hanya merasa tidak nyaman karena kau sadar kalau kau terjebak dalam putaran waktu? Bagaimana kalau, sebagai contoh, kehidupan sehari-harimu sampai sekarang dipenuhi oleh hari-hari berulang yang sangat panjang? Kau pasti tidak akan menyadarinya kan? Sebenarnya, aku pun tidak merasakan hal yang berbeda saat ini. Aku percaya kalau aku hidup di kehidupan sehari-hariku yang biasa pada saat ini. Meski, sebagai bahan argumen, aku sebenarnya terjebak dalam ‘Rejecting Classroom’.”
Dia --- benar.
Aku merasakan tidak nyaman dan jijik hanya ‘’karena’’ aku menyadari kejadian ini. Kalau aku tidak mengetahuinya, aku tidak akan merasa terganggu sama sekali.
Aku tidak akan merasakan pertentangan ini kalau aku tidak tahu mengenai ‘Rejecting Classroom’. Meski kalau hari berulang, aku bisa menikmati sepenuhnya versi kehidupan sehari-hari yang diberikan padaku. Aku bisa menghabiskan waktuku tanpa mengetahui takdir menyedihkan seseorang. Hidupku akan menjadi praktis dan penuh kebahagiaan.
Menghancurkan hal ini tidak lebih dari sekedar keegoisan.
“Aku yakin kau sekarang mengerti, Hoshii. Kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang kan?”
“Yeah. Aku tahu apa yang harus kulakukan.”
“Baik? Kalau begitu---“
Haruaki tiba-tiba berhenti. Aku menoleh terkejut, dan melihat Mogi-san berdiri di sampingku.
“Ada apa?” Aku bertanya.
“Aku ingin meminjam Kazuki. Boleh?”
Haruaki dan aku bertukar pandang.
“Umm, Hoshii. Apa kau sudah puas sekarang? Kalau ada hal lain yang ingin kau katakan padaku, aku akan mendengarkan.”
“Yeah – terimakasih, Haruaki.”
Haruaki pergi, sambil mengatakan “Sama-sama.”
Aku penasaran apa yang diinginkanya dariku. Apa dia sengaja ke sini untuk menemuiku?
Aku memusatkan pandanganku pada wajahnya. Wajah yang cantik. Sesudah aku membuat observasi itu, aku tidak tahan melihatnya lebih lama lagi dan mengalihkan pandanganku.
“------“
Meski dia lah yang datang kepadaku, Mogi-san mengernyit.
“...Aku akan menanyakan sebuah pertanyaan aneh, tapi tolong jaawab dengan jujur.”
“Ah, okay...”
Aku mengangguk, tapi Mogi-san tetap mengernyit. Dia kesulitan memulai. Sesudah beberapa saat, sepertinya dia sampai pada sebuah keputusan dan menatapku tepat di mata.
“Apa aku Kasumi Mogi?”
---Hah?
Karena pertanyaan itu benar-benar tidak terduga, aku bahkan tidak bisa pura-pura terkejut. Melainkan, aku cuma berdiri di sini, terlihat serius.
Mogi-san mengalihkan pandangannya dengan tidak nyaman.
“......Um, Mogi-san? Apa kau kehilangan ingatan atau semacamnya?”
“...Aku bisa mengerti kebingunganmu. Tapi tolong jawab pertanyaanku.”
“Tentu sana kau adalah Kasumi Mogi, Mogi-san...”
Oh wow, aku tidak pernah mengatakan hal semacam itu dalam sejarah kehidupan sehari-hariku.
Untuk suatu alasan dia bergumam “Jadi begitu...” Mogi-san terlihat sedikit muram.
“Baiklah kalau begitu. Ini mungkin terdengar tidak bisa dipercaya, tapi tolong siapkan dirimu dan dengarkan. Aku adalah---“
Kemudian, Kasumi Mogi, gadis yang kucintai, mengatakan sesuatu yang benar-benar mengerikan.
“---Aya Otonashi.”
“------Huh? Aya Otonashi...? Mogi-san adalah Maria? Apa maksudnya ini?”
Aku dipenuhi keterkejutan, tapi Mogi-san melanjutkan.
“Yeah, aku Aya Otonashi. Aku hampir kehilangan rasa percaya pada diriku karena, seaneh kedengarannya, hampir semua memanggilku <<Kasumi Mogi>>. Mereka melakukannya meski penampilan dan cara bicaraku berbeda – tapi aku benar-benar <<Aya Otonashi>>.”
Yah, orang yang berdiri di depanku adalah <<Kasumi Mogi>>. Aku mengakui kalau aku merasa kalau penampilan dan cara bicaranya sangat mirip dengan <<Aya Otonashi>> yang kuingat, tapi...
“Err... oh iya, ada hal semacam kepribadian ganda yang sering muncul di manga kan? Apa mungkin kau sedang menghadapi masalah semacam itu...?”
Hal itu juga kedengarannya tidak mungkin, tapi masih berada dalam daerah alasan.
“Aku mempertimbangkan hal itu juga. Tapi kalu memang begitu, kau seharusnya merasa bingung dengan sikapku yang baru, dan aku seharusnya tidak tahu nama <<Aya Otonashi>>. Benar kan?”
Benar, aku tidak pernah mengatakan nama <<Aya Otonashi>> di depannya.
“Tunggu, kenapa kau tiba-tiba berubah menjadi Mogi-san?”
“...jangan mengatakannya dengan ambigu seperti itu. Aku cuma bertukar tempat dengan <<Kasumi Mogi>>. Bukan sepeti aku berubah menjadi dia. Yah... bagaimanapun, bagaimana aku bisa menjelaskan situasi ini... Benar, kau mengerti kalau tidak mungkin ada <<Kasumi Mogi>> di pengulangan ke 27.756 kali ini kalau aku <<Aya Otonashi>> kan?”
Aku mengangguk.
“<<Kasumi Mogi>> menghilang. Posisi-nya menjadi kosong. Apa kau masih ingat apa yang kukatakan: Aku tidak menjadi murid pindahan karena kemauanku sendiri? Mungkin aku diletakkan pada posisi kosong kali ini dan bukan dibuat menjadi murid pindahan.”
Hal itu terlalu...dipaksakan.
“Tidak mungkin aku, tidak, orang satu kelas salah mengenalimu sebagai Mogi-san!”
“Benar, aku juga merasa hal itu bermasalah. Tapi saat menghadapi hal itu, aku secara serentak memperoleh jawaban pada masalah lain. ‘pemilik’ dari ‘Rejecting Classroom’ mengalami semua 27.755 kali pengulangaan. Karenanya, kepribadiannya seharusnya juga telah berubah. Akan tetapi, tidak ada yang menyadarinya.”
Hal itu mungkin benar.
“Bisa dianggap kalau itu adalah peraturan lain dalam ‘Rejecting Classroom’ yang mencegah orang lain menyadari perubahan pada si ‘pemilik’. Terlebih lagi, perubahan pada si ‘pemilik’ tidak dipengaruhi oleh hubungannya. Kasumi Mogi adalah si ‘pemilik’ tapi menghilang karena suatu alasan. Dan aku menggantikannya. Peraturan itu bekerja, jadi tidak ada yang menyadari, meski baik penampilanku maupun kepribadianku, milik <<Aya Otonashi>>, benar-benar berbeda.”
Penjelasan Mogi-san terdengar masuk akal sekarang.
Kalau dia benar-benar Maria, hal itu bisa menjadi alasan untuk bergembira. Seharusnya. Maksudku, dengan diriku sendiri, aku bingung. Tapi Maria pasti bisa memberiku petunjuk.
Akan tetapi---
“Aku tidak bisa mempercayai hal ini.”
---Aku tidak bisa menerimanya.
Mogi-san terlihat terkejut pada penolakan kuatku dan terbelalak.
“...Aku tahu kedengarannya tidak bisa dipercaya, tapi itu bukan alasan untuk menentangku.”
Aku menggigit bibirku.
“Ah, aku mengerti. Kau cuma tidak ingin menerima fakta ini. Menerimanya berarti mengakui kalau Mogi adalah si ‘pemilik’. Dan kau tidak ingin menerima hal itu, yang sebenarnya cukup wajar. Karena sejak awal kau mencintai M---“
“Hentikan!!” Aku berteriak secara refleks.
Kau memang benar! Aku memang tidak ingi menerimanya. Tapi bukan karena aku menghubungkannya dengan tuntutan kalau dialah si ‘pemilik’. Apa yang tidak bisa kuterima adalah---
“......Aku mencintai Mogi-san,” Aku berkata tertahan.
“Aku tahu.”
Mogi-san menaikan satu alisnya, seolah menandakan kalau aku tidak harus mengatakan hal itu padanya sekarang.
“Karenanya --- kau tidak mungkin Maria...!!”
Aku mengepalkan tanganku. Melihatnya gemetar, dia seharusnya mengerti apa yang ingin kukatakan. Dia terbelalak dan menutup mulutnya.
Aku mencintai Mogi-san.
Perasaan itu tidak berubah, bahkan sekarang.
Perasaan itu tidak berubah --- meskiPun Mogi-san sekarang bersikap seperti <<Aya Otonashi>>.
Kalau apa yang dikatakan Mogi-san benar, maka aku ini orang bodoh yang tidak ada harapan lagi. Tidak menyadari orang yang kucintai berubah. Tidak menyadari kalau orang yang kucintai ditukar dengan Maria. Aku tidak masalah denganya, hanya saja aku tidak bisa menghadapi perasaanku sendiri.
Cinta itu buta, mereka bilang. Tapi kejadian ini membawa ungkapan itu ke tingkat yang benar-benar berbeda.
Palsu.
Cinta yang kurasakan dalam waktu yang sangat lama itu akan berubah menjadi palsu.
Karenanya, aku tidak bisa menerimanya. Aku tidak bisa menerima kalau dia adalah <<Aya Otonashi>>. Di saat aku menerimanya, cinta ini akan berakhir.
“Aku mencintai Mogi-san!” Aku mengatakannya seolah menyatakan perang padanya.
Dia memandang ke bawah tanpa mengatakan apapun.
Aku baru saja membuat pernyataan cinta terburuk. Aku bahkan tidak memikirkan perasaan si penerima saat menyatakannya. Aku melakukannya hanya untuk menolak kenyataan.
Aku mengepalakan tinjuku lebih kuat lagi. Tapi tetap saja, aku harus mengatakannya.
“Kalau kau memang Maria, buktikan padaku!”
Dia terus menatap ke tanah selama beberapa saat.
Tapi tidak lama kemudian dia membuka matanya dan berkata dengan tekad yang bulat.
“Kazuki. Meski kau menyerah pada ‘Rejecting Classroom’, misiku tidak berubah. Jadi pada awalnya aku mempertimbangkan untuk membiarkanmu. Akan tetapi, aku memutuskan untuk tidak melakukannya. Aku tidak ingin kau putus asa karena hal semacam ini.”
Dia meraih tangan kananku. Pandanganku beralih ke mukanya. Dia menatap tepat ke mataku.
“Aku akan memastikan kau menyadari kalau aku memang <<Aya otonashi>>.”
Dia membawa tanganku ke dadanya.
“Ap-Apa—?”
“Aku adalah sebuah ‘kotak’,” dia berkata dengan memandang rendah. “Karenanya, aku bukan manusia bernama <<Kasumi Mogi>>.”
“Tapi kau hanya membuat ‘permintaan’mu terkabul kan? Mogi-sa pun sama! Menunjukkanku ‘kotak’ mu tidak akan membuktikan kalau kau ‘Aya Otonashi’!”
Dia menggelengkan kepalanya.
“Dalam dongeng ada peri yang hanya mengabulkan satu permintaan kan? Saat kau mendengar cerita semacam itu, pernahkah kau berpikir: <<Kenapa tidak meminta permintaan yang tidak terbatas>>?”
Aku mengangguk. Dengan melakukannya, sesorang bisa membuat permintaan yang tidak terbatas. Aku juga pernah memikirkannya.
“Ini sedikit memalukan, tapi ‘permintaan’ ku hampir sama,” dia berkata dengan nada mengejek dirinya sendiri. “’permintaan’ku adalah --- untuk bisa mengabulkan ‘harapan’ orang lain. Aku menjadi sesuatu yang mengabulkan ‘permintaan’.”
“Itu---“
Sama seperti ‘kotak’.
Tapi ‘permintaan’ itu terdengar seperti harapan yang baik dan tulus, jadi kenapa dia tersenyum dengan senyuman jijik seperti itu pada dirinya sendiri?
“Tapi aku tidak benar-benar percaya pada kemungkinan terkabulnya. ‘kotak’ itu tidak bisa mengabulkan ‘permintaan’ dengan sempurna. Setiap orang yang menggunakanku sebagai ‘kotak’ menghilang, karena ‘kotak’ telah menyatukan harapanku kalau <<tidak mungkin ‘permintaan’ bisa dikabulkan dengan begitu mudah di dunia nyata>>.
Aku terdiam. Adakah batas seberapa banyak ‘kotak’ harus mempermainkan hidup kita sebelum mereka puas?
“Kazuki, aku akan mengijinkanmu menyentuh ‘kotak’ ku. Sesudah itu kau tidak akan bisa menanyakan pertanyaan bodoh seperti ‘siapa kamu’ lagi.”
Dia membuka tanganku dan menekannya ke dadanya.
Aku merasakan detak jantungnya.
Pada saat itu—
“Ah—“
Aku tenggelam ke dasar lautan. Meski aku berada di dasar lautan, tempat itu sangat terang, seolahmatahari ada di sana bersamaku. Tapi tempat ini dingin. Aku tidak bisa bernafas.
Semuanya terlihat senang. Semuanya terlihat senang. Semuanya terlihat senang. Di dasar laut, semua orang bersenang-senang dengan ikan di dasar, tercekik, mengembang, membeku, dihancurkan tekanan air, tersenyum. Tidak ada makna. Tidak ada interaksi. Orang-orang memainkan pertunjukkan boneka mereka sendiri, pertunjukkan film mereka sendiri, lelucon mereka sendiri. Sebuah tragedi dimana semua orang bahagia.
Ada seseorang yang menangis.
Hanya ada satu orang yang menangis, dikelilingi orang-orang yang tertawa HAHAHAHAHAHAHAHA bahagia.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Ini khayalanku. Cuma khayalanku. Aku tidak bisa melihat apapun di sini!
Tapi aku sudah menyadari satu hal. Aku telah memahami perasaan seseorang, dan mereka rasanya tidak akan melepaskanku lagi.
Kesepian yang amat sangat.

Aku merangkak dari dasar lautan dan kembali ke tempatku sebelumnya.
Dia telah melepaskan tanganku.
Perlahan aku melepaskan tanganku dari dadanya dan jatuh di lututku, kelelahan.
Pada saat yang sama, aku juga menyadari kalau pipiku basah dengan air mata.
Aku tidak bisa menolaknya lagi. Setelah ditunjukkan hal ‘’itu’’, aku tidak bisa menolaknya lagi.
“Ini adalah ‘kotak’ ku – ‘Flawed Bliss’.’
Dia adalah --- <<Aya Otonashi>>.
Mogi-san juga memiliki ‘kotak’? Itu bukan masalah. Itu bukan argumen yang bisa digunakan untuk melawan Maria. Tidak perlu logika. Aku menyadari hanya dengan menyentuhnya. Aku menyadari kalau dia adalah Maria.
Aku yakin dia tidak pernah menginginkan seseorang melihat hal ini. Namun walau bagaimanapun, dia menunjukkannya padaku.
Agar aku tidak kalah dari ‘Rejecting Classroom’.
“Maria, aku minta maaf...”
Maria menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“---“
Aku tidak tahan dengan perasaanku sendiri.
Aku sudah menyadarinya – Aku sudah menyadari kalau dia <<Aya Otonashi>> dan bukan <<Kasumi Mogi>>. Akan tetapi perasaanku padanya tidak berubah. Senyumannya terlihat sangat manis bagiku. Sisa-sisa perasaan cintaku masih membuatku bingung dan belum menghilang.
Aku merasa sangat malu pada kekuatan ikatanku pada cinta itu hingga air mataku tidak mau berhenti mengalir.
“Kazuki.”
Maria memanggil namaku.
“Eh?”
Dan kemudian dia melakukan hal yang tidak bisa dipercaya.
Dia memelukku.
Aku tahu apa yang dia lakukan, tapi aku tidak mengerti kenapa.
Pelukannya sangat takut-takut, sama sekali bukan sesuatu yang aku harapkan dari seorang Maria.
“Kaulah satu-satunya yang mengingat namaku.”
Maria berbicara penuh teka-teki.
“Kalu bukan karenamu, aku akan sendirian. Aku tidak suka mengakuinya, tapi kau mendukungku, meski saat aku berpikir kau adalah si ‘pemilik’. Jadi—“
Aku akhirnya mengerti apa yang dia lakukan.
“—biarkan ‘’aku’’ yang mendukungmu kali ini.”
Dia memelukku dengan erat. Berlawanan dengan kata-katanya, pelukannya sangat lemah, lebih seperti membungkusku daripada mendukungku.
“Aku bahagia kau bersikap lembut padaku, setidaknya saat kau masih merasa mencintaiku.”
Aku tidak tahu.
Aku tidak tahu apakah perasaan ini ditujukan pada <<Kasumi Mogi>>, <<Aya Otonashi>>, atau keduanya.
Satu-satunya yang kuketahui adalah aku sangat senang.
“Ah.”
Mungkin—
Mungkin Maria tidak membiarkanku menyetuh ‘kotak’ itu hanya untukku. Sebab, Maria tidak ingin memanggilnya <<Kasumi Mogi>>. Itu artinya dia ingin aku mengakui keberadaanya.
Sesudah mempertimbangkan dugaan itu selama beberapa saat, aku harus mengakui kalau aku berpikir terlalu banyak dan tanpa sadar tertawa.



“Hoshii, apa yang kau bicarakan denga Kasumi sesudah aku pergi?”
Sekolah sudah berakhir. Haruaki menyolek dadaku dengan seringai lebar di wajahnya.
“Aku tahu: dia membuat pengakuan padamu kan?”
“Ah..tidak..”
Yah dia mengakui kalau dia adalah <<Aya Otonashi>>, jadi di satu sisi dia benar.
“Oh? Kau mencoba menghindari pertanyaanku! Aku mencium sesuatu yang mencurigakan! Jangan bilang kalau aku tepat sasaran?! Sial, aku cemburu! Kasumi menjadi semakin cantik kan akhir-akhir ini!”
Ah, jadi begitu.
Mendengarkan ocehan riang Haruaki, aku akhirnya menyadari apa yang harus kulakukan.
Meski bertemu kembali dengan Maria sangat menenangkan, aku menjadi bingung apa yang harus kulakukan berikutnya karena <<Kasumi Mogi>>, si ‘pemilik’ telah menghilang.
<<Kalau kau menjadikan Kazuki Hoshino musuhmu, kau juga akan menjadi musuh seseorang yang abadi!>>
Aku mengingat kata-kata yang pernah Haruaki katakan pada Maria. Kejadian itu terjadi lama sekali, jadi aku sudah tidak begitu yakin kata-kata yang persis.
Benar. Aku harus mendapatkan bantuannya, bagaimanapun juga.
“Haruaki. Bisakah kita meneruskan pembicaraan kita tadi?”
Dia terkejut sejenak saat aku memintanya tiba-tiba, tapi kemudian dia tersenyum dan mengangguk.
“Tadi aku mengatakan padamu kalau aku menyadari apa yang harus kulakukan kan? Biarkan aku mengatakan kesimpulanku.”
Aku menatap ke mata Haruki dan menyatakan perang.
“Aku akan --- bertarung melawan ‘Rejecting Classroom’.”
Matanya terbelalak saat dia mendengar penyataan tegasku.
“Umm, dengar... Bukankah aku sudah menjelaskan padamu dengan jelas? Meski kita berasa di dalam ‘Rejecting Classroom’ itu, seharusnya bukan masalah kalau kau tidak mengetahuinya.”
“Yeah, tapi aku masih tidak bisa menerimanya! Aku tidak bisa menerima kehidupan sehari-hari dimana aku tidak bisa maju ke depan karenanya semuanya terus berulang!”
“Kenapa?”
“Karena --- Aku memang mengetahuinya, di sini, sekarang.”
Mungkin hidupku akan terus bergerak lancar kalau aku melupakan kalau aku ada di dalam ‘Rejecting Classroom’.
Akan tetapi, aku menyadarinya. Aku tahu kalau dunia ini tidak lebih dari kehidupan sehari-hari yang palsu.
Karenanya, aku tidak bisa menghiraukannya.
Mungkin ini cuma untuk kesenanganku sendiri. Akan tetapi, aku percaya kalau aku benar dan aku tidak bisa bersikap berbeda.
“...Yah, itu terserah padamu, tapi adakah alasan kau memutuskan untuk menjadi sangat keras kepala?” Haruaki bertanya penasaran.
Alasan...? Alasan kenapa aku bersikeras pada kehidupan sehari-hari yang asli? ...Memang, ikatanku pada kehidupan sehari-hariku mungkin tidak normal.
“Kau terlihat seolah hidupmu bergantung pada hal itu,” Haruaki berbisik.
Ah, benar. Itu dia. Alasannya sangat jelas.
“Itu adalah --- arti dari kehidupan.”
Haruaki terbelalak karena terkejut.
“Arti dari kehidupan? Apa itu? Apa maksudmu?”
“Aku tidak bisa mengatakannya dengan jelas, tapi... contohnya, mendapat nilai 100 di ujian dimana kau tidak belajar sama sekali tidak akan membuatmu senang, kan? Tapi saat kau mendapat nilai 100 karena kau belajar dengan sangat keras karena ingin mendapat nilai bagus, kau akan senang kan?”
“Kau punya poin: Aku lebih menghargai sesuatu saat aku bekerja keras untuk memperolehnya, meski nilai aslinya tidak berubah!”
“Dalam pemikiranku, ‘’mengejar’’ sesuatu adalah arti dari kehidupan. Aku tidak berpikir itu berleihan. Maksudku, semua orang suatu saat akan mati. Konsekuensi dari hidup adalah mati! Peduli hanya pada hasil akhirnya membuatku takut.”
“Semua orang suatu saat akan mati...memang.”
“Kalau ini adalah ‘Rejecting Classroom’ dimana semuanya tetap hampa, maka aku tidak bisa menerimanya. Aku harus menghadapi kehidupan sehari-hariku yang sesungguhnya untuk bisa melindungi arti kehidupan. Karenanya, aku menolak ‘kotak’ yang menolak kehidupan sehari-hari yang sebenarnya.”
Haruaki mendengarkan pengakuanku dengan ketertarikan yang besar.
...Mungkin aku bahkan tidak perlu mengatakan hal itu. Lagipula bagaimanapun Haruaki mungkin akan membantuku.
“Haruaki, apa kau akan membantuku?”
Tanpa menunggu, Haruaki mengacungkan jempolnya.



Sesuai saran Haruaki, kami memutuskan membawa serta Kokone dan Daiya. Kami berlima berkumpul di sekitar tempat tidur hotel berkelas yang kukunjungi sebelumnya bersama Maria.
Aku menjelaskan semuanya pada Kokone dan Daiya.
Sebenarnya, aku mengira kalau Maria akan mengeluh kalau ini membuang-buang waktu, tapi dia lebih banyak diam dan bahkan menambahkan beberapa komentar sesekali. Mungkin dia ingin mendengar pendapat baru mengenai masalah ini.
“Umm..jadi kau mengatakan kalau Kasumi sebenarnya Aya Otonashi-san dan bukan Kasumi, sementara Kasumi yang asli adalah si ‘pemilik’ yang menciptakan ‘Rejecting Classroom’ dan kita tidak tahu dimana dia berada... Dan sekarang kau butuh solusi, huh...? ...Aku tidak mengerti apa yang kau bicaraakan! Kau membuatku bingung!” Kokone menjatuhkan diri di tempat tidur. “Oh, kasur ini luar biasa.”
“Aku tidak bertanya pendapatmu mengenai kasurnya kok.”
“Aku tahu!” Dia berteriak sebagai jawaban lelucoku. Kokone mungkin secara serius mempertimbangkan masalah ini, meski sikapnya seperti itu.
“Boleh aku bertanya,” Daiya memotng. “Kalau kita berada dalam ‘Rejecting Classroom’, maka kecelakaan yang seharusnya terjadi dan tidak bisa dihindari itu akan terjadi lagi kan?”
“Seharusnya ya.” Jawab Maria.
Huh..? Daiya menganggapnya serius?
“Apa maksud dari wajah bodohmu itu, Kazu? Membuka dan menutup mulutmu – apa kau ikan gurame di depan umpan pancing?”
“Ah, tidak—aku cuma terkejut kau segera percaya dengan apa yang kami katakan mengenai ‘Rejecting Classroom’.”
“Ha! Gak mungkin lah,” Daiya berkata.
“---Uh, huh...?”
“Aku tidak akan peduli kalau cuma kau yang sedikit gila, tapi bahkan Mogi mengatakan hal-hal aneh sekarang. Pasti ada penjelasan lain mengenai apa yang sedang terjadi, tapi terlalu repot untuk berteori mengenai hal itu. Jadi aku memutuskan berhenti skeptikal dan menerima ‘Rejecting Classroom’ untuk sekarang karena lebih praktis.”
Dengan kata lain dia akan membantu kami?
“Terus, Daiyan? Kecelakaan itu mungkin akan terjadi lagi. Terus?” Haruaki memintanya untuk melanjutkan.
“Yeah. Siapa yang akan menjadi korban kalau kecelakaannya terjadi seperti biasa? Mogi sudah tidak ada di sini lagi kan?”
“Yang akan menjadi korbannya aku, kurasa...Kelihatannya wajar kalau aku yang menjadi korbannya juga, karena posisinya dipaksakan padaku.”
“Apa korbannya selalu Kasumi?” Haruaki bertanya.
“Tidak, orang lain kadang akan tertabrak saat mencoba menyelamatkannya. Jadi ada Kazuki, Mogi, aku, dan bahkan kau karena kau mencoba menyelamatkanku saat aku mencoba menyelamatkan Mogi. Sebenarnya kau melakukannya ratusan kali.”
“Whoa! Benarkah? Tunggu, bukankah ratusan kali kedengarannya tidak mungkin? ...Ah, tidak, tidak perlu, huh. Bukankah cukup hebat kalau satu orang yang sama akan melakukan hal yang sama di situasi yang sama.”
“Bahkan lebih buruk lagi, seringnya kau menyatakan cinta padaku sebelumnya,” Maria mendesah.
“Seorang pria mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan gadis yang dia cintai...Wow! Bukankah aku keren?!”
“Sejujurnya, seharusnya kau memikirkan urusanmu sendiri.”
“Ke-kejamnya.”
“Yah, cobalah membayangkan perasaanku. Kau tidak tahu bagaimana sakitnya melihat seseorang mengorbankan dirinya untukmu karena dia mencintaimu... Apa yang kau lakukan adalah menunjukkan keangkuhanku dalam mengejar ‘kotak’. Itu adalah jalan paling menyakitkan untuk menghancurkan kemauanku, jempol ke bawah.”
“Mmmm..” Haruaki meringis.
Tapi kurasa dia tidak menyesal, karena tindakannya itu sendiri tidak salah.
“Karena kita kebetulan membicarakannya, berapa kali sih aku menyatakan cinta padamu, Aya-chan?”
“Tepat 3000 kali.”
“W-wow bukankah aku gigih...”
“Jadi kau ditolak 3000 kali! Itu pasti rekor baru ditolak! Kau sangat buruk sampai hampir terlihat manis, Haru!”
“Diamlah, Kiri!”
Keduanya tidak pernah gagal menghiburku.
“Mogi...Ah, tidak, aku akan memanggilmu Otonashi untuk sekarang. Otonashi, kenapa Mogi selalu pergi ke tempat kejadian kecelakaan meski dia tahu apa yang akan terjadi di sana?”
Maria menaikan satu alisnya sebagai tanggapan pertanyaan Daiya dan menjawab.
“Karena itu adalah bagian dari aturan ‘Rejecting Classroom’. Oomine, mungkin aku tidak perlu mengatakan hal ini, tapi aku telah mencoba menghentikan kecelakaan itu berkali-kali.”
“Yah, tentu saja kau tidak akan langsung mengorbankan dirimu. Lebih wajar untuk berpikir kalau kau sampai pada tindakakan itu setelah beberapa waktu. Aku, misalnya, tidak akan pernah memilih ditabrak.”
“Hey, kenapa kalian membicarakan kecelakaannya? Tidak akan ada yang terpecahkan kecuali kita menemukan Kasumi, kan?”
Kokone memiringkan kepalanya saat menyela mereka. Daiya mengalihkan pandangannya tidak senang.
“Pembuat suara berbentuk manusia ini benar-benar embuatku jengkel.”
“Ahaha. Andai saja kau ditabrak truk 20.000 kali, tidak? ☆” “Cuma bertanya, Kiri, tapi bagaimana kau akan menemukan Mogi untuk kami?”
“Yah...entah. Lagipula, apa kau punya ide yang lebih baik?!”
“Tidak ada.”
“Oho... Aku terkejut kau bisa berpura-pura lugu namun memanggilku pembuat suara. Kenapa kau tidak memotong nama belakangmu ‘Oomine’ dan menamai dirimu sendiri ‘Tuan Lugu’ saja? Daiya Lugu. Whoa, cocok sekali!”
“Aku bukan satu-satunya yang tidak punya ide. Tidak ada orang lain yang tahu juga. Benarkan?”
Haruaki dan aku bertukar pandang. Yah, Daiya benar. Kalau kami tahu, kami akan langsung menyarankan sesuatu.
“Karenanya, kita harus mencari solusi yang lain. Sebagai konsekuensinya aku membicarakan mengenai kecelakaan truk itu, yang jelas-jelas merupakan kejadian spesial dalam pengulangan ini. Ini adalah cara pikir yang sepenuhnya normal. Nona pembuat omong kosong, apa penjelasanku dapat kaumengerti?”
“ugh...”
Kokone mengeretakan giginya dengan jengkel, dikalahkan oleh penjelasannya.
“bagaimanapun, kita mungkin akan mendapatkan kemajuan dengan mencegah kecelakaan itu, jadi kurasa patut dicoba. Itu maksudmu kan Daiyan?”
Daiya menggangguk menanggapi ringkasan dari Haruaki.
“Tepat. Tapi tidak ada gunanya kalau kita tidak bisa mencegahnya.”
“Tidak---“ Maria menyanggah pernyataannya. “Mungkin ini patut dicoba. Tindakanku terbatas saat aku sendirian, tapi dengan orang sebanyak ini hasilnya mungkin berbeda.”
“Apa jumlah orang ada artinya? Nol tetap nol, tidak peduli kau kalikan berapa. Bukankah sama saja dengan ketidak mungkinan yang sedang kita hadapi ini?” Daiya keberatan.
“Aku mengerti maksudmu, tapi aku percaya kalau masih ada kemungkinan. Lagipula kondisinya telah berubah: Aku bukan Mogi, tapi <<Aya Otonashi>>, jadi kemungkinannya tidak lagi nol. Tidak ada alasan untuk tidak meningkatkan jumlah orang yang terlibat, tidakkah kau berpikiran sama?”
Daiya menyilangkan tangannya dan berpikir sesaat. Akhirnya dia mengangguk, dan berkata “Kau ada benarnya.”
“Baiklah! Sudah diputuskan, kita akan mencobanya! Kita akan mencegah kecelakaam itu dengan suatu cara! Ada yang keberatan?”
Tidak ada yang keberatan dengan seruan Haruaki.
Yeah. Itu mungkin akan bekerja.



Saat ini pagi hari, satu jam sebelum waktu biasanya terjadi kecelakaan itu.
Kami berdiri dengan payung di tempat kecelakaan, di persimpangan jalan.
Haruaki dan aku bertugas menyelamatkan Maria kalau dibutuhkan. Akan berbahaya kalau kecelakaan itu tetap terjadi, tapi kami berdua memilih tugas kami ini sesuai dengan keinginan kami sendiri.
Maria seharusnya menemukan dan masuk ke dalam truk yang dimaksud. Dia menyadari kalau kemungkinan ditabrak truk oleh truk itu akan menjadi kecil kalau dia cukup duduk di kursi pengemudi.
Aku gugup. Kami tidak boleh gagal. Aku tidak tidur sedikitpun kemarin. Karena kegelisahan, dan keinginan memastikan seuatu, aku berbicara dengan Maria selama beberapa jam.
Aku menatap ke wajah Haruaki.
Tidak seperti aku, dia tidak terlihat gugup. Ekspresinya benar-benar normal. Itu adalah wajah yang sama yang selalu kulihat dalam ‘Rejecting Classroom’.
Kali ini kami mungkin akan bisa menghancurkanya ‘Rejecting Classroom’.
—Tidak peduli apakah kecelakaan itu terjadi atau tidak.
“Haruaki, aku ingin berbicara sedikit sambil kita menunggu, OK?”
“Kenapa formal begitu? Tentu saja OK!”
“Ini mengenai Mogi-san.”
“Kasumi? Umm, bukan Otonashi-san tapi yang asli?”
Aku mengangguk.
“Aku tidak memberitahumu kalau dia...membunuh kita kan?’
“...Sekarang bukankah itu kedengarannya kasar, eh?” Haruaki menaikkan satu alisnya.
Bukannya aku bermaksud menghalanginya mengetahui hal itu. Aku cuma tidak bisa ingat apa yang terjadi sampai aku menyadari kalau Mogi-san adalah si ‘pemilik’.
Dan seolah belenggu-belenggu yang mengikatku hancur di saat aku mengingat identitas si pemilik’, aku mengingat semua ingatan pengulangan terakhir.
“Dia membunuhku, Maria, Kokone, dan mungkin bahkan kau.”
“...Kita dibunuh? Oleh Kasumi? Kenapa? Untuk tujuan apa?”
“Dia melakukannya untuk ‘menolak’ orang lain! Sebenarnya, segalanya tetap gagal dan kosong di dalam ‘Rejecting Classroom’. Jadi meski kau membunuh seseorang, kejadian itu akan dikembalikan seperti sebelumnya. Tapi sepertinya Mogi-san dapat ‘menolak’ orang lain dengan membunuh mereka dengan tangannya sendiri. Aku pikir dia melakukannya karena dengan itu dia dapat meminta untuk tidak bertemu dengan orang itu lagi dari dasar hatinya.”
Haruaki mengangguk dengan ekspresi serius. Aku sudah menjelaskan ‘penolakan’ padanya, dan di saat itu terjadi, tidak ada lagi yang dapat mengingat orang yang ‘ditolak’.
“Kasumi kita melakukan, huh... sulit dipercaya. Tapi... yah, kurasa tidak mengejutkan kalau bahkan Kasumi menjadi seperti itu sesudah mengalami pengulangan hampir 30.000 kali, kurasa. Cukup adil.”
“Apa kau benar-benar berpikir begitu?” aku bertanya.
“Mh? Maksudku, mungkin sulit untuk dibayangkan, tapi siapapun akan menjadi sedikit gila dalam situasi semacam itu kan?”
“Memang. Tapi apa kau tidak tahu? Meski kau menjadi gila, kau masih tidak akan membunuh. Tidaklah normal berpikir seperti itu!”
“Kau pikir begitu? Bukankah kau terlalu terpaku pada cara pandangmu sendiri?”
Mungkin. Tapi aku tidak bisa mempercayainya. Maksudku, membunuh cuma bisa menjadi cara efektif untuk ‘menolak’ ‘’karena’’ membuatnya merasa bersalah. Aku tidak bisa mempercayai kalau orang seperti itu dapat memikirkan kejahatan tidak manusiawi itu sendirian.
“...kau menyatakan cinta pada Maria 3.000 kali dan ditabrak ratusan kali menggantikannya kan?”
“Kurasa begitu. Dalam keadaanku sekarang, aku tidak ingat, tentu saja.”
“Yeah. Tapi pada akhirnya: tindakanmu menyiksanya. Benar kan?”
“Ah---... tapi tidak secara sengaja, kan,” Haruaki berkata dengan senyum pahit.
“Dia merasa sangat tersiksa karena setiap pesan, tidak peduli seberapa absurd, akan bertambah berat setelah diulang berkali-kali. Contohnya: tidak peduli seberapa percaya dirinya kau pada kecantikanmu, kalau seseorang mengatakan padamu kalau kau jelek seribu kali, kau akan kehilangan kepercayaan diriitu – meski komentar itu cuma bercanda.”
“Yah, kurasa begitu.”
“Karenanya Maria mau tidak mau menjadi sadar akan keberadaanmu setelah kau menyatakan cinta padanya 3.000 kali. Dan kita membicarakan tentang Maria. Percayalah, dia bukan tidak terpengaruh saat kau menentangnya.”
<<Kalau kau menjadikan Kazuki musuhmu, kau juga akan menjadi musuh seseorang yang abadi!>>
Aku mengingat kata-kata itu lagi.
“...Oh? Apakah aku mendapatkan flag untuk rute Aya-chan.”
Aku tersenyum kecil dan mengabaikan leluconnya.
“Jadi, bagaimana kalau seseorang menyarankannya untuk membunuh sebagai solusi pada Mogi-san ribuan kali? Bukankah hal itu akan membuat Mogi-san percaya kalau tidak ada cara lain? Lagi pula, dia tidak bisa bersandar pada siapapun dan diambang kegilaan.”
Haruaki mengangguk.
“...Aku akui hal itu pasti berat. Dan sebenarnya memang mungkin. Lagipula, orang yang berbicara padanya berada dalam perhentian. Tindakannya dan penilaiannya tidak akan berubah. Wajar saja kalau dia mengatakan hal yang sama terus-menerus. Kalau dia mengatakan sesuatu sekali, mungkin dia mengatakan hal yang sama ribuan kali.”
“Kau benar. Tapi aku tidak mengkhawatirkan skenario itu. Itu akan menjadi sebuah kecelakaan, dimana tidak ada yang salah. Tapi---“
Aku akhirnya mengalihkan pandanganku dari langit yang mengancam.
“---bagaimana kalau seseorang memilih kata-kata dan tindakan-tindakannya secara sengaja untuk memojokkannya?”
Dan kemudian aku --- fokus pada Haruaki.
Haruaki tidak menunjukkan tanda-tanda tidak nyaman meski aku menatapnya.
“Mh? Tapi itu tidak mungkin kan?”
Ekspresi di wajah Haruaki sepenuhnya terlihat normal.
“Kau salah! Contohnya, Maria dan aku bisa, kalau kami ingin. Kalau seseorang berpura-pura kehilangan ingatannya saat berhadapan dengan Mogi-san, hal itu mungkin!”
Haruaki mendengarkan kata-kataku tanpa keberatan dalam diam.
“Pada awalnya aku berpikir kalau bisa mempertahankan ingatanmu bisa menjadi keuntungan. Karena, semakin banyak informasi, lebih baik kan? Tapi itu tidak selalu benar. Mempertahankan ingatanmu juga berarti kalau kau akan terus diserang mereka yang kehilangan ingatan, dan mereka yang pura-pura kehilangan ingatan mereka. Orang-orang yang kehilangan ingatan berada di zona yang aman. Mereka bisa menyerang kita yang berada di depan garis dari posisi aman mereka.”
Aku merasakan serangan semacam itu saat gadis yang aku cintai menjawab dengan <<Tolong tunggu sampai besok>> pada pernyataan cintaku. Meski sebenarnya, dia tidak berada di zona aman.
“Bagaimana kalau seseorang dengan sengaja menyerang Mogi-san dari posisi aman itu? Seseorang yang tidak menyadari rasa sakitnya, yang memastikan dia tidak akan kabur dan menyiapkan pilihan ‘membunuh’ untuknya. Kalau begitu---“
“Kalau begitu, orang itu mengendalikan Kasumi dan dengan sengaja berkontribusi pada pembunuhan itu,” Haruaki berkata dengan santai.
Dia tidak menolah klaim ku.
“Kita tidak bisa yakin kalau Mogi-san satu-satunya target.”
“...tapi?”
“Maksudku, dia bukan satu-satunya yang berdiri di garis depan. Maria dan aku juga ada di sana. Tergantung pada tujuan orang itu, dia mungkin juga sudah mencoba memanipulasi aku dan Maria. Tidak... kita mungkin kurang lebih berada dalam kendalinya.”
<<--- mau coba membunuhku?>>
Aku mengingat seseorang mengatakan hal itu pada suatu saat.
Sebenarnya aku mendengar kata-kata itu lebih dari sekali. Orang itu mengulang pernyataannya tanpa akhir. Kata-kata itu menempel di kepalaku seperti kutukan.
Ditambah lagi, mayat demi mayat ditunjukkan di depanku.
Maria menerima pernyataan cinta, dan harus melihat orang yang menyatakan cinta padanya mengorbankan diri untuknya, dan bahkan menjadi musuh orang tersebut.
Semuanya adalah info-info berhubungan yang berhasil aku tarik dari fragmen-fragmen ingatanku. Mungkin ada perangkap lebih kecil yang tidak kusadari.
Terus-menerus menyerang dari sisi aman tanpa kekurangan. Meski rencananya tidak berjalan sesuai harapannya, dia dapat mengulangi serangan ini tanpa batas.
“Bila kita berasumsi kalau tindakan kita dikendalikan orang itu sampai tingkat tertentu---“
Aku menahan nafas.
“---dia juga merencanakan kita untuk berada dalam situasi ini.”
Haruaki tetap diam. Wajahnya tertutupi oleh payungnya, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya.
Kesunyian itu berlanjut. Suara hujan anehnya terdengar keras. Aku mendengar suara lemah. Pada awalnya, aku tidak tahu suara apa itu, tapi saat aku menguatkan pendengaranku, aku menyadari kalau itu adalah tawa yang ditahan.
Haruaki emindahkan payungnya sehingga aku bisa melihat wajahnya.
Dia menatapku dan tertawa senang.
“Okay, um, Hoshii. Apa inti dari lelucon ini, atau tepatnya, hipotesis besar? Pertama, hal itu benar-benar tidak mungkin. Tidak semudah itu kan mengendalikan orang lain? Benar, itu memang cerita yang lucu, tapi sejujurnya, aku tidak tahu apakah aku boleh tertawa atau tidak karena kau terlihat sangat serius...Tidak, lupakan itu; maksudku, aku sudah mulai tertawa.”
“Oh, apakah aku terlalu berputar-putar?”
“...Berputar-putar? Bagaimanapun, aku bahkan tidak dapat memahami tujuan orang itu. Tapiapapun itu, seharusnya ada jalan yang lebih singkat.”
Haruaki masih berbicara dengan nada ceria.
“Yeah. Aku juga tidak tahu apa motifnya. Jadi aku berfikir untuk bertanya padamu.”
“Bertanya padaku...?”
Seusai aku mengatakan hal ini, aku tidak akan bisa menariknya lagi.
“Haruaki—“
Tapi aku sudah lama kehilangan niat untuk mundur.

“—Kenapa kau memojokkan kami seperti ini?”

Dia tidak menjawab.
Sekali lagi dia menyembunyikan wajahnya dengan payungnya.
Dia tidak mengatakan apapun. Dia mungkin tidak ingin mengatakan apapun padaku.
“Aku tidak ingat tepatnya kapan itu terjadi, tapi kita menjadi teman tepat sesudah sekolah dimulai. Dan karenamu jugalah, aku berteman dengan Kokone dan Daiya. Kehidupan sekolahku mungkin akan lebih membosankan kalau bukan karenamu. Semua hal yang baik terjadi karenamu.”
Kalau begitu, aku yang akan berbicara untuknya.
“Kita belum menjadi teman selama satu tahun penuh, tapi---“
“Jadi kau tidak bisa menilai apakah aku melakukan hal semacam ini?”
Aku menggelengkan kepala, meski Haruaki mungkin tidak bisa melihatku.
“Ada banyak hal yang tidak kuketahui tentangmu. Tapi ada satu hal yang aku ketahui dengan pasti. Aku paling tidak bisa mengatakan hal ini dengan percaya diri.”
Aku menyatakan.
“Haruaki Usui tidak akan pernah memojokkan kami seperti ini.”
Aku akhirnya dapat melihat ekspresinya.
Haruaki memandangku dengan terbelalak.
“Jadi—“
Akhirnya aku sampai pada intinya.

“Jadi—kau siapa?”
<< Oh? Kau mencoba menghindari pertanyaanku! Aku mencium sesuatu yang mencurigakan! Jangan bilang kalau aku tepat sasaran?! Sial, aku cemburu! Kasumi menjadi semakin cantik kan akhir-akhir ini!>>
Haruaki cuma bercanda denganku saat itu.
Tapi ada sesuatu yang menonjol di sana.
Ada sebuah peraturan yang berlaku dalam ‘Rejecting Classroom’. Orang lain tidak pernah menyadari perubahan apapun pada Mog-san – bahkan tidak pada saat dia diganti dengan <<Aya Otonashi>>. Jadi bagaimana? Bagaimana bisa?
---bagaimana dia bisa mengatakan Kasumi menjadi semakin cantik?
Itu juga bukan satu-satunya alasan untuk curiga.
Haruaki telah ‘ditolak’.
Bahkan akupun sudah melupakannya. Tapi entah bagaimana aku bisa mengingatnya lagi.
‘Aku mengingatnya karena dia teman dekatku.’ Begitulah penilaianku pada awalnya. Tapi kenapa aku bisa mengingatnya sedangkan aku tidak ingat satupun orang lain yang sudah ‘ditolak’?
Ini cuma hipotesis, tapi aku kira aku tidak sepenuhnya melupakannya karena seseorang telah bercampur dengan Haruaki.
Kedua argumen itu tidak bisa dianggap bukti menguatkan akan apapun. Aku menyadari kalau mereka tidak sempurna.
Tapi itu bukan lagi sebuah masalah.
Karena aku sudah ingat.
Karena aku sudah ingat sesuatu yang seharusnya tidak bisa kuingat.
‘’’”Apa kau punya permintaan?”’’’
‘’’”Ini adalah ‘kotak’ yang dapat mengabulkan permintaan apapun.”’’’
Kata-kata dari seseorang yang dapat dianggap mirip dengan siapapun, tapi di saat yang sama, tidak sama dengan siapapun.
“Katakan padaku apa yang kau coba lakukan!”
Dan kemudian aku mengatakan namannya.
Aku mengatakan nama makhluk yang membagikan ‘kotak’ ini, makhluk yang kulupakan sampai sekarang.
Namanya adalah—
“---‘O’”
Dan pada saat aku mengatakan namanya—
“Fufu...”
—Haruaki menghilang dari wajahnya.
Bukan seperti wajahnya berubah bentuk. Haruaki cuma sudah tidak ada dalam senyuman di wajahnya; ia adalah seseorang yang palsu yang menyamarkan dirinya menggunakan kulit Haruaki.
Akhirnya, ancaman yang mengejar kami menampakkan wujudnya.
—‘O’.
“Ya ampun, seharusnya tidak ada seorangpun yang tahu namaku selain ‘pemilik’ ‘kotak’ ini tahu? Itu mengerikan.”
“Kau tidak berhati-hati dengan kata-katamu.”
“Tidak berhati-hati?”
‘O’ tertawa kecil. Dia terlihat sangat senang.
“Aku bukan tidak berhati-hati; sejak awal aku memang tidak perlu berhati-hati. ‘’Kau’’ lah yang tidak normal karena menyadari keberadaanku hanya dari petunjuk-petunjuk itu!”
“Kau pikir begitu?”
“Baiklah coba katakan padaku, kalau kau melihat seseornag bersikap sedikit tidak biasa, apa kau langsung curiga kalau orang lain telah menggantikannya?”
Aku harus mengakui kalau dia benar. Tiak peduli seberapa mencurigakannya tindakan seseorang, tidak masuk akal berfikir kalau seseorang mengambil alih identitas orang itu.”
“Namun, kau tetap menemukanku. Itu artinya kau mengetahui aku, sebuah penyebab yang mungkin menyebabkan kejadian semacam itu, meski seharusnya tidak ada yang dapat mengingatku.”
“Kalau memang begitu, bagaimana aku bisa mengingatmu?”
“Entahlah? Ini sangat misterius, tapi mungkin keberadaan Aya Otonashi mempengaruhimu? Meskipun begitu, kau seharusnya masih tidak bisa menyadari keberadaanku hanya karena seseorang mengajarimu seseuatu.”
‘O’ berbicara dengan nyaman dan terbuka. Tapi saat ini, aku tidak bisa menghiraukan apa yang dia bicarakan.
“...Aah, kau ingin mengerti tujuanku? Okay! Tidak ada yang perlu ditutupi. Aku --- cuma ingin mengamatimu dari dekat.”
Sesudah aku mendengarnya, aku mulai merasakannya.
Aah --- lagi.
Perasaan aneh, tidak nyaman yang sama yang aku rasakan saat pertama kali aku bertemu dengannya. Aku merasakannya sekali lagi.
Apa ini? Apa ya nama perasaan ini?
“...Aku tidak mengerti! Kenapa hal ini membuatmu ingin memojokkan Mogi-san?”
“Kenapa aku memojokkan si ‘pemilik’? Sesuai kataku, aku ingin mengamatimu. Yah, biar kuperjelas,” ‘O’ mulai berkata dengan gembira. “Aku ingin melihat bagaimana kau bereaksi terhadap ‘kotak’ orang lain. Saat ‘permintaan’ tidak sempurna Kasumi Mogi untuk merubah masa lalu dikabulkan, aku tanpa pikir panjang merasa senang pada awalnya. Aku senang karena aku bisa mengamati campur tanganmu dengan ‘kotak’ dalam waktu yang sangat lama...Tapi tidak lama kemudian aku menyadari kalau hal ini tidak ideal. Aku lebih suka mengamatimu dalam berbagai macam situasi sebanayak mungkin, tapi aku tidak bisa melakukannya dalam ‘kotak’ yang kalian sebut Rejecting Classroom’ ini. Semua orang bersikap sama setiap waktu, kau juga termasuk di dalamnya. Tidak peduli seberapa banyak Kasumi Mogi dan Aya Otonashi memantapkan ingatan mereka masing-masing, tidak akan menarik kalau orang yang paling utama—yaitu kau—tidak mempertahankan ingatanmu.”
Aku memeluk diriku sendiri sebagai balasan perasaan tidak nyaman yang aku rasakan.
“Karenanya, aku memilih untuk ikut campur dengan kalian. Aku mengambil alih Haruaki Usui karena posisinya yang di tengah membuatku dengan mudah mempengaruhi kalian bertiga. Yah, aku membuat sedikit celah bagiku dengan menggunakan Haruaki Ususi, Aya Otonashi, dan Kasumi Mogi, dan memastikan kau mempertahankan ingatanmu. Dan untung karena itulah aku bisa mengamatimu dengan cukup baik!”
“Jadi kau lah yang memanipulasi Mogi-san untuk membunuhku karena kau ingin...?”
“Ya, aku ingin melihat bagaimana kau bereaksi terhadap serangan mematikan dari gadis yang kau cintai.”
...Karena alasan ‘’itu’’ saja, Mogi-san dipaksa terus menderita.
“Ah, tentu saja, itu juga alasan kenapa aku membuatmu mencintainya.”
“Ap—“
Perasaanku cuma buatan—?
“Oh? Aku yakin kau sudah menyadarinya. Ah, jadi begitu. Jadi kau tidak ‘’ingin’’ menyadarinya. Heh..saat-saat semacam inilah yang membuatku merasa ada artinya berada di dekatmu. Sejujurnya, aku tidak perlu berada dalam ‘kotak’ ini untuk mengamatimu. Tapi kalau begitu aku mungkin akan melewatkan saat semacam ini. Melihat dari luar ‘kotak’ sangat merepotkan; hampir seperti melihat dari lensa teleskop yang sangat efisien dari luar angkasa. Kau bisa melihat apapun yang kau inginkan, namun sulit untuk memfokuskannya, bisa dibilang begitu. Jadi, sangatlah beruntung aku bisa melihatmu dari dekat sebagai Haruaki Usui!”
Aku akhirnya mengerti perasaan tidak nyaman ini.
Benar. Ini adalah – kengerian.
Bukannya aku belum pernah merasa ngeri sebelumnya, tapi perasaan ngeri ini begitu berbeda dengan biasanya hingga aku tidak dapat mengenalinya di awal.
“Baiklah kalau begitu, Kazuki Hoshino-kun. Apa yang akan kau lakukan?”
Aku tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun.
Karena aku menyadari kengerian yang sangat ini, aku bahkan tidak bisa membuka mulutku.
“Apa kau berfikir semuanya akan terselesaikan begitu kau menunjukkan kalau <<aku>> berada dalam Haruaki Usui? Aku terlihat sepenuhnya seperti manusia sekarang, dan karena aku juga seorang pembunuh, kau bisa menyerahkanku pada polisi saja dan menganggapnya selesai. Tapi bukan itu kan? Tujuanmu adalah mendapatkan kehidupan sehari-harimu kembali, iya kan? Berbicara padaku tidak akan menyelesaikan apapun!”
Dia berbahaya. Lebih berbahaya dari apapun yang pernah kutemui sebelumnya.
“Itu juga alasan kenapa aku tidak bersusah payah menutup-nutupi perubahanku menjadi Haruaki Usui. Memang, ‘kotak’ itu ada padaku sekarang karena aku mencurinya dari si ‘pemilik’. Aku dapat menunjukkannya padamu sekarang, tapi aku tidak punya alasan untuk melakukannya. Aku tidak harus memberikannya padamu hanya karena kau mengingatku. Kau juga tidak punya kekuatan untuk memaksaku.”
Dia tertarik padaku. Tapi hanya sebagai bahan percobaan. Tidak lebih dan tidak kurang. Dan tentu saja aku tidak tahu bagaimana berhadapan dengan seseorang yang bersikap seperti itu padaku.
Oleh karena itu—
“—Yah, kau memang benar.”
—orang yang berbicara dengannya seperti itu jelas bukan aku.
“Kazuki sendiri tidak memiliki kekuatan itu.”
‘O’ menatap ke arahku, mencoba mencari dari mana asal suara itu.
Ia berasal dari tas ku.
Suara klakson sebuah truk terdengar dengan keras. Dengan mesin yang berderu, sebuah truk melaju ke arah kami. ‘O’ melihat ke arahnya dan mengernyit sedikit. Truk yang melaju ke arah kami tampak sangat tidak asing bagiku.
Dan yang duduk di kursi pengemudinya...adalah Maria.
“Aku kangen padamu, ‘O’!”
Suara itu bergema dari tasku. Berasal dari telepon genggam yang kuhidupkan selama percakapan kami.
Truk itu meluncur dengan cepat ke arah kami namun kami tidak lari. Aku mendengar suara rem dadakan menyusulnya, tapi hujan menyebabkan remnya tidak bekerja dengan benar. Truk itu semakin dekat dan dekat, tapi ‘O’ tidak bergerak sedikitpun. Saat aku melihatnya tetap bertahan di sana, aku melakukan hal yang sama, tapi secara insting aku menutup mataku.
Suara rem dadakan itu menghilang.
Aku membuka mataku. Truk itu secara literal berhenti tepat di depan mataku.
“Apa yang ingin dicapai dari gertakan ini?” ‘O’ tersenyum tipis dan menanyakan pertanyaan itu pada orang yang duduk di kursi pengemudi.
“Ini cuma sedikit sambutan. Untung ya kau tidak ditabrak sebgai pengganti Kasumi?”
Aku mendengar suara ini sebagai stereo, dari depan ku dan dari tas. Sesudah berjalan keluar dari truk, Maria akhirnya menanggalkan headset Bluetooth nya dan mengakhiri panggilan kami.
‘O’ menatap maria. Dia berdiri di hadapan kami tanpa payung.
“Jadi kau mendengarkan seluruh percakapan kami? Dengan kata lain strategi lelucon ini sejak awal cuma pengalih perhatian? Sayang—aku akan senang melihat Kazuki-kun kehilangan semangat karena kegagalannya.”
“Aku menerima strategi ini dengan serius saat kau mengusulkannya. Tapi kemudian, Kazuki mengetahui wujud aslimu dan membiarkanku tidak tahu.”
Aku tidak bermaksud begitu sih. Aku cuma tidak tahu kapan aku harus memberitahunya kalau aku sudah menemukan sesuatu.
Akan tetapi, aku memang memastikan kalau aku bisa ngobrol berdua saja dengan Haruaki dengan memanfaatkan kerjasamanya.
“Tapi pada akhirnya sepertinya itu pilihan yang tepat. Kalau aku berada di sisi Kazuki, kau mungkin akan terus berpura-pura bodoh.”
“Apa kau mencuri truk hanya agar seolah kau berada di tempat yang jauh? Yah, aku menghargai usahamu, tapi kenapa aku akan berpura-pura bodoh kalau kau ada? Kau mungkin sebuah ‘kotak’ tapi bukan berarti kau bisa melakukan sesuatu untuk menentangku.”
“Oh, jadi kau tidak menyadarinya? Sepertinya usahaku benar-benar terbuang percuma! Baiklah, biarkan aku bertanya: Kau menyadari ‘Flawed Bliss’ ku kan?”
“Ya, aku tahu. Dan aku juga tahu kalau ia tidak akan berguna untuk menghadapiku.”
Maria menertawakan ‘O’.
“Ha, kau benar-benar tidak akan pernah bisa memahami manusia. Mungkin kau akan mengerti kalau aku mengatakannya seperti ini: ‘Aku sudah bersiap untuk menghapusmu’.”
‘O’ bereaksi pada kata-katanya dengan senyum masam.
“Yang bisa kau lakukan cuma menjejalkan orang lain ke dalam ‘kotak’ mu itu sendiri kan? Jadi bagaimana kau bisa melakukan hal itu?”
“Sepertinya kau masih tidak tahu kenapa aku tertarik pada Kazuki.”
Dia tiba-tiba memanggil namaku. ‘O’ melihat ke arahku. Meski matanya terlihat ramah, mereka menakutiku. Mata itu adalah mata orang yang melihat ke sepotong daging babi dan berfikir bagaimana memasaknya.
“......Jadi begitu.”
‘O’ tersenyum.
“Jadi kau akhirnya mengerti. Kazuki memiliki kelebihan dalam menggunakan ‘kotak’. Dia bahkan mungkin bisa menguasai ‘Flawed Bliss’ ku. Dan dia pasti akan meminta agar kehidupan sehari-harinya berlanjut. Agar kehidupan sehari-harinya terlepas makhluk-makhluk yang mengancamnya. Sepeti ‘kotak’. Seperti kau.”
Maria mengerutkan dahinya pada ‘O’ dan menyatakan hal ini.
‘O’ tidak terpengaruh kata-katanya. Dia tidak terkejut ataupun kagum. Dia cuma menatap ke bawah dengan sedih.
“Jadi begitu. Jadi kau belum berubah sama sekali,” ‘O’ berkata.
Gadis yang telah menjadi lebih dari manusia sesudah hidup melalui 27.755 kali pengulangan.
“Tapi kotak tingkat rendah sepertimu juga akan menghilang, benar kan?”
Maria tidak terkejut sedikitpun.
“Aku menyadari hal itu.”
“Kurasa begitu.”
‘O’, akan tetapi, masih terlihat sedih. Dia bahkan tidak khawatir dengan kemungkinan dirinya akan dihapus.
“Masih tidak bisakah kau hidup untuk dirimu sendiri? Apakah kau cuma bisa bertindak untuk orang lain? Aku mengasihanimu dari dasar hatiku karena kau hidup dengan cara yang begitu menyedihkan!”
“Aku tidak butuh rasa kasihanmu.”
“Pada awalnya aku tertarik pada sifatmu yang tidak biasa itu, tapi itu tidak ada nilainya. Seorang manusia yang tidak memiliki harapan sendiri sama saja dengan robot. Aku bisa saja lebih memilih mengamati vacum cleaner. Kau adalah keberadaan yang paling membosankan!”
Maria mengatupkan giginya dengan jengkel sesudah mendengarkan kata-katanya. Cukup adil. Daripada menganggapnya sebagai lawan, musuhnya justru mengasihaninya.
“Okay. Aku tidak ingin dihapus, jadi ayo buat perjanjian. Aku akan memberikan ‘kotak’ itu padamu. Sebagai gantinya, lepaskan aku. Bagaimana menurutmu?”
“...Hmph, bukankah kondisi itu terlalu menguntungkan bagimu sedang kau akan dihapus?”
“Kau seharusnya bersyukur aku masih menghiraukan ancaman bodohmu itu. Tidak ada kepastian kalau Kazuki-kun benar-benar bisa menggunakan ‘kotak’ mu. Aku bahkan tidak ingin memperkirakan seberapa kecil kemungkinan aku akan menghilang, ‘’kalau’’ dia menggunakan ‘kotak’ mu. Aku membuat jalur damai yang sebenarnya tidak perlu ini cuma untuk menunjukkan rasa kagumku pada Kazuki-kun karena telah menemukanku, tahu?”
“Perdamaian? Apa yang akan kau serahkan hanya sebuah kurungan burung tua yang kau gunakan untuk mengurung Kazuki. Kau bisa mempersiapkan sebanyak apapun kurungan burung yang baru semaumu kan? Kau merasa bosan dengan yang satu ini, dan ingin menggantinya dengan yang baru sebentar lagi kan?”
“Silahkan bayangkan sesukamu.”
“Hmph...Kazuki, apa kau setuju dengan perjanjian ini?”
Maria meminta persetujuanku. Aku mengangguk. Aku setuju asalkan kita bisa melakukan sesuatu tentang ‘Rejecting Classroom’.
“Kazuki Hoshino-kun. Boleh aku memberimu sebuah saran?” ‘O’ bertanya padaku. “Kau adalah seseorang yang tidak berharap untuk berubah. Tapi hampir semua ‘pemilik’ meminta perubahan saat mereka mendapatkan sebuah ‘kotak’. Mereka mungkin ingin mendapatkan sesuatu, mereka mungkin ingin menjadi sesuatu, mereka mungkin ingin menghilangkan sesuatu—mereka semua berusaha membuat keinginan mereka menjadi nyata. Sebagai hasilnya, kau akan secara otomatis mendapati dirimu berselisih dengan mereka.”
Aku mengernyit karena tidak dapat memahami tujuan di balik kata-katanya.
“Kazuki Hoshino-kun. Apa kau menganggap dirimu tidak normal?” Dia bertanya.
“...Aku normal.”
Dia tersenyum sebagai balasan akan jawabanku.
“Jadi begitu. Tapi aku khawatir kau tidak normal! Akan tetapi, kau tidak perlu khawatir kalau kau tidak suka menjadi tidak normal. Kau tidak akan bisa bertahan seperti itu untuk waktu yang lama. Cepat atau lambat, orang-orang sepertimu akan entah ditolak oleh masyarakat atau beradaptasi dan kehilangan ketidak normalan mereka. Jangan khawatir! Kau pasti termasuk golongan yang kedua.” Dia mengatakan hal ini tanpa berhenti tersenyum.
“Dan itulah kenapa—nasibmu benar-benar buruk,” dia berkata dengan senang. “Yang kumaksud adalah kau telah menyadari keberadaan jalan pintas. Setiap kali kau harus berhadapan dengan ketidak beruntungan kau akan berharap kalau kau memiliki sebuah ‘kotak’. Tidak peduli seberapa besar kau menderita untuk mencoba melupakan keberadaanya, ‘kotak’ ‘’memang’’ ada. ‘kotak’ yang dapat mengabulkan permintaan apapun itu ‘’memang’’ ada. Kau tidak akan bisa melupakan keberadaan jalan pintas itu. Dan cepat atau lambat, saat kau sudah hidup cukup lama dengan pengetahuan itu, akan datang waktu dimana kau membutuhkan sebuah ‘kotak’!”
Dia masih tetap tersenyum.
Aah, jadi begitu—
Aku mengembalikan’kotak’ itu. Tapi hal itu sebenarnya tidak ada gunanya. Pada saat itu aku sudah terkena kutukan ‘O’.
“Pada saat kau membutuhkan sebuah ‘kotak’, kau mungkin telah kehilanganke tidak normalanmu. Kalau begitu, kau sudah tidak akan bisa menguasai ‘kotak’. Hal itu akan sedikit mengurangi ketertarikanku padamu. Karenanya, aku akan terus mengganggumu dan orang-orang di sekitarmu dari sekarang—untuk menguatkan rasa ketertarikanmu pada ‘kotak’.
Apa yang harus kulakukan untuk mengindari kutukan?
—Mungkin tidak ada cara mencegahnya.
Aku—tidak, ‘’kami’’ sudah kalah di saat pertama kali kami bertemu dengan ‘O’.
“Tentu saja, aku akan memberimu ‘kotak’ meski kau kehilangan ketidak normalanmu. Aku tidak peduli – asalkan kau mengijinkanku mendengarkan suaramu.”
“...Suaraku?”
“Ya, aku suka warna gaya suara yang kalian manusia ciptakan, tapi ada satu suara yang paling kusukai. Kalau mungkin, aku ingin kau membiarkanku mendengarkan suara itu. ...Mh? Suara apa itu, kau bertanya? Seleraku cukup umum, jadi kurasa kau sudah tahu. Itu adalah—“
Dia tersenyum dan berkata,

“—suara hati yang retak.”

Sesudah mengatakannya ‘O’ yang terlihat seperti Haruaki Usui menghilang.
Sebuah kotak kecil jatuh dimana ‘O’ tadinya berdiri. Saat aku meraihnya, kotak itu mulai mengembang.
Segera setelahnya, seluruh pemandangan di sekitar kami mulai terlipat. Aku dapat melihat tembok dunia ini. Kertas dindingnya yang putih mulai tercerai berai menjadi debu. Rasa manis yang menempel di kulitku menghilang, meninggalkan perasaan tidak nyaman yang tumpul. Telinga dalamku mulai menggila dan semuanya mulai berputar. Suara kehancuran. Suara kehancuran. Suara kehancuran seseorang. Tempat ini dipenuhi keputusasaan. Keputusasaan yang tidak bisa dipungkiri.
Latar belakang palsu itu telah dihapuskan dan kami berdiri di dalam sebuah ruang gelap. Sebuah ruang kecil, ruangan kecil yang akan membuatku muak hanya dalam setengah hari.
Ini mungkin — bagian dalam ‘kotak’.
Dan di ruangan seperti penjara ini, dia mendekam. Dengan kepala terkubur di lututnya dan tanganya mengitari kakinya.
Gadis yang aku cintai.
“......Mogi...san.”
Saat mendengar kata-kataku, dia perlahan-lahan mengangkat wajahnya.
“Ah---“
Matanya seolah hampir mati sampai barusan, tapi cahaya lemah bersinar di dalamnya.
“Aku tidak percaya! Tidak mungkin semuanya berjalan begitu baik untukku!”
Air mata mengalir turun di pipinya.
Pada awalnya aku bingung, namun aku segera mengerti kenapa.
“---Kau benar-benar datang menyelamatkanku.”
Aku mengerti.
Akhirnya dia dapat menangis kembali.
“Mogi-san, aku minta maaf. Tapi aku berencana menghancurkan ‘Rejecting Classroom’.”
“...Ya.”
Mogi-san mengangguk sambil menangis.
“Aku bermaksud membiarkanmu mati dalam kecelakaan itu.”
“......Ya.”
Dia menghapus air matanya.
“Kau boleh menghancurkan ‘kotak’ ini. Kau juga boleh mengakhiri hidupku. Tapi tolong tunggu sebentar. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu.”
Mogi-san mulai mencari sesuatu di tas nya. Dia mengeluarkanya dan menyembunyikannya di belakang punggungnya.
Maria mengernyit pada perbuatan Mogi-san.
“Mogi...jangan lagi...”
Mogi-san mengabaikan Maria dan mendekat padaku, menyembunyikan tanganya di belakang punggungnya.
“...Tunggu, Mogi! Tolong hentika—“
“Bukan itu, Maria,” aku menegurnya. Aku tidak bisa melihat apa yang disembunyikan Mogi-san. Tapi aku sudah tahu apa itu.
Maria bereaksi pada kata-kataku dengan ekspresi ragu dan mundur kebelakang Mogi-san. Saat dia mengenali benda yang ada di tangannya, dia tersenyum masam dalam kekaguman.
“Kazu-kun, kau percaya pada perasaan yang tidak akan berubah?” Mogi-san bertanya padaku.
Aku langsung tahu apa yang harus kukatakan, tapi itu bukanlah jawaban yang menyenangkan baginya.
Karenanya aku kesulitan mengatakannya.
Mungkin jawabanku akan berbeda kalau aku belum mengalami ‘Rejecting Classroom’. Tapi aku sudah mengalaminya. Aku sudah mengalami dunia yang mirip dengan keabadian. Jadi mau tidak mau aku berfikir seperti ini. Perasaan yang tidak akan berubah---
“---Aku mereka rasa tidak ada.”
Mogi-san dengan sabar mendengarkan jawabanku.
Lalu dia tersenyum.
“Ya, aku juga berfikir begitu.”
Aku menatap matanya tanpa sadar. Dia sepertinya sudah mengira jawaban ini, jadi dia tetap tersenyum dan melanjutkan.
“Perasaanku padamu tidak tetap sama sama sekali. Kamu tidak lagi menjadi berharga bagiku. Aku mulai tidak menyukaimu, membencimu, aku berfikir kamu adalah gangguan. Aku bahkan hampir membunuhmu sekali. Tapi tahukah kamu? Itu artinya aku selalu bersandar padamu sepanjang waktu. Karena aku selalu percaya kamu akan menyelamatkanku. Selalu, selalu... aku tidak bisa mengabaikanmu. Aku tahu kalau ini adalah perasaan terburuk dan egois yang ada. Tapi tahukah kamu? Aku tidak bisa menghindarinya. Meski aku tahu kalau aku egois. Aku tahu apa nama perasaan ini. Meski kamu tidak mempercayai perasaan yang tidak akan berubah, tolong percayailah hal ini. Selama semua waktu yang aku habisakan dalam ‘Rejecting Classroom’—“
Mogi-san memelukku dengan sangat tenang.
Dan memberikan benda yang disembunyikannya.
Bibirnya bergetar tepat di samping telingaku.
“—Aku mencintaimu, Kazu-kun.”
Bibirnya mendekati milikku. Saat mereka hampir bersentuhan, dia berhenti. Sesudah berada dalam posisi seperti ini untuk beberapa saat, dia dengan damai mundur tanpa menyentuh bibirku.
Aku hampir bertanya kenapa dia berhenti, tapi aku berfikir ulang karena dia memberikan sesuatu padaku.
“Ah—“
Di tanganku adalah alasan dia tidak bisa melakuka apapun.
Aku paham dan menggigit bibirku.
Itu bukanlah benda yang aku kira akan dia berikan padaku.
Itu adalah sebuah Umaibo.
Sejauh ini baik-baik saja, tapi itu bukanlah rasa kesukaanku, Corn Potage. Rasa Teriyaki Burger. Rasa yang tidak begitu kusukai. Terlebih lagi—
—itu adalah rasa yang aslinya ingin dia berikan padaku.
Kenapa Mogi-san memelukku dengan sangat tenang? Kenapa dia tidak menciumku?
Ini bukanlah pernyataan cinta yang dilakukan oleh Kasumi Mogi yang telah menyatakan cinta berkali-kali padaku, yang telah menciumku, dan mengalami ‘Rejecting Classroom’.
Ini adalah pernyataan cinta pertama Kasumi Mogi yang ada sebelum keberadaan ‘Rejecting Classroom’, yang cuma bisa memanggilku ‘Hoshino-kun’.
‘’Aku ingin mengulangi tanggal 2 Maret.’’
Penyesalan terdalamnya di hari itu.
Dia melepaskannya sekarang.
Jadi — apa aku harus menjawabnya seolah hari ini tanggal 2 Maret yang sebenarnya...?
Aku menatap Mogi-san.
Mogi-san tersenyum lembut. Dia menunggu dengan senyuman lembut, meski dia sudah tahu bagaimana aku akan menjawabnya.
“Itu—“
Itu terlalu kejam!
Aku tidak ingin mengatakan hal semacam itu.
Maksudku, aku mencintai Mogi-san. Meski perasaan ini dikendalikan oleh ‘O’, perasaan itu sendiri tidaklah palsu.
Kenapa aku tidak punya pilihan selain mengatakan sesuatu yang akan melukainya?
Aah, tentu saja.
Aku ‘menolak’ ‘kotak’ ini. Aku menolak harapan Mogi-san. Aku akan membiarkannya mati dalam kecelakaan. Aku tidak memiliki hak untuk mengatakan kata-kata yang baik padanya.
Aku membuka mulutku.
Tetap saja, sulit untuk mengatakannya. Aku ragu, membuka dan menutup mulutku berkali-kali, dan aku terkejut oleh rasa cairan asin di mulutku.
Tapi aku tidak bisa mengatakan kata-kata lain padanya.

“Tolong tunggu sampai besok”

Mogi-san dengan sedih menundukkan padangannya.
Dia tentu saja terluka oleh kata-kataku. Namun, ekspresinya segera berubah sekali lagi. Dia berkata padaku,
“Terima kasih.”
—sambil tersenyum.
Dengan senyuman dari lubuk hatinya.

Aah—
Senyuman itu akhirnya mengingatkanku pada percakapan yang terjadi pada masa lalu.
Percakapan yang membuatnya jatuh cinta padaku.
Percakapan yang menjadi pemicu cinta sesaat.
Sebuah ingatan yang berharga.

<<Hoshino-kun. Boleh aku memintamu memanggilku Kasumi...?>>
<<Eh? Ke-kenapa tiba-tiba?>>
<<Mungkin bagimu ini tiba-tiba, tapi aku sudah lama menginginkanmu memanggilku seperti itu tahu?>>
<<Ja..Jadi begitu.>>
<<Jadi...boleh?>>
<<O-Okay...>>
<<Ju-juga, um—boleh aku memanggilmu Kazu-kun?>>
<<Err...yeah, tidak apa-apa.>>
<<O-okay, jadi cobalah.>>
<<......Kasumi.>>
<<...Tolong katakan sekali lagi.>>
<<Kasumi.>>
<<Terima kasih.>>
<<Ap...! Ke-kenapa kau menangis...?!>>
<<Hm? Aku menangis?>>
<<..I-Iya...!.>>
<<Kalau begitu...ini pasti karena aku sangat bahagia, Kazu-kun.>>
Dan kemudian Kasumi tertawa, meski air mata mengalir dari matanya.
Aku tidak pernah melihat senyum seperti itu sebelumnya.
Itu adalah senyuman penuh dengan kebahagiaan murni.
Itu adalah saat pertama kali aku bisa membawa kebahagiaan sebesar itu bagi orang lain. Itu adalah sensasi yang mirip dengan di novel, jadi aku merasa sangat bahagia.
Dapat membawa kebahagiaan bagi seseorang itu sendiri merupakan kebahagiaan.
Aku bahagia telah menemukan sisi diriku yang seperti itu, dan gadis yang mengajariku perasaan itu menjadi keberadaan yang spesial bagiku.
Mungkin cara pikirku sederhana.
Tapi tidak diragukan lagi, senyum itu berhasil merubahku.

Tapi aku akan menghapus semua ingatan ini.
Aku akan menghapus perasaan yang baru kutemukan ini.

Aku pikir ini terlalu kejam. Aku pikir tidaklah perlu menghadapi halangan semacam itu di saat-saat terakhir. Aku pikir tidak berperasaan membuatku menghancurkan hal itu dengan tanganku sendiri.
Tapi meskipun begitu, aku sudah memilih.
Aku sudah memilih sejak lama.
Maksudku, bahkan perasaan bersalah ini akan segera dihapuskan oleh ‘rejecting Classroom’ kan?
“Maria, bisakah kau mengabulkan sebuah permintaanku?”
Jadi cuma ingin seseorang mendorongku sedikit saat aku ragu-ragu.
“Katakan.”
“Kau pasti tahu apa yang akan kulakukan sekarang.”
“Yeah, karena aku telah mengamatimu lebih lama dari siapapun di dunia ini.”
“Apa yang akan kulakukan sekarang? Aku cuma ingin kau mengatakannya padaku.”
Maria mengangguk dengan ekspresi serius. Tidak salah lagi, dia tahu pasti kenapa aku memintanya melakukan itu.
“Kau akan menghancurkannya!”
Tapi Maria tidak memperhalus kata-katanya.
“Kau akan menghancurkan ‘harapan’ bodoh seseorang untuk ‘harapan’ mu sendiri! Itu adalah satu-satunya hal yang tidak akan kau tinggalkan dalam keadaan apapun, Kazuki.”
Yeah. Aku yakin kalau aku benar.
“Karenanya, kau akan --- menghancurkan ‘kotak’ itu.”
Aku mengangguk pada kata-kata Maria.
Aku menggunakan seluruh lengan kiriku untuk menghapus air mataku.
“Kau benar.”
Aku berdiri di depan tembok.
Tembok abu-abu yang mengelilingi kami ini tipis, dan seolah terbuat dari kertas. ‘kotak’ ini sudah tidak memiliki kekuatan. Ia hanya mengurung ingatanku dan menjaganya agar tidak menghilang untuk sebentar lagi saja.
Aku ingin berbalik dan memastikan ekspresi Kasumi.
Tapi aku merasa aku tidak boleh melakukannya.
Aku mengangkat tangan kananku tinggi-tinggi.
Untuk menghancurkan ‘kotak’, ‘harapan’ Kasumi dan ingatanku sendiri.
“Terima kasih. Pada akhirnya memang kaulah yang menyelamatkanku, Kazu-kun.”
Tolong hentikan!
Kau tidak punya alasan untuk berterimakasih padaku. Aku cuma penghancur. Aku cuma menginjak-injak ‘permintaan’ mu yang salah.
Maaf.
Tolong maafkan aku karena tidak bisa menyelamatkanmu.
Jadi aku menghiraukan suaranya.
Tapi, terima kasih.
Karena kau tersenyum di akhir, aku akhirnya bisa percaya pada diriku sendiri.
“UAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!”
Aku berteriak sekeras-kerasnya dan menghancurkan tembok itu sekuat mungkin.
Dengan suara yang keras, tembok itu hancur dengan mudah, seperti kaca.
Aku bisa melihat diriku dan Kasumi pada salah satu pecahan.
Kami tersenyum bahagia satu sama lain.
Pecahan itu jatuh ke tanah, pecah, dan tercerai berai menjadi debu.
Cahaya putih mulai bersinar dari luar. Semakin banyak tembok yang runtuh, semakin banyak kegelapan yang dirusak cahaya.
Semuanya terwarnai berkali-kali dan menghilang kecuali kami.
Begitu terang; aku tidak bisa melihat apapun.
Tapi dengan-sangat-kejam, Kasumi ada di sana. Kasumi yang asli secara jelas ada di sana.
Kasumi tergeletak di jalan, tubuhnya miring. Dia berlumuran darah. Pemandangan itu terlihat sangat menyakitkan sampai aku ingin mengalihkan pandanganku.
Tapi Kasumi tersenyum. Dia tersenyum sekuat tenaga untukku.
Mulutnya terbuka.
“Selamat tinggal.”

Dan kami terbungkus dalam cahaya putih bersih dan menghilang.
Cahaya putih itu memasukki tubuhku. Cahaya itu mencari celah-celah dan dengan paksa melewatinya, mewarnaiku putih di dalam, darah, jantung, dan otakku. Cahaya putih itu bahkan memasuki ingatanku dan mewarnainya putih.
Tidak peduli apakah itu ingatan palsu namun berharga milikku, perasaan yang kualami, kata-kata yang baru saling kami katakan—
Semuanya terhapus dan menghilang dalam warna putih.
Semuanya terhapus dan menghilang dalam warna putih.
Semuanya terhapus dan menghilang dalam warna putih—

Pertama kali (2)[edit]

"Namaku Aya Otonashi. Senang bertemu denganmu."
Murid pindahan itu berkata dengan senyuman kecil di wajahnya.
Terpukau dengan penampilannya, para gadis mulai menjadi berisik, sedangkan para pria tidak bisa berkata apa pun.
Tentu saja aku bukan pengecualian. Kurasa aku belum pernah melihat orang yang lebih menawan daripada dia sebelumnya. Aku tidak bisa mengalihkan mataku bahkan jika aku ingin. Mata kami bertemu. Seketika, aku terpikat oleh matanya. Murid pindahan itu terlihat sakan-akan dia telah terbiasa oleh reaksiku dan tersenyum padaku.
Itu hampir membuatku pusing.
Jatuh cinta padanya mungkin mustahil. Kami terlalu berbeda. Hampir bisa dibilang kalau kami tidak hidup di dunia yang sama. Mungkin terdengar kejam, tapi kupikir semua orang pasti akan setuju setelah melihat dia.
"Pertama-tama aku ingin membuat sebuah pernyataan."
Aya Otonashi berbicara masih dengan senyuman sempurna di wajahnya.
"Tolong, --- jangan berteman dengan Aya Otonashi — denganku."
Ruang kelas menjadi sunyi seketika.
Pernyataan itu cukup untuk membuat seluruh kelas yang berisik menjadi terdiam. Itu hampir seperti sihir.
"Tolong jangan salah paham. Jika mungkin, aku ingin sekali berteman dengan kalian semua. Tapi, itu tidak mungkin. Karena ---"
"— keberadaan dari Aya Otonashi hanyalah sebuah ilusi."
Aku menelan ludahku meski aku masih tidak mengerti apa yang dia bicarakan.
"Sejak awal kita memang tidak cocok. Kita terlihat seperti hantu dari sudut pandang orang lain. Karena aku adalah 'murid pindahan'. Aku tidak mempunyai hubungan dengan siapa pun - dan tidak ada satu pun yang mengenalku - serta aku akan terus-menerus kembali ke keadaan ini. Aku harus mempertahankan dan menjaga keadaan di mana aku tidak mempunyai hubungan dengan siapa pun untuk waktu yang lama. Jadi kupikir tidak ada salahnya menyebutku sebagai hantu. Tapi meski aku adalah hantu aku masih mempunyai kepribadian. Aku juga merasa sedih akan hal itu. Tapi aku tidak punya pilihan lain selain menerimanya. Karena segera setelah aku tidak mampu lagi menerima diriku sebagai sebuah ilusi - segera setelah aku tidak bisa menahannya lagi - aku akan terperangkap oleh pengulangan palsu ini."
Aku masih tidak mengerti sama sekali. Satu-satunya hal yang kumengerti adalah kalau dia sangat serius sehingga tidak ada seorang pun yang menganggap perkataannya sebagai sebuah lelucon.
"Untuk menjadi sebuah ilusi, aku meninggalkan nama asliku di dalam 'box' ini. Aku takut kalau aku menggunakan nama asliku malah akan membebani diriku sendiri. Dan jika aku terperangkap oleh pengulangan palsu ini, kalian semua mungkin akan dihapus."
Dia melanjutkan pidatonya dengan suara yang tegas.
"Oleh karena itu, aku — harus terus menjadi sebuah ilusi, menjadi Aya Otonashi."
Ah, begitu. Aku tidak mengerti arti perkataannya, tapi dia masih belum menjadi «Aya Otonashi».
Dia akan menjadi «Aya Otonashi».
Dia mungkin tidak menginginkannya. Itu bukanlah hal yang diharapkannya.
Meski begitu dia tetap tidak memilihi pilihan lain selain menjadi «Aya Otonashi».
"Tapi aku tidak kuat."
Dia mengatakannya dengan pahit.
"Kupikir akan ada waktu di mana aku ingin mengeluh. Tetapi, aku akan berhenti menjadi «Aya Otonashi» segera setelah aku menunjukkan tanda-tanda kelemahan apa pun nanti. Karena itu, aku akan menunjukkan kelemahan ini sekarang. Aku—"
Itu kebetulan.
Ya, kupikir itu hanya kebetulan, tapi tidak diragukan lagi---
—dia melihat ke arahku sambil berkata,
"Aku — ingin seseorang untuk berada di sisiku."
Dan kemudian dia tersenyum padaku.
"Kalau begitu, izinkan aku untuk memperkenalkan diriku sekali lagi."
Dia berbicara seperti untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Namaku «Aya Otonashi». Kuharap kita bisa berteman dengan baik selama waktu panjang yang menanti kita."
Aya Otonashi menunduk dalam-dalam.
Kami semua masih terdiam, tidak yakin bagaimana harus bereaksi.
Karena itu, aku menepuk tanganku.
Suara dari tepuk tanganku adalah satu-satunya yang terdengar.
Akhirnya seseorang mengikuti tepuk tanganku. Setelah dia, ada orang lain lagi mulai bertepuk tangan juga. Suara tepuk tangannya perlahan tapi pasti menjadi semakin keras.
Ketika semua teman sekelasku menepuk tangan, akhirnya dia mengangkat wajahnya lagi.
Tapi dia tidak tersenyum lagi.
Dia mengepalkan tangannya dengan kuat dan melihat lurus ke depan dengan gaya yang mengagumkan.


Epilog[edit]

Cuacanya sangat bagus dengan warna biru cerah yang membentang di langit.
Hal pertama yang kulakukan setelah bangun adalah memastikan tanggal hari ini dengan telepon genggamkuku. «7 April». Hari ini tanggal «7 April». Aku juga mengeceknya di koran dan di TV untuk memastikan kalau ini benar-benar tanggal «7 April». Yah, tentu saja aku tahu kalau tidak ada artinya melakukan hal seperti itu. Tapi sejak saat aku terlibat dalam 'Rejecting Classroom', aku menjadi terbiasa melakukannya. Jika tidak melakukannya aku akan merasa sangat cemas.
Kejadian di dalam 'Rejecting Classroom' tertinggal dalam ingatanku. Tapi ingatanku tidak sempurna. Rasanya seperti melihat gambar suatu tempat yang tidak pernah kulihat atau kukunjugi sebelumnya. 'Box', Maria, 'Zero' - aku tahu tentang mereka. Tapi kesan tentang mereka sudah tidak ada lagi. Kekesalan, kesedihan - tidak ada yang tersisa. Jadi jika aku jatuh cinta dengan seseorang, aku pasti sudah lupa sekarang. Mungkin aku perlahan-lahan akan melupakan semua ingatan itu karena mereka terlalu samar.
Termasuk Maria.
Yang kumaksud adalah, sejak awal kami memang tidak seharusnya bertemu, jadi aku yakin kami tidak akan bertemu untuk yang kedua kalinya.
Bagaimanapun juga, sekarang adalah «7 April», hari dari upacara pembukaan.
Aku telah menjadi siswa kelas dua.
Kelasku berganti dari yang sebelumnya di lantai 4 menjadi di lantai 3. Pemandangannya tidak terlalu berubah menjadi lebih baik meskipun ruang kelasnya berganti lantai dan bergeser ke arah barat sedikit. Meski begitu, udaranya terasa sangat berbeda ketika aku memasuki ruang kelas 2-3. Aku menjadi sangat berdebar-debar hingga dadaku sesak.
Setelah memeriksa tempat dudukku yang tertulis di atas meja guru, aku duduk di kursiku. Teman-teman sekelasku yang baru menjawab dengan ceria ketika aku menyapa mereka dengan ringan dengan kata-kata «Semoga kita bisa berteman baik». Ya, suasananya terasa nyaman.
Satu orang lagi memasuki kelas.
Dia melihat ke arahku dan mengangkat tangannya.
"Heyho, Hoshii! Kita sekelas lagi!"
Meski kata-katanya biasa saja, pandangan 15 orang lainnya yang berada di kelas terfokus pada kami. Ya, Haruaki masih berisik seperti biasanya.
"...Haruaki."
"Mh, ada apa?"
Aku melihatnya dengan mata curiga.
"Yang asli?"
"...Apa gue terlihat palsu? Atau elo berpikir kalau gue mempunyai kembaran? Apa elo terpengaruh oleh suatu manga yang super terkenal [1] hingga sekarang elo berpikir kalau semua pitcher baseball di SMA mempunyai kembaran?!"
"...Tidak."
Entah kenapa aku malah jadi mulai meragukan sifat Haruaki itu sendiri...
"Oh iya, Hoshii! Kalau dipikir-pikir--"
"Pagi, Haru dan Kazu-kun!"
Datang suara baru yang menyela omongan Haruaki.
Kokone berdiri di depan pintu kelas. Dan di sampingnya ada Daiya.
Ah, apa mereka berdua datang ke sekolah bersama-sama seperti sepasang kekasih lagi? Jika aku mengatakan hal itu, Daiya pasti akan membuatku mengalami hal yang memalukan seharian penuh, jadi aku tidak mengatakannya.
"Jantungku sempat berdebar lebih cepat, ketika disapa oleh seorang gadis, tapi yaaaah, ternyata cuma kamu, Kiri? Sia-sia aku berdebar."
"Hey Haru... Apa-apaan reaksi elo itu? Emangnya elo pikir elo itu siapa?"
"Er, yah, gue hanya mau elo berhenti terlalu memikirkan gue sampai elo mengejar gue hanya untuk sekelas dengan gue."
"Haa... jadi elo mencoba menyembunyikan rasa malu elo karena terpesona oleh gue dengan kata-kata seperti itu? Elo itu cepe~~lti anak kecil, ya kan Haru-chan? Ah, iya juga. Apa akhirnya elo bisa berhenti menggunakan suara 'Moe'gue sebagai nada dering hp-elo?"
"Emangnya siapa yang melakukan hal seperti itu!?"
"«Tuanku~»... ayolah! Sekarang adalah kesempatan elo untuk menambah beberapa kata-kata baru ke koleksi suara 'Haru Moe-Moe' elo! Apa perlu gue beri satu kesempatan lagi? Jika elo mau, gue bisa menambahkan kata-kata seperti «Selamat datang~» kali ini?!"
Apa-apaan pembicaraan ini... Tolong hentikan itu, itu memalukan.
"Haa... hey Kazu, apa elo punya pemantik api? Gue ingin menyalakannya dan memasukkannya ke dalam mulut Kiri sekarang juga."
"Dan bagaimana dengan elo, Daiya? Apa elo cemburu karena gue cuma memberikan suara Moe Moe gue kepada Haru? Jangan khawatir! Jika elo berlutut dan mencium kaki gue, gue akan mengatakan «Onii-chan» untuk elo, yang mempunyai fetish adik perempuan. Oh, bukankah gue baik hati?!"
"Bagaimana kalau «Aku menyesal karena sudah dilahirkan»?"
...Tidak ada yang berubah sama sekali meskipun kelasnya berganti.
Tapi inilah yang kuinginkan.
Aku merasa agak kesepian tanpa Maria dan Mogi-san, tapi semua ini adalah alasan mengapa aku menghancurkan 'Rejecting Classroom'.
"...Kenapa elo nyengir-nyengir sendiri? Itu menjijikkan, Kazu!"
Daiya menunjuk kearahku.
"Ah, benar. Kazu-kun nyengir. Aku berani bertaruh kalau dia sedang mengimajinasikan perempuan yang duduk di sampingnya, terpeleset dengan ceroboh--"
"Aku tidak sedang berimajinasi."
Aku segera menyangkalnya, membuat Kokone mengerutkan bibirnya.
"Lagian siapa sih yang duduk di samping elo? Apa elo tahu? Apa dia gadis cantik?"
Haruaki bertanya padaku sambil duduk di kursi yang dibicarakan tanpa malu sedikit pun. Aku tahu karena aku juga memeriksa nama-nama orang yang duduk dekat denganku.
"Ya. Dia gadis yang cantik!"
"Sungguh?! Siapa dia?!"
Dia punya tempat duduk sendiri. Aku lega akan hal itu. Kenyataan kalau dia punya tempat duduk itu berarti kemungkinan kalau dia akan duduk di sini juga ada.
Tempat duduknya tidak akan di sampingku lagi ketika dia kembali, tapi aku tidak peduli.
Aku menyebutkan nama gadis yang duduk di sampingku sambil tersenyum pada mereka.
"Dia Mogi-san!"

Hari itu aku hampir berpikir kalau hujan akan turun selamanya.
Aku menuju ke rumah sakit segera setelah mendengar kecelakaan Mogi-san dari Daiya, Jadi aku tidak masuk sekolah. Aku menggunakan taksi karena rumah sakit tempat dia dibawa tidak berada di dalam kota. Aku sendiri tidak percaya melakukannya, mengingat kalau aku menghargai kehidupan damai lebih dari apa pun.
Tapi aku harus melakukannya. Karena aku bertarung melawan 'Rejecting Classroom', aku harus tahu hasilnya.
Aku adalah orang yang pertama datang ke rumah sakit bahkan sebelum keluarganya. Lalu aku menunggu bersama dengan mereka, meski salah disangka sebagai pacarnya, hingga operasinya selesai.
Operasinya berhasil... sepertinya. Tapi Mogi-san pada akhirnya tidak sadarkan diri di hari itu.
Aku baru bisa bertemu dengannya dua hari kemudian karena aku tidak diperbolehkan memasuki ruang ICU. Saat itu dia sudah dipindahkan ke bangsal umum.
Mogi-san yang berada di kasurnya terlihat sangat menyedihkan. Suara dari electro-cardiogram dan pernapasan buatan membuat gendang telingaku bergetar. Kedua kaki dan tangannya dibalut, wajahnya dipenuhi dengan memar dan satu tangannya tergantung ke bawah, berwarna keunguan karena infus di pembuluh venanya.
Melihat badan penuh terluka temanku di rumah sakit saja cukup untuk membuatku ingin menangis. Tapi bukan hanya aku yang ingin menangis. Aku tidak boleh menangis di depannya. Aku menahan air mataku dan melihat ke arah wajahnya.
Mogi-san terlihat terkejut ketika dia melihatku.Yah, aku juga tidak terlalu yakin karena dia tidak menggerakkan otot mukanya sedikit pun.
Keluarganya memberitahuku kalau dia telah sadar, tapi dia tidak berbicara sepatah kata pun akibat syok.
Tapi Mogi-san membuka mulutnya, mencoba memberitahuku sesuatu dengan seluruh tenaganya. Aku bilang padanya untuk tidak memaksakan dirinya, tapi dia tidak mendengarkanku dan terus mencoba berbicara.
Mogi-san mengarahkan kata-kata pertamanya padaku, membuat masker oksigennya menjadi putih karena napasnya.
"--Aku sangat senang. Aku tidak mati."
Aku tidak begitu mengerti perkataannya, tapi kata-katanya terdengar seperti itu bagiku.
Mogi-san menangis setelah mengatakan hal itu. Ketika aku mengalihkan pandanganku ke sekeliling karena tidak bisa melihat ke arahnya, aku menemukan tasnya yang sudah kotor di samping kasurnya. Aku melihat bungkusan berwarna perak di bagian tasnya yang terbuka. Mengetahui apa benda itu, aku mengambilnya dengan tanganku tanpa sadar. Umaibo rasa Teriyaki Burger. Umaibo itu sudah hancur dan tidak seperti bentuk awalnya lagi. Ketika aku menyentuhnya tanpa berpikir apa pun, tiba-tiba aku tidak bisa menahannya lagi dan menangis.
Aku tidak tahu kenapa ini terjadi di saat sepeti ini. Aku mengingat kalau dia memberikannya padaku di dunia itu, tapi aku tidak bisa mengingat mengapa dia melakukannya.
Air mataku ini asli.
Setelah itu aku mengunjunginya di rumah sakit beberapa kali. Mogi-san mencoba berbicara padaku seceria mungkin.
"Ketika aku tidak sadar, aku mendapat mimpi yang sangat panjang."
Mogi-san berkata begitu sekali. Sepertinya dia mempercayai kalau itu semua hanyalah mimpi.
Sebuah pikiran tiba-tiba muncul di kepalaku. Mogi-san tidak bisa lari dari nasib tertabrak truk di dunia itu. Dan fakta kalau dia selamat setiap kali pun tidak berubah. Ini mungkin alasan kenapa 'Rejecting Classroom' tidak hancur, berapa kali pun dia mengalami kecelakaan.
Tapi meski dia selamat, sepertinya dia tidak akan bisa menggerakkan tubuh bagian bawahnya lagi. Pada saat kecelakaan, dia mengalami benturan di punggungnya yang membuat saraf tulang belakangnya terluka. Kemungkinan sembuhnya bukan hanya sedikit, tetapi mustahil.
Aku hanya bisa diam karena tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Untuk menghilangkan kesunyian Mogi-san berkata sesuatu:
"Aku selalu berpikir kalau aku akan memikirkan 'Aku lebih baik mati' jika keadaanku seperti ini. Kau mengerti hal itu kan, Hoshino-kun? Lagi pula aku tidak akan bisa berjalan dengan kedua kakiku lagi. Bahkan jika aku ingin pergi membeli jajanan di mini market di sebelah rumah, aku tidak akan bisa melakukannya lagi dengan bebas. Aku hanya bisa pergi jika aku bergantung pada seseorang atau jika aku menggunakan kursi roda. Begitu sulitnya hanya untuk membeli jajanan! Bukankah itu kejam? Tapi ini aneh. Aku sama sekali tidak berpikir untuk mati. Aku heran kenapa? Aku berpikir begitu, sungguh, dari dasar hatiku yang terdalam---"
---kalau aku senang karena aku masih hidup.
Mogi-san berkata begitu tanpa berpura-pura sedikit pun.
"Jadi, aku tidak apa-apa. Aku juga tidak akan berhenti sekolah. Berapa lama pun waktu yang dibutuhkan, aku akan sembuh. Mungkin aku tidak akan berada di sekolah yang sama dengan kalian lagi, tapi aku tidak akan menyerah."
Dia tersenyum dan menunjukkan otot lengannya yang lemah.
Agak memalukan untuk mengakuinya, tapi pada saat itu aku menangis terisak-isak di depannya. Aku senang. Senang karena keinginannya yang paling penting terkabulkan.
--Apa ada yang bisa kulakukan untukmu?
Aku ingin membantunya secepat mungkin. Aku benar-benar berpikir seperti itu. Makanya aku bertanya padanya.
Mogi-san menjawab dimulai dari, "Aku sangat senang kau menanyakan hal itu" dan melanjutkannya dengan malu-malu,
"Aku ingin kau menyediakan tempat untukku kembali. Aku ingin kau sekali lagi membuat tempat untukku."
--Sekali lagi? Apa aku pernah membuat tempat seperti itu untukmu?
"......di dalam mimpi panjangku, kau membuatnya."
Setelah menjawab seperti itu, entah kenapa Mogi-san mengalihkan pandangannya.

Saat upacara pembukaan.
Aku mengingat sesuatu saat Haruaki menghela napas selama pidato kepala sekolah di gedung olahraga.
"Omong-omong, Haruaki. Bukankah ada yang ingin kaukatakan padaku pagi ini?"
"Mh? ...Aah, iya! Benar! Gue mendengar beberapa rumor kalau ada gadis yang sangat cantik di antara murid baru!"
Haruaki menyenggol pundakku dan mengedipkan sebelah matanya.
"Yah, kalau begitu aku tidak peduli. Lagi pula sebagai senior aku tidak akan punya kesempatan untuk berbicara padanya."
"Apa elo idiot?! Hanya dengan bisa melihat gadis cantik saja sudah merupakan kebahagiaan!"
Aku tidak ingin mempercayai standar kebahagiaan miliknya.
"Tapi kapan kau mendengar rumor itu? Hari ini, 'kan, pertama kalinya kita bisa melihat siswa baru?"
"Semoga keajaiban tidak akan pernah berakhir! Itu adalah informasi dari Daiyan!"
"Daiya?"
Aku tidak percaya. Aku tidak pernah sekali pun mendengar Daiya berbicara tentang seorang perempuan.
"Elo tidak mempercayai gue, benar, 'kan? Tapi ada alasan yang kuat kenapa Daiyan tahu akan hal itu! Elo tahu kalau Daiyan hanya salah menjawab dua soal dari seluruh soal di dalam ujian masuk, 'kan?"
"Ya. Dia sering membanggakan hal itu. Kalau dia telah menciptakan rekor baru di sekolah kita."
"Rekor ini dipecahkan hanya dalam satu tahun!"
Haruaki berkata begitu, bahagia dari seluruh hatinya. Dia benar-benar tidak bisa tertolong lagi. ...Tapi aku bisa mengerti.
"Err? Apa hubungannya hal ini dengan Daiya mengetahui tentang gadis cantik itu?"
"Kau benar-benar tidak peka, Hoshii. Apa yang gue katakan adalah, gadis cantik ini mengalahkan rekornya dengan mendapat nilai yang sempurna di semua mata pelajaran. Jadi, Daiyan diberi tahu oleh guru, sebagai pemegang rekor sebelumnya. Guru itu juga mengatakan pada saat yang sama kalau dia sangat cantik hingga bahkan dia, sebagai orang dewasa, menjadi gugup di hadapannya."
Itu berlebihan. Menjadi gugup... meski telah hidup jauh lebih lama?
Pidato pembukaan dari kepala sekolah berakhir selama kami berbicara.
Ketua OSIS menyalakan microphonenya.
"Terima kasih banyak, Kepala Sekolah. ...Mari lanjutkan dengan salam dari perwakilan murid baru--"
"Lihat, dia keluar! Si cantik yang dirumorkan!"
Aku mengerti. Dia adalah perwakilan yang melakukan pemberian salam karena dia adalah murid peringkat teratas.
Ini mulai membuatku tertarik, jadi aku melihat sekeliling untuk menemukannya.
"Perwakilan dari kelas satu--Maria Otonashi."
Maria--Otonashi?
Sebuah nama yang sepertinya sangat kukenal. ...tidak, tidak. Itu tidak mungkin. Lagi pula Maria kan dipanggil sebagai Aya Otonashi.
"Baik."
Tapi suara ini tidak salah lagi miliknya. Itu suara Maria.
Aah, aku mengerti. Akhirnya aku mengerti.
«Jika kau lupa, ingatlah sekarang. Namaku adalah «Maria».»
Hah. Jadi dia mengatakan yang sebenarnya waktu itu.
...Oh? Jadi aku selama ini aku memanggil Maria dengan nama depannya...? UWAA! UWAAAAAA!
"...Kenapa muka elo memerah, Hoshii?"
Dia menaiki tangga dengan lebih elegan dibanding siapa pun juga. Dia sudah mempunyai aura kehadiran yang hebat, karena dia sudah hidup lebih lama dibanding semua orang di sini.
Murid-murid menjadi berisik hanya dengan melihat ke arahnya.
Sebuah wajah yang sangat kukenal. Wajahnya yang telah berada di sisiku untuk waktu yang lama.
Dia mengenakan seragam baru.
Ya, kupikir dia curang. Aku tidak pernah menyangka kalau dia lebih muda daripada aku.
Maria memandang sekeliling, sambil berdiri di atas podium. Tatapannya bertemu denganku. Dan entah kenapa matanya berhenti di arahku.
Lalu dia tersenyum.
Tubuhku dengan mudah membatu sepenuhnya karena tatapan dan senyumnya.
Maria memulai pidatonya tanpa mengalihkan pandangannya dari arahku. Bahkan murid-murid yang berisik menjadi diam karena mendengar suaranya yang mengagumkan.
"Tidakkah dia terus melihat ke arah sini? Oh sial, mungkinkah dia jatuh cinta pada gue?"
Haruaki mengeluarkan candaannya, tapi aku terlalu terpaku terhadap tatapan Maria hingga aku tidak bisa membalas kata-katanya.
Aku hanya melihat ke arah Maria.
Maria hanya melihat ke arahku.
"--Dengan ini aku mengakhiri salam dari kelas satu. Ini adalah perwakilan dari kelas satu, Maria Otonashi."
Maria turun dari podium.
Dan tepat setelah dia melakukannya, murid-murid menjadi berisik lagi. Tidak, bukan hanya murid. Bahkan guru-guru pun kebingungan.
Tapi, tidak salah lagi akulah yang paling bingung.
Karena Maria tidak kembali ke tempatnya sendiri, malah menuju ke arahku.
Murid-murid secara otomatis memberikan ruang di arah dia berjalan, terkesan oleh wibawanya. Maria menggunakan kesempatan itu dan berjalan lurus ke arahku.
Sebuah jalan terbentuk dari tempatnya ke arahku.
Aah, dasar. Apa dia belum menyingkirkan kebiasaannya dari dunia itu? Mungkin tidak apa-apa untuk tidak menahan diri di dunia itu, tapi itu tidak berlaku di sini, ya, 'kan?
Aku sudah menyadari kalau kehidupan sehari-hariku akan hancur.
"Haha--"
Tapi, meski begitu aku tertawa.
Itu sungguh mengganggu.
Itu sungguh mengganggu, tapi tidak... itu tidak terasa seperti itu.
Akhirnya, murid-murid di depanku menyingkir. Haruaki pun menyingkir dariku. Kami dikelilingi oleh ruangan kosong hampir seperti di dalam pusat angin topan.
Di tengah ruang kosong ini, Maria berdiri di depanku.
Kupikir kami tidak akan bertemu lagi.
Tapi kalau dipikir-pikir, tidak mungkin dia tidak akan datang kepadaku.
Lagi pula, tujuannya, 'kan, untuk mendapatkan sebuah 'box'. Dia tidak punya pilihan lain selain mendekatiku, yang mejadi sasaran dari 'Zero'.
Maria tersenyum.
Dengan gampangnya ia membuka mulutnya.
Ya, dengan gampangnya.
"Aku selalu berada di sisimu tidak peduli berapa lama pun waktu berlalu--itulah bagaimana aku menyatakan perang terhadapmu waktu itu, tapi ini sepertinya masih akan berlanjut."
Setelah mengatakan hal itu, dia memperkenalkan dirinya sekali lagi.
"Aku adalah «Maria Otonashi». Senang berkenalan denganmu."
Murid baru itu membungkuk dengan dalam, seperti yang dulu dia lakukan.
Oleh karena itu, aku memberikan tepuk tangan seperti yang dulu kulakukan.
Selama beberapa waktu, hanya tepuk tanganku yang berbunyi di dalam ruangan.
Lalu Haruaki mulai menepuk tangannya tanpa tahu situasinya. Mengikutinya, seseorang mulai menepuk tangan juga. Meski tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi, tepuk tangannya semakin keras.
Di tengah-tengah tepuk tangan yang luar biasa ini, dia mengangkat wajahnya.
Tapi dia tidak tersenyum lagi.
Dia mengepalkan tangannya dengan kuat dan melihat lurus ke arahku dengan gerakan yang mengagumkan.

Jump up ↑ Yang dimaksud mungkin manga Touch karya Mitsuru Adachi

Catatan Pengarang[edit]

Halo, namaku Eiji Mikage.
Sudah lebih dari tiga tahun sejak karyaku yang sebelumnya. Jika ada pembaca yang menantikan buku terbaruku, aku mohon maaf. Dan juga, terima kasih karena tidak melupakanku.
Ada saat di mana aku terhenti, tapi itu bukan berarti kalau aku berhenti menulis. Alasan mengapa aku tidak menerbitkan buku selama tiga tahun adalah karena kelemahanku sendiri.

Aku menulis buku ini dengan maksud untuk memuaskan para pembaca. Dasar mengenai maksudku untuk menulis novel juga telah berubah.
Tapi aku juga merasa khawatir dengan semua perubahan ini. Tidakkah kualitas tulisanku akan menghilang? Tidakkah pembacaku yang setia akan merasa terkhianati olehku? Tidakkah karyaku akan terpendam di bawah berbagai buku hebat lainnya?
Ini adalah rasa khawatir - dan takut - yang kuhadapi disaat aku menulis «Utsuro no Hako to Zero no Maria».
Tapi rasa khawatir dan takut ini menghilang sebelum kusadari.
Karena aku menyadari kalau buku ini tidak lain adalah buku milikku sendiri.
Aku percaya kalau ini telah menjadi sebuah buku, aku akan bisa mengatakan «Cobalah baca» pada para pembaca yang menyukai karya-karyaku yang sebelumnya, pada para pembaca yang tidak menyukainya, dan juga para pembaca yang tidak mengetahuiku hingga sekarang.
Bagaimana? Bukankah menarik, setelah kau mencoba membacanya?
Jika jawabannya «YA», maka tidak ada rasa senang yang lebih besar bagiku.

Ngomong-ngomong, ini adalah bukuku yang ke-4 dan juga buku pertamaku yang menyertakan ilustrasi.
Sejujurnya, awalnya aku khawatir kalau pandangan pembaca akan berubah karena ilustrasinya, tapi ketika aku menerima sebuah surat dengan sebuah gambar di dalamnya, aku mengubah pikiranku.
Itu adalah sensasi di mana karakter yang kubuat sendiri berhenti menjadi milikku seorang.
Itu adalah sensasi di mana karakter buatanku lepas dari kendaliku.
Saat itu, aku tidak tahu bagaimana penampilan karakterku hingga aku hampir selesai menulis, jadi efek yang terasa hanya sedikit saja, tapi aku akan memasukkan "kemandirian dari karakterku" di karyaku yang berikutnya.
Aku tidak sabar untuk mengetahui bagaimana hasilnya.

Terlebih lagi, aku menerima banyak bantuan dari orang-orang saat menulis buku ini. Untuk mengatakannya dengan jelas, beban dari rasa terima kasihku berbeda kali ini. Karena aku akhirnya bisa merasakan dengan kuat untuk pertama kalinya kalau aku bisa menyelesaikan buku seperti ini.
Karena itu, kalimat terima kasihku akan panjang. Mohon dimaafkan.
Semua orang di tim editor dari ASCII Media Arts. Sang proofreader. Sang designer. Terima-kasih pada kalian semua.
415-san yang telah menggambarkan ilustrasinya untukku. Awalnya aku khawatir dengan ilustrasinya, tapi segera setelah aku melihat ilustrasi dari 415-san, rasa khawatirku menghilang. Sejak itu hari-hariku berubah di mana aku berilusi sambil memandangi ilustrasinya dengan senyuman menyeringai di wajahku seharian penuh.
Teman-temanku dan orang-orang yang bekerja denganku di tempat kerja sambilanku telah membantuku mengembangkan diriku.
Keluargaku yang telah menjagaku ketika aku mendapat masalah saat membuat buku ini.
Yuu Fujiwara-san. aku benar-benar berterima-kasih karena telah menyemangatiku ketika aku hampir membusuk karena naskahku ditolak terus-menerus.
Dan tentu saja Kawamoto-san yang menginstruksikanku. Jika bukan karenamu, buku ini tidak akan pernah ada. Aku takjub kau tidak meninggalkanku, melihat bagaimana diriku di masa lalu - tidak bercanda. Kau membantuku tumbuh di berbagai aspek, bukan hanya mengenai buku. Aku benar-benar berterima-kasih. Salam dan hormat juga untuk selanjutnya.
Dan kemudian juga aku ingin berterima kasih pada para pembaca yang mengambil buku ini ke tangan kalian.
Novel ada karena ada pembaca yang membacanya. Kalian semua juga merupakan bagian dari novel ini... yang mungkin agak sedikit tidak sopan untuk dikatakan, tapi apa pun itu, kalian adalah bagian yang tidak dapat tergantikan.
Kuharap aku bisa menyampaikan rasa terima kasihku kepada semua orang dengan, paling tidak, agak menarik.
Kuharap kita bisa terus berasosiasi untuk waktu yang lama mulai sekarang jika mungkin.

Ah, selain itu, mohon maaf karena telah menulis penutup yang membosankan seperti ini!

- Eiji Mikage


Leave a Reply

Shere Dan Tanya Tanya
Inget No Echhi
No Hentai
Jangan Bawa Bawa Agama. Suku Dan Ras
@Lokopou

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Ngobrol Bareng Otaku

- Copyright © 2013 Otaku Lokopou - ilham se - Powered by Blogger - Designed by ilham Seaka -